Selasa, 19 Maret 2024

Morosi, Desa di Sulawesi yang Kini Jadi Kampung Orang Tiongkok

Berita Terkait

Sejumlah TKA berbelanja pada saat jam istirahat di Desa Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Foto: Imam Husein/Jawa Pos

batampos.co.id – Desa Morosi, Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, dulu dikenal desa yang tenang. Masyarakatnya didominasi warga tempatan.

Namun tiga tahun belakangan suasana desa itu jadi berubah. Perusahaan Tiongkok beroperasi di sana dan mereka umumnya menjadi penonton saja, sebab pekerja didominasi WN Tiongkok.

Ya, Desa itu tampak lengang Jumat (30/12/2016) siang lalu. Hanya satu dua kendaraan truk dan mobil operasional proyek yang terlihat hilir mudik di jalan tanah (pengerasan) tersebut.

Mereka keluar masuk kawasan megaindustri Morosi. Di situ ada pembangunan pabrik besar pengolahan mineral (smelter) nikel dan PLTU yang dimulai tiga tahun lalu.

Kelengangan itu berubah pukul 15.00 Wita. Satu per satu pekerja semburat dari lokasi proyek. Baik pekerja lokal maupun TKA. Pekerja pribumi langsung pulang ke rumah masing-masing.

Sementara itu, para TKA menuju deretan kios semipermanen yang berjarak 100 meter dari pintu masuk proyek. Mayoritas beratap seng, asbes, dan daun sagu kering serta berdinding papan.

Deretan kios yang lebih mirip pasar templok itu dihuni warga setempat yang berjualan di sana. Barang yang dijual cukup lengkap. Ada perkakas rumah tangga seperti baskom, ember, gayung, gantungan baju, dan bak air. Beberapa kios juga menjual pulsa telepon, pulsa listrik, kartu perdana, sampai aksesori handphone. Namun, kios paling banyak digunakan sebagai warung.

Ada juga toko buah dan toko kelontong yang menjual galon air mineral isi ulang, mi instan, biskuit, dan kopi saset. Bukan hanya itu, penjual batu akik juga menghiasi deretan kios tersebut. Jasa rental mobil pun bisa ditemukan di area yang terletak satu jam perjalanan darat dari Kota Kendari itu. Ada pula kios yang khusus menjual minuman keras jenis bir.

Pasar dadakan tersebut ramai menjelang petang. Pantauan Jawa Pos, pukul 17.00–18.00 Wita, tidak banyak warga lokal yang mengunjungi kios-kios itu. Pembelinya mayoritas pekerja asing asal Tiongkok. Lebih dari 20 pekerja asing menuju kios-kios tersebut setiap menit. Artinya, sekitar 1.200 orang dalam satu jam saja.

Jumlah itu meningkat dua kali lipat setelah petang. Setiap menit ada puluhan pekerja asing yang keluar dari kawasan industri. Mereka berjalan bergerombol lima sampai sepuluh orang. Dari dandanannya, mayoritas identik dengan pekerja kasar atau unskilled worker. Penampilan mereka sangat sederhana. Bahkan bisa disebut kucel.

Sebagian besar mengenakan kaus oblong dan celana training. Ada pula yang memakai kemeja lusuh serta celana kain warna gelap. Sebagian besar pakai sandal jepit. Hanya sedikit pekerja yang mengenakan seragam proyek warna biru dan abu-abu serta bersepatu.

Semua pekerja asing itu menggunakan bahasa Mandarin saat berinteraksi satu sama lain. Tidak ada satu pun yang berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau Inggris. ”Mayoritas yang bekerja di pabrik itu (smelter) memang orang Tiongkok. Orang Indonesianya sedikit,” ujar Fahrudin, warga Desa Morosi.

Nah, kios-kios tadi sengaja didirikan seiring dengan makin banyaknya pekerja Tiongkok di kawasan tersebut. Bahkan, tidak jarang nama kios yang menggunakan tulisan aksara Latin dan aksara Han. Rumah Makan (RM) Berkah misalnya. Di bawah tulisan RM Berkah terdapat aksara Han yang artinya sama dengan nama RM.

