Kamis, 25 April 2024

Pemko Batam Protes Tarif Baru UWTO di Rempang – Galang

Berita Terkait

batampos.co.id – Penerbitan Peraturan Kepala (Perka) Badan Pengusahaan (BP) Batam Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tarif Sewa Lahan menyisakan persoalan baru. Penyebabnya, BP Batam memasukkan kawasan Rempang dan Galang dalam daftar tarif yang dirilis pada Senin (23/1) lalu itu.

Keputusan BP Batam ini langsung menuai protes dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam. Asisten Bidang Pemko Batam, Syuzairi, mengatakan keputusan BP Batam ini berpotensi memunculkan ketegangan baru dengan Pemko Batam. Sebab menurut dia, wilayah Rempang dan Galang (Relang) masih berstatus quo.

“Jangan pernyataan BP Batam justru memunculkan permasalahan baru,” kata Syzairi, Rabu (25/1).

Karena masih status quo, kata Syuzairi, lahan yang ada di wilayah Relang belum memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

“Kalau HPL-nya belum ada, bagaimana bisa ada tarifnya,” kata Syuzairi.

Dengan diterbitkannya tarif sewa lahan tersebut, secara otomatis BP Batam melegitimasi bahwa lahan di Relang sudah bisa dialokasikan kepada masyarakat dan pengusaha. Padahal, alokasi itu nantinya bisa dipersoalkan di kemudian hari.

Menurut Syuzairi, hal ini akan menimbulkan polemik baru di masyarakat. Sebab dia yakin, pemerintah pusat belum mencabut status quo untuk lahan di Relang.

Syuzairi mengaku sudah beberapa kali berkoordinasi dan menggelar rapat dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat terkait wilayah Relang. Hasilnya, pemerintah masih menyematkan status quo untuk seluruh lahan di wilayah itu. Artinya, lahan di Relang tidak bisa dialokasikan atau diperjual-belikan.

“Jadi ini pembohongan publik,” tegas Syuzairi.

Syuzairi mengingatkan, seharusnya BP Batam baru mengeluarkan tarif sewa lahan atau tarif uang wajib tahunan otorita (UWTO) untuk Relang jika status lahannya sudah jelas. Karena jika nanti ada pengusaha atau masyarakat yang mendapat alokasi lahan di sana, dia pastikan akan mendapat masalah.

“Saya tegaskan Relang itu masih status quo,” katanya lagi.

Hal senada disampaikan Kepala Badan Perencanaan dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah Pemko Batam, Wan Darussalam. Dia memastikan BP Batam sampai saat ini belum menerima HPL dari pusat untuk wilayah Relang. Kata dia, status Relang ini juga masih dibahas di sejumlah kemeterian terkait.

“Pernah (dibahas) di Kemendagri, waktu itu di Ditjen PUM (Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum). Tapi sampai saat ini belum diputuskan HPL-nya,” kata Wan di Batamcenter, kemarin.

Menurut dia, status Relang masih disebut sebagai holding zone atau kawasan hutan yang ber-Dampak Penting dengan Cakupan Luas dan Bernilai Strategis (DPCLS). Karena itu HPL Relang belum ditentukan sebelum ada perubahan status kawasan tersebut.

“Pembahasannya setahun terakhir. Karena statusnya hutan maka pemberian HPL itu harus dengan persetujuan DPR,” jelas Wan lagi.

Dikatakannya, persoalan Relang sempat dibahas dalam rapat bersama Dewan Kawasan (DK) Batam di Jakarta yang anggotanya terdiri dari lintas kementerian dan lembaga. Namun pembahasaan saat itu masih sebatas pelimpahan aset dari BP ke Pemko Batam, tata ruang, tarif UWTO hingga pencabutan lahan tidur.

“Kalau soal Relang memang sudah masuk agenda untuk dibahas, tapi sampai sekarang belum. Apalagi tentang pengalihan kewenangan,” ungkap Wan.

Dengan begitu, Wan berpendapat BP Batam belum boleh mengalokasikan lahan di Relang meski BP Batam telah mencantumkan tarif sewa lahan di kawasan itu. Karena lahan di Relang masih menjadi kewenangan pusat.

