Jumat, 19 April 2024

Bahasa Universal para Penikmat Hiburan Dewasa

Berita Terkait

ilustrasi

HOTEL itu tak jauh dari pusat Kota Surabaya. Waktu tempuhnya hanya sekitar 15 menit perjalanan ke arah timur. Lokasinya berada di sebuah pusat perbelanjaan modern. Karena itu, yang tampak dari luar adalah swalayan yang terletak di pojok jalan tersebut.

Tapi, tim Jawa Pos memang tidak berniat belanja barang kebutuhan pokok.

Karena itu, kami langsung naik ke lantai paling atas atau rooftop. Setelah sampai di tempat parkir paling atas, pengunjung (baca: pencari hiburan) bisa langsung memilih. Ke kanan adalah tempat dugem. Ke kiri adalah hotel sekaligus tempat spa.

Dan ”nasib” membawa kami ke kiri, hehe… Tempat spa. Sasaran orang-orang yang mencari kebugaran.

Namun, jam sudah mendekati pukul 22.00. Apakah sudah closed order?

“Masih terima, Om. Last order (layanan terakhir, Red) jam 12 (pukul 00.00, Red),” kata kasir yang berdiri di depan komputer itu.

Kami berangkat bertiga. Tapi, yang ”ditugasi” untuk pijat hanya seorang. Dua lainnya hanya mengantar.

”Tapi kalau masuk, tetap harus bayar,” kata kasir perempuan dengan rambut sebahu tersebut.

Tiap orang, meski tidak pijat, harus membayar Rp 175 ribu. Itu biaya untuk menikmati sauna dan spa.

Begitu melewati kasir, seorang perempuan menyambut kami. Bajunya putih dengan motif kembang sepatu.

”Halo. Halo. Silakan. Silakan,” katanya.

Logatnya asing. Seperti orang Tiongkok. Perempuan itu mengaku bernama Tintin. Entah nama asli atau sekadar ”nama panggung”.

Perempuan dengan ikat rambut kuning itu lantas menawarkan ”komoditas” layanannya.

”Mau yang lokal atau yang asing?” tanyanya.

Sesuai penugasan dari kantor (eaaa…), kami harus mencari perempuan asing.

“Yang dari Vietnam ya,” tawar Tintin.

Tanpa menunggu jawaban panjang, dia minta waktu ke sebuah ruang di belakang tempat kami duduk.

Dengan bahasanya, Tintin memanggil anak buah. Dua menit kemudian, lima perempuan yang mengaku dari Vietnam berdiri di hadapan kami. Tingginya rata-rata sekitar 170 sentimeter. Cukup jangkung. Mereka mengenakan gaun berwarna emas yang menonjolkan belahan dada.

“Hai, selamat datang,” ujar perempuan paling kiri. Mereka kemudian menunduk. Mirip penghormatan ala masyarakat Jepang.

Tintin lalu meminta kelimanya mengenalkan diri. Namun, alih-alih menyebut nama. Mereka hanya menyebut nomor urut. Nomor tersebut tersemat pada badge merah yang dipasang di pundak kanan.

“Saya delapan kosong dua. Saya delapan satu tiga.” Mereka bergantian menyebut nomornya.

Kami minta dihadirkan opsi lainnya. Kali ini Tintin menawarkan dari Tiongkok. Dengan cara yang sama, mereka menawarkan diri. Tintin menyatakan bahwa mereka berlima adalah yang paling senior. Paling ahli memijat. “Saya jamin kalau yang ini, pijatannya enak,” tawarnya.

Sambil iseng, kami minta orang asing lain. Tintin menawari Rusia. Tak seberapa lama, perempuan tersebut muncul. Alamak… Cantik betul. Parasnya dingin, khas negara Beruang Merah itu. Si rambut blonde tersebut hanya memberi salam senyum tipis. Tak ada sepatah kata pun dari mulutnya.

“Si Rusia tidak bisa pijat,” kata Tintin yang mengaku malam itu sedang migrain.

Artinya, servis dari perempuan Rusia tersebut langsung “eksekusi”.

Kami tidak langsung oke. Minta yang lain lagi. Impor. Melihat kelakuan kami, Tintin menghela napas panjang.

“Oke, sekali lagi ya. Dari Tiongkok,” nadanya sudah agak kesal, tapi tetap dengan suara cempreng manjanya.

Kami akhirnya memilih satu di antara lima pilihan terakhir kami. Dia berada di ujung kiri barisan. Yang paling menjulang. Dan kelihatan paling muda umurnya. Bernomor 818. Setelah kami pilih, si perempuan bergigi gingsul itu langsung mengajak untuk berendam di kolam.

“Kamu ganti baju dulu ya. Saya tunggu di sini,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata.

Dan prosesi khas itu terjadi. Baju harus ditaruh dalam loker, berganti kimono batik dengan celana pendek. Tim koran ini lantas masuk ke dua kolam. Yang hangat dilengkapi pancuran. Yang dingin berukuran lebih kecil.

Sambil berendam, perempuan yang belum mengenalkan namanya itu langsung memberikan servis pijatnya.

Sekitar sepuluh menit berendam, dia beranjak dari tempat duduknya. Dia mengajak ke kamar untuk memberikan layanan selanjutnya. Kamar tersebut berada di lorong lain. Di timur kolam berendam. Dia membawa secarik kertas dan memberikannya kepada operator. Di situ tertulis 205. Nomor kamar yang akan kami pakai.

