Sabtu, 20 April 2024

Kisah Patrialis Akbar Jadi Tersangka Suap Rp 2 Miliar

Berita Terkait

Patrialis Akbar

batampos.co.id– Mahkamah Konstitusi (MK) kembali tercoreng. Itu setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan hakim MK Patrialis Akbar sebagai tersangka dugaan suap “jual beli” keputusan uji materi atau judicial review (JR). Patrialis diduga menerima commitment fee berupa uang USD 20.000 dan voucher SGD 200.000 atau sekitar Rp 2 miliar dari importir daging Basuki Hariman.

Kasus suap yang diungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) itu berkaitan dengan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 yang sedang dimohonkan uji materi di MK. Basuki diduga kuat menginginkan JR yang dimohon perwakilan asosiasi peternak lokal, petani, pedagang dan konsumen daging tersebut dibatalkan oleh MK. Sebab, permohonan itu terkait dengan sistem zona impor hewan ternak.

Kasus suap tersebut diungkap KPK pada Rabu (25/1). Total ada empat tersangka dari 11 orang yang diamankan dalam OTT itu.

KPK memulainya dengan mengamankan Kamaludin di lapangan golf Rawamangun Jakarta Timur pada pukul 10.00 (25/1). Kamaludin merupakan perantara uang suap dari Basuki untuk Patrialis.

Tim KPK kemudian bergerak ke kantor Basuki di kawasan Sunter Jakarta Utara. Di lokasi kedua itu, KPK menangkap Basuki dan sekretarisnya Fenny.

Setelah itu, KPK menangkap Patrialis di Grand Indonesia Jakarta Pusat pada Rabu malam pukul 21.30. Empat orang yang diamankan tersebut digiring ke KPK dan ditetapkan sebagai tersangka.

Patrialis dan Kamaludin disangka sebagai penerima.

Sedangkan Basuki dan Fenny yang merupakan pimpinan di perusahaan impor daging PT Impexindo Pratama tersebut dijadikan tersangka sebagai pemberi suap.

Selain keempat orang itu, KPK juga mengamankan 7 orang lain yang kini berstatus sebagai saksi. Mayoritas merupakan karyawan Basuki. Ada pula beberapa perempuan yang diamankan bersama Patrialis.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengungkapkan, empat tersangka dan 7 saksi diperiksa intensif sejak Rabu di gedung KPK. Dia menyebut, Kamaludin yang menjadi perantara suap merupakan teman Patrialis. Kamal menghubungkan Basuki dan Patrialis untuk pemberian suap tersebut.

Diduga, komunikasi antara Patrialis dan Basuki terkait permohonan uji materi UU Nomor 14/2014 itu sudah dilakukan sejak lama.

”BHR (Basuki Hariman) dan NGF (Fenny) selaku importir daging melakukan pendekatan ke PAK (Patrialis) melalui KM (Kamaludin). Ini dilakukan agar bisnis impor daging (Basuki) dapat lebih lancar,” jelasnya saat konferensi pers di gedung KPK kemarin.

Patrialis dan Kamaludin sebagai penerima suap dijerat dengan pasal 12 huruf c atau pasal II UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Basuki dan Fenny sebagai pemberi suap disangka dengan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sekadar informasi, Basuki sebelumnya juga pernah tersandung masalah korupsi suap impor daging yang melibatkan Lutfi Hasan Ishaaq pada 2013.

”Sekali lagi, KPK memperingatkan penyelenggara negara untuk tidak menerima suap,” ucap jebolan perwira tinggi Polri ini.

Sayang, KPK belum mau membeberkan lebih jauh terkait keterlibatan hakim MK lain dalam kasus suap itu. Sebagai catatan, ada 9 hakim MK yang memiliki kewenangan dalam memutuskan permohonan uji materi. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bukan hanya Patrialis saja yang terlibat.

”Terkait dengan itu (keterlibatan hakim MK lain) masih didalami penyidik,” ujar komisioner KPK Laode M. Syarif.

KPK juga belum mau mengungkap lebih jauh peran Patrialis dalam permohonan uji materi itu. Laode mengatakan, semua yang berkaitan dengan perkara dan keterlibatan pihak lain masih dalam pengembangan. Laode pun mengatakan, KPK tidak menargetkan secara khusus hakim-hakim di MK dalam kasus tersebut.

”Tapi ini betul-betul karena informasi dari masyarakat,” dalihnya.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat meminta maaf kepada masyarakat. Sebab, meskipun perilaku dilakukan secara personal, hal itu tetap ikut mencoreng MK sebagai penjaga marwah konstitusi. Terlebih, kasus tersebut justru menimpa di tengah upaya MK membangun kembali kepercayaan masyarakat usai kasus Akil Mochtar.

“Seluruh hakim MK prihtin dan menyesalkan peristiwa tersebut, di saat MK berikhtiar membangun sistem yang menjaga keluhuran martabat MK,” ujarnya di Gedung Mahkamah Konstitusi, kemarin (26/1).

Tak ingin berlama-lama meratapi, Arief menegaskan jika sejumlah upaya sudah dipersiapkan untuk memotong efek buruk atas kelakuan salah satu hakimnya. Salah satunya, Dewan Etik MK akan membentuk majelis kehormatan MK, disertai dengan usul pemberhentian bagi PA.

