Sabtu, 20 April 2024

Jembatan Anak Tiri di Desa Marok Tua

Berita Terkait

batampos.co.id – Masyarakat Desa Marok Tua, Kecamatan Singkep Barat, memberi nama jembatan mereka dengan sebutan sedikit nyeleneh yakni “Jembatan Anak Tiri”. Papan nama sepanjang 2,5 meter itu terpajang seadanya dengan tulisan tidak rapih dengan menggunakan cat warna hitam yang langsung terlihat bagi siapa saja yang hendak memasuki jembatan tersebut.

Pemberian nama jembatan itu bukan tidak ada alasan mendasar, masyarakat Desa Marok Tua berjumlah 702 KK tersebut kesal karena jembatan satu-satunya akses masuk dan keluar, dari dan ke desa mereka tidak dapat perhatian dari Pemkab Lingga walau telah diusulkan dalam musrenbang sejak 2012.

“Nama itu muncul dari masyarakat desa karena kesal,” ujar Kades Marok Tua Safarudin ketika dihubungi Batam Pos, Selasa (14/3) pagi.

Warga Desa Marok Tua juga sudah jenuh menunggu bantuan dari Pemerintah Daerah, saat ini jembatan sepanjang 220 meter itu tidak lagi diusulkan dalam musrenbang. Warga dan pengurus desa saat ini menunggu dana desa untuk perawatan dan perbaikan jembatan itu.

Saat ini kondisi jembatan yang memiliki lebar 2,5 meter tersebut tidak dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat mengangkut barang dalam kafasitas banyak. Pasalnya, sejumlah tiang dan lantai papan jembatan sudah rapuh dan goyang. Namun dalam kondisi mendesak seperti membawa orang sakit dengan kendaraan roda tiga, warga harus mengawal jembatan itu agar tidak rubuh.

“Kalau sepeda motor bisa lah lewat, tapi harus satu persatu. Takut bahaya kalau roboh,” ujar Safarudin.

Jembatan anak tiri itu adalah satu-satunya akses masuk dan keluar warga Desa Marok Tua. Sehingga sangat dibutuhkan warga sebagai jembatan penghubung desa mereka dengan kota Dabo Singkep. Di Desa mereka juga belum terdapat fasilitas pelayanan umum yang memadai seperti pasar, kesehatan dan sebagainya, sehingga mengharuskan mereka untuk keluar desa menuju Dabo Singkep.

Safarudin menceritakan, jembatan itu pernah dihantam puting beliung dan roboh sepanjang 64 meter. Karena satu-satunya akses, seluruh warga turut bergotong royong untuk memperbaiki kerusakan jembatan. Selama tiga bulan, aku Safrudin, warga terisolir tidak dapat melakukan aktifitas keperluan ke luar desa begitu juga sebaliknya.

Safarudin menambahkan semua perbaikan jembatan anak tiri itu murni dari swadaya masyarakat, tanpa sepeserpun dana bantuan pemerintah. Akhirnya, setelah bersusah payah selama tiga bulan, jembatan tersebut dapat digunakan kembali walau dengan kondisi seadanya.

“Kami sudah jera mengusulkan bantuan jembatan itu, yah sekarang nunggu dana desa saja untuk perawatan dan perbaikan,” kata Safarudin. (wsa)

Update