Sabtu, 20 April 2024

Anggaran Minim, Kemendikbud Minta Sekolah Maksimalkan Fungsi Komite

Berita Terkait

ilustrasi

batampos.co.id – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendorong seluruh sekolah di Indonesia memaksimalkan peran Komite Sekolah untuk menggalang dana dalam bentuk sumbangan dan bantuan. Ini karena anggaran yang disediakan pemerintah dinilai masih tergolong minim.

Sekretaris Ditjen Dikdasmen Kemendikbud Thamrin Kasman menjelaskan, anggaran pendidikan yang disiapkan pemerintah melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun skema lainnya, itu untuk layanan minimal. Sehingga perlu dibuka juga akses bagi pihak manapun, termasuk orangtua, yang ingin membantu sekolah.

“Misalnya karena tidak tega anaknya terkena kipas angin terus sampai masuk angin di sekolah. Ini contoh ya,” kata Thamrin, Senin (16/1).

Meskipun terbuka bagi komite sekolah untuk menampung dana bantuan dan sumbangan, dia menegaskan tidak boleh bersifat pungutan. Thamrin mengatakan biaya seperti SPP itu masuk kategori pungutan dan tidak diperbolehkan di jenjang SD dan SMP karena ada dana BOS. Selain itu wali murid dari keluarga mampu juga tidak perlu khawatir terbebani sumbangan dan bantuan. Sebab sifatnya sukarela, tidak mampu membayar juga tidak apa-apa.

Hak komite untuk menggalang dana bukannya tanpa rambu-rambu. Kemendikbud melarang komite menampung dana sumbangan dan bantuan dari industri rokok, minuman beralkohol, dan duit dari partai politik manapun.

Komite juga dilarang menjual buku, bahan ajar, pakaian seragam, bahkan bahan untuk pakaian seragam sekolah. “Komite dilarang melakukan pungutan juga disebutkan dalam butir khusus,” jelasnya. Komite juga dilarang melakukan kegiatan politik dan menggali manfaat ekonomi aset sekolah untuk kepentingan pribadi.

Irjen Kemendikbud Daryanto menambahkan, munculnya kabar diperbolehlannya pungutan di sekolah itu imbas dari terbitnya Permendikbud 75/2016. “Padahal di Permendikbud tentang Komite Sekolah itu, tertulis jelas bahwa pungutan tidak diperbolehkan,” katanya di kantor Kemendikbud di Senayan, Jakarta Pusat, kemarin (16/1).

Daryanto menjelaskan bahwa di Permendikbud itu sudah dijabarkan definisi dan pengertian pungutan, sumbangan, dan bantuan. Memang di lapangan nantinya ketiganya bisa rancu. Maka di situ fungsinya Komite Sekolah untuk melakukan pengaturan. Dia menegaskan meskipun Komite Sekolah disahkan oleh kepala sekolah, posisinya tidak di bawah sekolah. Dia menegaskan Komite Sekolah itu mitra kepala sekolah.

Supaya fungsi Komite Sekolah benar-benar kuat, komposisinya juga diatur. Jumlah anggota Komite Sekolah berkisar 5 sampai 15 orang. Komposisinya meliputi tokoh masyarakat, pakar pendidikan, dan orangtua atau wali siswa. Supaya fungsi Komite Sekolah maksimal, Dinas Pendidikan setempat melalui pengawas sekolah juga bisa ikut aktif mengawasi keberadaan Komite Sekolah.

Komite juga wajib membuka rekening atas nama Komite Sekolah untuk menampung dana. Kemudian uang yang terkumpul dipublikasikan kepada seluruh warga sekolah, wali murid, dan masyarakat umum. Dia juga berpesan dalam melakukan perencanaan kegiatan, komite tidak membuat kegiatan yang aneh-aneh atau berlebihan.

“Tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan harus diutamakan,”katanya.

Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy mengungkapkan, Permendikbud 75/2016 sejatinya membahas tentang Komite Sekolah. Kemendikbud ingin mereformasi peran Komite Sekolah ini agar bisa membantu sekolah dalam hal penggalangan dana atau fundraising. Memang, di dalamnya ada klausul soal sumbangan dan ini bersifat sukarela. Tidak ada unsur paksaan atau menjurus langsung ke SPP.

”Nanti ada paket untuk mengatur peranan dan fungsi komite sekolah seperti yang diamanatkan dalam UU Sistem pendidikan Nasional. Salah satu kuncinya, kita bikin komite ini ikut membantu sekolah untuk majukan sekolah lewat penggalian dana dari masyarakat,” jelas ditemui usai rapat di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta, kemarin (16/1).

Penggalangan dana ini pun dilarang keras berupa pungutan liar. Yang jadi prioritas adalah dalam bentuk CSR, sumbangan dermawan dan alumni. Karena itu, ia meminta sekolah mendata alumni-alumninya seperti perguruan tinggi. Terutama, alumni yang sudah berhasil.

”Kan tidak ada walikota yang gak sekolah SD, bupati ya SD. Kalau sudah gaji banyak ya nyumbang dong bagi sekolahnya. Kapan lagi, ya kan? Daripada buat beli rokok satu bulan bisa Rp 25 juta, mbok satu juta kasihkan sekolah,” ungkapnya.

Peran Komite Sekolah ini akan sangat krusial. Karena, nanti komite sudah bukan subordinasi dari kepala sekolah (kepsek). Tetapi mita penyeimbang atau counterpart. Oleh sebab itu, peranan orangtua siswa lebih dominan dibanding dulu. Dalam aturannya mewajibkan anggota Komisi Sekolah harus 50 persen diisi oleh wali murid.

” Dulu komite itu hanya nyetempeli kepsek saja. Yang begitu kita rombak itu,” ungkap Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Dengan kebijakan ini, lanjut dia, para orangtua bisa lebih punya suara. Kebijakan yang berhubungan dengan sekolah pun bisa diputuskan bersama. Misalnya, untuk pembelian alat drumband. Karena keuangan tidak mencukupi, maka bisa dibawa ke forum. Di sana, bisa diputuskan apakah perlu adanya urunan atau bahkan dibatalkan.

Itupun, dilarang keras membandrol jumlah sumbangan. Dan harus jadi catatan, siswa miskin tidak boleh dipungut.

”Kalau sepakat ya beli. Kalau tidak ya nggakusah. Jadi kalau nanti ada anggota komite mau maksa-maksa mungut, ya diveto di komite. Nggak ada masalah itu,” jelasnya.

Terpisah, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan mayoritas guru-guru di IGI mendukung keberadaan komite. Dia menjelaskan anggota komite atau orangtua siswa pada umumnya, harus dijelaskan dengan detail perbedaan pungutan, sumbangan, dan bantuan. Sebab masyarakat mudah menilai bahwa setiap keluar uang berarti ada pungutan.

Kemudian Ramli juga mengingatkan Kemendikbud harus bisa memonitor kinerja komite. Supaya tidak terjadi kasta-kasta dalam sejumlah sekolah. Jangan sampai ada sekolah yang mewah sekali karena komitenya mudah menampung uang. Dan di lain tempat ada sekolah yang tidak berubah sama sekali meskipun ada aturan itu.

Kemendikbud juga diminta untuk menetapkan kuota siswa miskin di setiap sekolah sesuai akreditasinya.

“Jadi di sekolah dengan akreditasi A sekalipun, ada anak dari keluarga miskin,” tandasnya. Ramli mengingatkan dengan keluarnya aturan ini, bukan berarti potensi penyimpangan otomatis hilang. Sehingga Kemendikbud tetap melakukan kontrol.
 (wan/mia/jpgrup)

Update