Majelis kehormatan tersebut, rencannaya berisi lima orang. Yang terdiri dari satu hakim MK, satu anggota Komisi Yudisial, satu orang mantan hakim MK, satu orang guru besar hukum dan satu orang tokoh masyarakat. Jika majelis kehormatan memutus patrialis melakukan pelanggaran berat, maka MK segera mengajukan permintaan pemberhentian kepada Presiden.

Terkait kasus, Arief membenarkan jika gugatan judicial review UU Peternakan memang benar adanya. Namun dia belum bisa memastikan, apakah PUU tersebut yang menjadi “objek dagangan” Patrialis.
Lalu, apakah proses Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) atas gugatan tersebut akan dikaji ulang? Arief membantahnya. Menurutnya, hasil dari RPH tersebut tidak diputuskan oleh Patrialis seorang, melainkan dilakukan oleh delapan hakim konstitusi lainnya.

Anggota Komisi III DPR RI Adies Kadir menyatakan, pihaknya prihatin dengan penangkapan terhadap hakim MK. “Kasus ini terjadi di saat MK berusaha  memulihkan nama baiknya,” terang dia. Sebelumnya, KPK juga menangkap Ketua MK Akil Muchtar yang menerima suap dari pihak berperkara dalam sengketa pilkada.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengaku kaget dengan kabar tertangkap tangannya Patrialis. Sebagai mitra di Komisi III, Bambang berharap kasus itu tidak terkait dengan sengketa UU yang akan diputus MK. “Kami kaget luar biasa dan prihatin jika memang OTT itu terkait putusan,” kata  Bambang.

Menurut Bambang, jika OTT itu terkait sengketa di MK, Bambang khawatir hal itu bisa berpengaruh pada kredibilitas MK. Sebab, sebelum kasus Patrialis, kasus OTT terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar sudah mencoreng kredibilitas lembaga yang dibentuk di era reformasi itu.

“Itu dapat meruntuhkan kredibilitas MK yang baru saja recovery sebagai lembaga tinggi negara,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengungkapkan keprihatinanya atas operasi tangkap tangan yang menimpa hakim Mahkamah Konstitusi. Meskipun begitu dia tetap meminta masyarakat menunggu proses hukum tuntas. “Tentu kita sangat prihatin karena ini lembaga hukum,” ujar JK di kantor Wakil Presiden, Kamis (26/1).

Dia juga menepis anggapan soal latar belakang Patrialis yang berasal dari partai politik. Menurut JK, kader partai atau bukan itu tidak menjadi jaminan seseorang bisa terjerembab dalam pusara kasus korupsi.

Sementara itu, Ketua Presidium Dewan Peternakan Nasional (Depernas) Teguh Boediyana menjelaskan, penangkapan Patrialis menjadi salah satu titik terang dari keluhan yang dipendam oleh peternak selama delapan bulan terakhir. Pasalnya, mulai 16 Oktober 2015 lalu, dia bersama dengan pemerhati peternak lokal lainnya mengajukan judicial review terhadap ketentuan dalam undang-undang (UU) nomor 41 2014 mengenai peternakan dan kesehatan hewan.

’’Kami sudah mengajukan gugatan terhadap pasal 36C dan 36E yang membolehkan impor ternak berbasis zona bukannya basis negara. Semua proses persidangan di MK sudah selesai pada 12 Mei 2016 tapi putusannya belum keluar sampai sekarang,’’ jelasnya.

Menggantungnya putusan hingga berbulan-bulan sangat mengherankan bagi peternak lokal. Pasalnya, kasus hukum ini sebenarnya sudah bukan barang baru. Polemik impor ternak berbasis zona sudah terjadi pada 2009. Saat itu, pemerintah baru saja menciptakan produk hukum UU nomor 18 2009 yang mengganti fungsi UU nomor 6 1967 tentang ketentuan pokok peternakan  dan kesehatan hewan.

Dalam aturan tersebut, pemerintah juga memasukan ketentuan impor berbasis zona. Karena itu, pihaknya mengajukan judicial review dan dikabulkan pada 2011 lalu. Namun, UU 41 2014 yang dijebolkan oleh DPR pada masa akhir pemerintahan SBY kembali memuat hal tersebut.

’’Tentu kami kaget karena kami merasa sudah menang di MK. Tapi, kami malah diberitahu bahwa keputusan itu tak lagi berlaku dan disuruh mengajukan judicial review lagi,’’ ungkapnya.

Sekretaris Jenderal Persaturan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf menegaskan, alasan utama pihak peternak tak ingin adanya impor ternak berbasis zona adalah potensi rawan penyakit mulut dan kuku (PMK) ternak. Pasalnya, dengan zona basis, maka negara eskportir yang belum bebas dari risiko PMK mendapatkan izin untuk memasok sapi dan ternak lainnya ke Indonesia.

’’India dan Brazil bukan merupakan negara yang sepenuhnya bebas PMK. Tapi karena basis ini, mereka bisa menjadi pemasok dan membahayakan peternak rakyat,’’ jelas dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran itu.  (tyo/far/bil/jun/syn/bay/lum/jpgrup)

Update