“Silakan masuk, saya ambil tas dulu,” ujarnya.

Di kamar tersebut, layanan prostitusi yang dibungkus terapi pijat seadanya itu terjadi. Terasa sekali skill memijatnya memang jauh dari mumpuni.

Perempuan yang mengaku bernama Chin Chen itu mengaku baru satu bulan belajar memijat. Nyaris tak terlontar sepatah kata berbahasa Indonesia sepanjang pertemuan kami. Dia lebih banyak menggeleng ketika ditanya. Kadang artinya tidak mengerti. Atau malah tidak ingin menceritakan. Semuanya hanya dibedakan lewat ekspresi wajah.

Misalnya, saat ditanya tentang makanan kesukaan, dia menjawab tidak tahu. Jawabannya malah, “Happy new year!”

Tapi, “kendala bahasa” itu memang bukan halangan bagi pencinta hiburan “dewasa” tersebut. Sebab, layanan prostitusi sudah punya bahasa universalnya sendiri…

***

Chin Chen, perempuan dengan tato tulisan Queen di lengan kiri, banyak membuang muka saat tim penelusuran koran ini bertanya tentang agen yang membawanya ke Surabaya.

Dia hanya mau bercerita tantang negeri asalnya. Itu pun dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Dia berkisah tentang Qinghai, provinsi tempatnya tinggal di Tiongkok.

Soal harga, Chin Chen tidak mau ditawar. Harus Rp 1,2 juta pas untuk sekali servis, awal Januari itu. Perempuan dengan hiasan berlian di gigi taringnya tersebut juga terasa tidak sabaran. Saat kami membayar di kasir, dia juga ikut menunggu.

Bahkan, ketika kami baru mengeluarkan uang, dia sudah meminta bagiannya kepada kasir.

“Saya satu dua (maksudnya Rp 1,2 juta),” ujarnya.

Layanan seperti itu ibarat prosedur dan ketetapan yang harus dia berikan kepada tamu. Memang, itu pekerjaan mereka. Pekerjaan yang sudah dia geluti sejak direkrut seorang agen.

Di Surabaya, setidaknya ada dua manajemen perusahaan tempat hiburan dan terapis yang menggunakan tenaga kerja asing. Mereka mendapat stok agen dari Jakarta. Memang ada beberapa agen yang beroperasi Surabaya, tapi domisili mereka tetap di Jakarta.

Kisah itu didapatkan Jawa Pos dari Hary, sebut saja demikian. Dia pernah menjadi mucikari pelacur asing yang beroperasi di salah satu tempat hiburan di Jalan A. Yani. Tempat hiburan tersebut berada di sebuah pusat perbelanjaan yang juga beken. Selain itu, Hary juga menyuplai perempuan untuk sebuah tempat dugem di kawasan Kedungdoro.

Hary menyatakan tidak mudah untuk mendapatkan perempuan. Komunikasi sangat tertutup. Nomor telepon mereka pun sering berganti.

”Kalau tidak, kami bisa terlacak. Praktik itu kan terselubung,” katanya.

Setiap agen memiliki lima hingga tujuh orang perempuan. Mereka mendapatkan perempuan itu dari agen di Tiongkok. Agen dari Indonesia jarang mendapat perempuan yang masih “baru”. Mereka rata-rata sudah pernah beraksi di Eropa.

”Kami cuma dapat sortiran,” imbuh dia.

Negara-negara di Eropa dikenal banyak uang. Peminatnya juga kalangan tua berduit. Libido tidak gede, tapi duit seolah tak terbatas.

”Kerja mereka enteng, tapi duit banyak,” ungkap dia.

Agen-agen itu memiliki grup. Mereka juga sering bertukar ladies untuk memenuhi permintaan. Misalnya, salah seorang perempuan yang kurang maksimal di bawah manajemen A bisa dijadikan sarana barter dengan agen B.

Sebaliknya, perempuan di bawah manajemen tertentu pun bisa minta pindah.

”Ada negosiasinya. Perpindahan itu bisa disebabkan fasilitas yang diberikan agen kurang memuaskan,” katanya.

Setelah perempuan tinggal di mes, agen biasanya menempatkan satu mami dan seorang penjaga. Mereka mengawasi perempuan asing tersebut. Selain praktik di perusahaan, mereka tidak boleh menerima booking-an ke luar.

Namun, ada perempuan asing yang ”nakal”. Mereka mencari sampingan dengan menerima order di luar jam kerja. Biasanya, mereka kongkalikong dengan sekuriti dan mami di mes itu.

”Kalau ketahuan, kami pulangkan ke agennya di Tiongkok,” tutur dia.

Pria asal Jakarta itu tidak tahu pasti bagaimana agen Tiongkok merekrut perempuan itu. Namun, dia sempat mendengar cerita, ada dua cara. Agen mencari ke kampung-kampung di Tiongkok. Ada juga perempuan yang merekrut kawan-kawan sebayanya.

”Biasanya, perempuan yang berhasil mengajak teman itu mendapat fee dari agen,” ucapnya.

Saat ini, mulai tumbuh agen-agen baru. Hary yakin agen tersebut sudah masuk ke Surabaya. Bahkan, mereka tidak lagi berpraktik di bawah manajemen. Mereka praktik bebas dengan melayani secara online. (Tim Jawa Pos/*)

Update