“Belum lah, kalau mengacu hasil pertemuan di Kemendagri itu belum bisa (dialokasikan),” sebut Wan.

Seperti diketahui, dalam Perka Nomor 1 Tahun 2017 BP Batam memang memasukkan lahan di Rempang, Galang, Galang Baru, dan pulau-pulau di sekitar Rempang Galang dalam daftar tarif sewa lahan atau UWTO. Tarif sewa lahan di wilayah itu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tarif untuk wilayah mainland.

Sebagai perbandingan, tarif sewa lahan baru untuk apartemen di kawasan Nagoya dibanderol Rp 117.700 per meter persegi per 30 tahun. Sementara di Galang hanya Rp 52.500 per meter persegi per 30 tahun.

Demikian juga untuk peruntukan lainnya, seperti perumahan, industri, komersil, dan lainnya. Tarif di Relang dan pulau-pulau sekitarnya jauh lebih rendah.

Kepala BP Batam, Hatanto Reksodipoetro, mengatakan pihaknya hanya menjalankan amanah dari pemerintah pusat melalui Dewan Kawasan (DK) Batam. Menurut dia, cakupan wilayah tarif sewa lahan dalam Perka Nomor 1 Tahun 2017 sudah mendapat persetujuan pusat.

“Perka ini merupakan perintah langsung dari atasan di Jakarta. Dan kami hanya melakukan perintah dari DK,” kata Hatanto saat jumpa pers di Gedung Marketing BP Batam, Selasa (24/1).

Sementara Direktur Humas dan Promosi BP Batam, Purnomo Andiantono, mengatakan penetapan tarif UWTO untuk wilayah Relang mengacu pada UU Nomor 44 Tahun 2007 dan PP 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) Batam. Menurut dia, dalam UU dan PP tersebut kawasan Relang masuk wilayah FTZ Batam.

“Jadi Perka harus mengatur wilayah semua FTZ,” kata Andi, Rabu (25/1).

Meski begitu, lanjut Andi, tidak berarti BP Batam bisa langsung mengalokasikan lahan di wilayah Relang. Sebab pihaknya harus mensinkronkan dengan aturan lain, mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kepri dan Batam, master plan pembangunan Batam, status lahan di Relang, dan aturan pusat lainnya.

Sejarang Panjang Relang

Jika merunut ke belakang, Rempang-Galang memang masuk wilayah kerja BP Batam. Hal ini tertuang dalam UU 44 Tahun 2007 dan PP 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) Batam.

Dengan terbitnya UU tersebut, nama Otorita Batam (OB) berubah menjadi BP Batam dengan masa kerja 70 tahun sejak PP 46/2007 diteken. Meski berubah nama, namun kekuasan BP Batam hilang terhadap pengelolaan lahan di Batam dan sekitarnya tak berkurang. Bahkan di PP 46 tersebut dipertegas kembali wilayah kerja BP Batam meliputi Pulau Batam, Tonton, Setokok, Rempang, Galang, dan Pulau Galang Baru (Batam dan yang terhubung dengan jembatan).

Meski begitu, BP Batam belum bisa mengelola dan mengalokasikan lahan di Rempang-Galang dan sekitarnya kepada investor karena terbentur aturan lain. Sebagian besar Rempang-Galang tercatat sebagai hutan buru (hutan konservasi) di Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Kemenhut belum pernah melepas status hutan tersebut.

Untuk bisa melepas Rempang-Galang ke investor, status hutan buru yang setingkat dengan hutan konservasi harus diturunkan statusnya terlebih dahulu hingga ke level hutan lindung yang bisa dialokasikan menjadi kawasan komersil. Kemudian, diturunkan lagi statusnya menjadi DPCLS atau daerah penting dalam cakupan luas bernilai strategis.

Namun, mengubah status hutan buru hingga ke level DPCLS, butuh proses panjang dan melibatkan beberapa kementerian. Termasuk harus ada hutan pengganti yang luasnya beberapa kali lipat dari luas Rempang-Galang. Sementara, tidak ada lagi hutan luas di wilayah Kepri, khususnya Rempang-Galang. Itulah sebabnya, Rempang-Galang berstatus quo hingga saat ini. (ian/she/nur/leo)

Update