Kamis, 28 Maret 2024

Pelayanan Ditunda, Pengembang Properti di Batam Ngaku Rugi Miliaran

Berita Terkait

Ketua Real Estate Indonesia (REI) Khusus Batam, Djaja Roeslim.  Foto: Fitri Hardiyanti/ Untuk Batam Pos
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Khusus Batam, Djaja Roeslim. Foto: Fitri Hardiyanti/ Untuk Batam Pos

batampos.co.id – Penundaan pelayanan perizinan lahan sebagai konsekwensi menunggu revisi PMK soal tarif uang wajib tahunan Otorita (UWTO), pengusaha properti di Batam mengaku mengalami kerugian baik secara waktu dan finansial.

Mereka berharap agar pemerintah selesai membenahi Peraturan Menteri Keuangaan (PMK) Nomor 148 Tahun 2016 agar pelayanan bisa berjalan lagi.

“Tiap hari bisa ada 50-an Izin Peralihan Hak (IPH) yang harus diurus. Kalikan saja harga rumah rata-rata Rp 500 juta perunit, maka ada kerugian hingga Rp 25 miliar perhari,” ungkap Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Batam, Djaja Roeslim.

Djaja menaruh harapan besar terhadap revisi PMK Nomor 148 Tahun 2016, khususnya mengenai perubahan tarif Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Kenaikan tarif harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian saat ini.

Menurut bos dari developer Trias Jaya Propertindo (TJP) ini, kenaikan seharusnya tidak boleh lebih dari 100 persen. “Apalagi untuk peruntukan pemukiman. Rumah sederhana dan rusun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus murah,” ungkapnya.

Penyesuaian tarif UWTO untuk perumahan idealnya hanya naik 50 persen karena sangat tepat dengan kondisi ekonomi saat ini. Djaja juga meminta agar revisi tarif segera dikeluarkan supaya pelayanan perizinan lahan di BP Batam berjalan lagi.

“Pengembang jadi bisa menjual rumah lagi. Namun bisa dipastikan, tarif berubah nanti pun, penjualan rumah masih tetap menurun, karena ada kenaikan tarif,” ungkapnya.

Senada dengan Djaja, Kepala Perhimpunan Bank Swasta Nasional (Perbanas) Batam, Daniel Samson mengatakan sebenarnya belum melakukan pengkajian secara akurat terhadap masalah UWTO ini. Namun ia mengakui ada perlambatan proses realisasi kredit di bank-bank.

“Ada perlambatan proses realisasi kredit, namun faktornya adalah karena proses pengeluah dokumen Izin Peralihan Hak (IPH) yang lambat. Kalau untuk UWTO, belum terasa karena baru berlaku,” jelasnya.

Ia menyatakan dunia perbankan mulai ragu sejak tarif baru UWTO keluar. Pasalnya untuk pengajuan proses akad Kredit Pemilikan Rumah (KPR), maka beban dana yang lebih besar akan dibebankan kepada si pemohon.”Untuk kedepan, saya dari perbankan ingin agar masalah ini segera terselesaikan,” jelasnya. (leo)

Update