Jumat, 29 Maret 2024

Insiden KM Zahro Contoh Buruk Standar Keselamatan Kapal Penumpang

Berita Terkait

Tim SAR gabungan mengevakuasi mayat korban kapal wisata Zahro Express yang Terbakar 1 mil dari pelabuhan Kali Adem Muara Angke Jakarta Utara. Foto: Puguh Sujiatmiko/Jawa Pos

batampos.co.id – Insiden terbakarnya kapal wisata Pulau Seribu Zahro Ekspress kembali menyayat hati masyarakat. Ini sudah kesekian kali kapal di Indonesia mengalami kecelakan yang akhirnya menimbulkan puluhan korban. Penerapan soal keselamatan dan penegakan administrasi tranportasi oleh pemerintah terus menjadi pertanyaan.

Pakar Transportasi Laut Daniel M Rosyid mengatakan, standar industri moda tranportasi laut masih jauh dari standar meski pemerintah Jokowi sudah mencoba memperbaikinya. Menurutnya, selama bertahun-tahun industri maritim menjadi anak tiri pemerintah dengan kebijakan yang tidak ramah.

’’Memang saat Jokowi coba diperbaiki. Tapi setelah bertahun-tahun kemunduran, usaha itu pasti tidak mudah,’’ ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (2/1).

Dia menjelaskan, usia rata-rata kapal penumpang di Indonesia 15 tahun. Memang, kapal biasanya dirancang untuk bertahan selama 20 tahun. Yang dipermasalahkan adalah, kebanyakan armada-armada baru sebenarnya produk rekondisi dari kapal barang. Padahal, kapal barang dan kapal penumpang punya desain yang jelas berbeda.

’’Standar keamanan untuk kapal penumpang jauh lebih tinggi dari kapal barang. Mulai dari jaket pelampung, pintu keluar, hingga sekoci yang cukup untuk semua penumpang dalam keadaan darurat,’’ jelasnya.

Menurut International Maritime Organization (IMO), ada beberapa persyaratan keamanan dalam kapal penumpang. Antara lain, area evakuasi di kapal jika terjadi keadaan darutat, pendetksi api di kapal, alat pemadam kebakaran, lalau rencana evakuasi untuk setiap seksi kapal.

Namun nyatanya, kapal-kapal seperti Zahro Ekspress tidak mempunyai fasilitas keselamatan memadai. Apalagi, kapal-kapal pengangkut tersebut seringkali tidak mematuhi batas penumpang. Keputusan tersebut terus meningkatkan kerentanan penumpang kapal-kapal tersebut.

Hal tersebut, lanjut dia, ditambah lagi dengan bagaimana spesifikasi kapal penumpang yang masih mengkhawatirkan. Salah satunya, bahan kapal penumpang yang menggunakan fiberglass. Padahal, bahan tersebut sebenarnya rentan terhadap api.  Ditambah lagi dengan budaya penumpang Indonesia yang masih kurang sadar soal keamanan pelayaran.

’’Bahan Fiber memang tidak dianjurkan karena resiko terbakar dan berubah bentuk seiring panas. Namun, hingga saat ini memang tidak dilarang oleh pemerintah,’’ ujarnya.

Di sisi lain, Daniel juga mengaku bahwa penerapan administrasi di industri tranportasi laut seringkali diabaikan. Baik dari pihak pengawas yakni Syahbandar; pihak operator yakni Nahkoda; hingga pihak pengamanan yakni Bakamla. Menurutnya, mereka terpaksa untuk menutup mata karena tuntutan pasar.

’’Kalau menurut saya, karena ada tekanan dari situasi dimana kebutuhan melebihi persediaan. Akhirnya, penumpang diangkut seenaknya dan administrasi diabaikan,’’ jelasnya.

Dia menyayangkan bahwa sebenarnya regulasi transportasi laut di Indonesia sudah ideal. Namun, karena banyaknya kelalaian di lapangan, kecelakaan kapal pun tak bisa dihindari. Dia juga mencatat banyak kecelakaan kapal sebelumnya. Misalnya, dari kapal pengangkut WNI  Ilegal yang tenggelam di perairan Batam. Bahkank, insiden kapal terbakar pun pernah terjadi pada Agustus tahun lalu di Perairan Selat Buton, Sulawesi Tenggara, dan menewaskan enam orang.

Terkait solusi, salah satu yang paling mendesak memang pembaharuan serta penambahan armada kapal penumpang. Armada-armada baru tersebut harus didesain dengan sejak awal sebagai kapal penumpang. Jikapun harus memodifikasi kapal barang menjadi kapal penumpang, maka modifikasi tersebut harus memenuhi aspek keselamatan yang baik.

’’Tidak selalu modifikasi itu jelek. Misalnya, kapal yang dimodifikasi oleh PT Pelni menjadi kapal semi barang. Memang dimodifikasi untuk meningkatkan fungsi komersial namun tetap memenuhi standar keselamatan,’’ terangnya.

Menurutnya, salah satu yang bisa dilakukan adalah membuat kebijakan lunak bagi perusahaan kapal untuk mendapatkan pinjaman. Sebab, pengajuan pinjaman untuk kapal penumpang baru sulit diterima oleh bank-bank saat ini.

’’Karena itu mereka lebih memilih rekondisi. Karena dengan begitu mereka hanya perlu mengeluarkan Rp 10 miliar. Kalau kapal baru dengan bahan baja atau aluminium dengan panjang 14 meter saja sudah mencapai Rp 40 miliar,’’ jelasnya.

Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku tengah mengevaluasi regulasi dan implementasi industri kapal penumpang. Terutama, rute kepulauan seribu yang saat ini menjadi perhatian sejak insiden kapal Zahro. ’’Syahbandar sudah dibebastugaskan dan kami menunggu bagaimana hasil penyelidikan KNKT untuk memberikan sanksi,’’ jelasnya.

Terkait penanganan rute kepualuan seribu kedepan, Budi langsung menunjuk PT Pelayaranan Nasional Indonesia (Persero) (Pelni) dan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebagai operator transportasi penyeberangan.  Nantinya, mereka akan menyeleksi kapal rakyat yang memang memenuhi syarat sebagai armada penyeberangan. (bil/jpg)

Update