Selasa, 19 Maret 2024

Amartina Koleksi Perangko Sejak 1950

Berita Terkait

 

Koleksi perangko bergambarkan wajah Presiden RI Soeharto milik Amartina di Tanjungpinang. F. Faradilla/batampos.

batampos.co.id – 29 Maret adalah Hari Filateli Nasional. Hari raya bagi para pengoleksi prangko yang keberadaanya hari ini bak ditelan bumi. Apa kabar mereka?

Amartina menuju lemari bagian bawah di ruang keluarga di rumahnya, di Jalam Wiratno Tanjungpinang. Perempuan 54 tahun ini lantas mengeluarkan dua jilid besar album. Belum cukup. Disusul empat album kecil. Terakhir, ada kantung plastik bening persegi ukuran sekitar sejengkal tangan orang dewasa.

Siang kemarin, ibu dua anak ini agak terkejut ketika diberi tahu bahwa 29 Maret adalah Hari Filateli Nasional. “Memang ada hari-nya juga ya? Kok baru dengar,” katanya pada Batam Pos.

Prangko memang jadi salah satu koleksi milik Amartina, selain mata uang dari pelbagai belahan dunia. Kertas kecil sebagai bukti pembayaran pengiriman surat atau kartu pos di rumahnya juga berasal dari banyak negara di dunia. Ada dari Amerika Serikat, Maroko, Afrika Selatan, Jerman, Perancis, Belanda, Arab Saudi, Australia, dan tentu cukup banyak koleksi prangko dalam negeri.

Kegemaran ini sudah dilakoninya sejak akhir 1950-an atau semasa duduk di bangku sekolah dasar. Bermula juga dari kebiasaan keluarga besarnya yang berkirim surat di masa ketika teknologi belum secanggih seperti hari ini. Surat-surat yang diterima bapaknya dari kawan dan saudaranya itu sudah barang tentu dibubuhi prangko. Dan Amartina kecil mengaku menyukai motif-motif gambar yang ada di prangko.

“Itulah awalnya. Bukan karena tahu kalau ada hobi filateli. Tapi lebih karena suka gambar-gambarnya,” kenangnya.

Kesukaan ini lantas tetap menjalar dan tumbuh sampai dewasa. Apalagi di masa-masa itu, ia cukup akrab dengan siaran radio luar negeri Kangoroo Radio, yang jadi wahana bermain korespondensi bersama sahabat pena dari berbagai penjuru dunia. Amartina pun semakin rajin berkirim surat ke banyak sahabat penanya guna mendapat balasan dan mengincar prangkonya.

Tak heran kini, jumlah koleksi prangko di rumahnya lebih dari seribu lembar dengan asal negara yang cukup variatif dan tentu motif-motif yang menarik. Kegemaran berkorespondensi ini lantas terhenti semenjak teknologi berkembang sedemikian pesat dan orang dalam berkirim surat cukup menggunakan surat-elektronik.

“Terakhir nambahin koleksi prangko ini sekitar tahun 1997 deh. Habis itu orang sudah lebih banyak berkirim surat pakai e-mail,” ucap perempuan yang pernah tinggal lama di Belanda dan Arab Saudi ini.

Tidak ada prangko spesial. Semua disusunnya dalam album yang memang disediakan secara khusus untuk menyimpan prangko. Walau kini terasa semu, bukan berarti kesenangan ini lantas padam. Sesekali Amartina masih menyempatkan untuk menengok koleksi yang dikumpulkannya selama lebih dari empat dekade hidupnya.

“Bisa buat cerita buat anak juga kan,” katanya seraya tertawa.

Karena itu pula, bagi Amartina, koleksi ribuan prangkonya ini ternilai dan tidak bisa ditakar dengan nominal uang. Belum terpikirkan olehnya jika ada seorang kolektor yang datang hendak membeli koleksinya. Tapi jika hari itu tiba, tegas sekali jawaban yang sudah ia siapkan.

“Nggaklah. Ngapain dijual. Susah-susah ngumpulin kok malah dijual,” ujarnya.

Di Indonesia, prangko diedarkan pada 1864. Oleh sebab itu, 1 April 1964 diterbitkan prangko peringatan 100 tahun digunakannya prangko di Tanah Air. Perkumpulan filatelis pertama, Bataviasche Vereeniging van Postzegelverzamelaars, berdiri pada 1924, kemudian menjadi Nederland Indische Vereeniging van Postzegelverzamelaars.

Perkumpulan itu bubar bersamaan dengan pendudukan Jepang. Pada 1947, muncullah Algemeene Vereeniging Postzegelverzamelaars in Indonesie (AVPVI). Di sini, orang Indonesia mulai diterima menjadi anggota. Pada 1950-an AVPVI berubah menjadi Perkumpulan Umum Philatelist Indonesia (PUPI).

Setelah masa kemerdekaan, desain prangko semakin beragam. Ada seri batik, candi, pakaian adat, bulu tangkis, Pramuka, dan Olimpiade. Prangko pun menjadi penanda peristiwa. Misalnya, pada 1979 terbit prangko Garuda Indonesia untuk memperingati ulang tahun ke-30 maskapai penerbangan yang didirikan pada 26 Januari 1949 itu.

Tahun 1969, Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) menjadi anggota Federation Internationale de Philatelie lewat kongres ke-39 di Sofia, Bulgaria. PPI memiliki cabang di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, Medan, Balikpapan, Makassar, dan Manado. (faradilla)

 

Update