”Untuk memudahkan saja. Karena pekerja yang beli di sini (kios) tidak ada yang bisa bahasa Indonesia,” ujar pria yang pernah jadi tukang jasa antar galon untuk pabrik smelter itu.

Kompleks pasar yang berada di jalan utama Desa Morosi tersebut selalu ramai pukul 17.00 sampai 21.00. ”Seperti pasar malam, jam segitu pekerja asing keluar dari kawasan proyek, cari makan dan belanja,” imbuhnya.

Setiap hari ada ribuan pekerja asing yang berbelanja di pasar tersebut. Mayoritas berjalan kaki. Sebagian membeli makanan instan untuk dibawa ke mes di dalam kawasan proyek. Lainnya membeli makanan siap saji di warung makan.

”Itu (jalan kaki) kebanyakan pekerja kasar. Kalau yang jabatannya level atas naik motor dan mobil, belanjanya ke Kendari,” jelas Fahrudin.

Saat berbelanja di pasar itu, para pekerja yang baru tiba dari negara asalnya biasanya akan membeli baskom untuk wadah air dan makanan. ”Karena mereka tidak mau pakai baskom bekas,” ucap Fahrudin yang punya usaha rental kendaraan.

Di pasar tersebut transaksi jual beli antara penjual dan pekerja Tiongkok lebih dominan menggunakan bahasa isyarat. Maklum, tidak semua pemilik kios bisa berbahasa Mandarin. Begitu juga sebaliknya, sangat minim pekerja asing yang bisa berbahasa Indonesia.

Di RM Hikmah milik Suminah, 42, misalnya, pekerja asing langsung menunjuk makanan yang akan dipesan.

Tidak sedikit pula pekerja asal Tiongkok yang memasak sendiri di dapur rumah makan. Selain keterbatasan bahasa, masak sendiri dilakukan pekerja asing agar cita rasa makanan yang dimakan sesuai dengan selera.

Caranya, mereka akan menunjuk bahan masakan dan alat masak yang akan diolah sendiri. Memasak biasanya dilakukan lebih dari dua pekerja. Masakan itu nanti disajikan untuk kelompok pekerja berjumlah empat hingga lima orang. ”Kalau ayam potong yang sudah cabut bulu Rp 70 ribu nanti dimasak sendiri sama mereka. Kalau satu porsi nasi bungkus Rp 17 ribu,” terang Suminah.

Untuk menentukan harga, beberapa pemilik kios sudah terbiasa menyebut angka dalam bahasa Mandarin. Untuk baskom seharga Rp 5.000, misalnya, penjual akan bilang bucet ke pekerja asal Tiongkok.

Namun, bila belum bisa berbahasa Mandarin, penjual akan menggunakan isyarat jari. Satu jari menunjukkan harga Rp 1.000, dua jari Rp 2.000, begitu seterusnya. ”Mereka juga banyak yang nawar kalau harganya kemahalan,” ujar Sungkowo, 50, warga setempat.

Pekerja asing Tiongkok di Morosi selama ini memang dikenal tertutup. Terutama soal pekerjaan dan gaji. Saat Jawa Pos mencoba berkomunikasi, mereka selalu menghindar. Mereka hanya mau menyebut nama dan daerah asal.

Selebihnya, mereka akan menunjukkan ekspresi menolak dengan bahasa Mandarin. ”Tidak mau, tidak mau,” ujar Liu Sandong, warga Tiongkok yang bekerja di proyek pembangunan smelter nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI).

Ribuan pekerja asal Tiongkok itu menghidupkan perekonomian Desa Morosi. Namun, di sisi lain, ada potensi yang lepas karena seharusnya pekerjaan kasar bisa diisi orang Indonesia yang masih banyak yang menganggur. (tyo/c9/ang)

Update