Kamis, 25 April 2024

Bukan Sekolah yang Paksa, begitu Kata Guru di SMKN 2 Batam

Berita Terkait

batampos.co.id – Kebijakan pengenaan denda bagi siswa yang tidak lulus ujian akhir sekolah (UAS) di SMKN 2 kembali mendapat keluhan siswa dan orangtua. Rosa, siswi SMK Negeri 2 Batam mengaku kaget, lantaran denda berupa uang itu dinilai memberatkan.

“Saya kaget sekali ketika saya dan teman-teman remedial harus membayar denda,” keluh siswi kelas XII tersebut,” Kamis (20/4).

Ia menceritakan, ada sejumlah denda yang dikenakan kepada siswa yang tak lulus UAS. Setiap mata pelajaran dipatok Rp 20 ribu.

Bentuknya beragam. Misalnya jika tidak lulus bahasa inggis diwajibkan membeli keramik. Siswa yang tidak lulus seni rupa wajib membayar denda membeli baju tari sekolah, speaker serta tanaman hidroponik dengan dalih memberikan efek jera bagi siswa.

“Sekolah negeri setahu saya tidak dipungut biaya apapun,” ungkapnya.

Rosa menilai denda itu cukup memberatkan. Apalagi bagi orang yang tidak mampu seperti dirinya.

“Bagi siswa seperti kami jelas sangat memberatkan. Denda ini untuk satu mata pelajaran. Katanya peganti remedial. Tapi jangan kayak ini caranya,” kata Rosa.

Ia berharap ketegasan pemerintah perihal denda yang tidak masuk akal ini.

“Kami juga sudah laporkan ke Komisi IV DPRD Batam,” ungkapnya.

Selain Rosa, Indra salah seorang wali murid yang mengaku mengalami hal tersebut merasa keberatan karena sanksi yang diberikan sekolah tidak masuk akal.

“Bukannya diberikan remedial, sekolah malah mewajibkan pembayaran dalam bentuk denda,” ungkapnya.

Indra mengaku anaknya yang duduk di kelas kelas XII mengaku diwajibkan membayar keramik dan bola kaki seharga Rp 600 ribu.

“Bukan anak saya saja. Ada puluhan murid yang tak lulus UAS,” kesal Indra.

Ia menilai denda ini hanya akal-akalan pihak sekolah saja. “Standar nilainya 75. Di bawah itu harus bayar denda. Padahal untuk standar nilai ujian nasional saja tak sampai segitu,” kata Indra.

Bahkan siswa kelas X sampai XII juga diwajibkan menjual sembako dengan dalih pelajaran kewirausahaan. Sembako harus dijual ke pihak lain, sekolah beralasan lebih murah dari harga eceran. Tapi kenyataannya harga sembako itu sangat mahal.

“Ujungnya anak-anak yang harus nombok beli sendiri sembako lantaran tidak ada yang mau membeli karena mahal,” tuturnya.

Waka Kurikulum SMKN 2, Hisnanelih menguturkan, pihak sekolah tidak pernah meminta apapun kepada siswa baik itu berupa barang, keramik, atau seperti apa yang diberitakan.

“Kami tidak pernah minta, itu inisiatif mereka sendiri,” kata Hisna saat dihubungi Batam Pos, Kamis (20/4).

Menurutnya, pemberian beberapa jenis barang itu merupakan inisiatif dari siswa yang tidak berhasil menuntaskan ujian mereka.

“Mereka sudah dua hingga tiga kali ujian namun tidak lulus juga, karena itu mereka berinisiatif mengganti nilai dengan beberapa barang, tapi tidak ada paksaan,” ujarnya.

Dia juga menambahkan, anak yang telah memberikan barang- barang tersebut memang mendapatkan nilai dan tidak mengikuti remedial atau ujian kembali.

Disinggung mengenai pratik ini apakah melanggar atau tidak, dia menegaskan tidak pernah memaksa siswa.

Intinya kami tidak pernah meminta. Orangtua harusnya berdiskusi dengan sekolah bukan malah keluar jika keberatan atas apa yang dilakukan anak- anak mereka,” terangnya. (cr17)

Update