Jumat, 29 Maret 2024

Pertalite di Kepri Mahal, Itu Akibat Ulah Pemprov

Berita Terkait

Petugas mengisi BBM Jenis Pertalite di SPBU Sukarno Hatta Tanjungpinang, Senin (15/5), F.Yusnadi/Batam Pos

batampos.co.id – Mahalnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite di Kepri bukan hanya ulah pemerintah pusat, tapi juga ulah Pemerintah Provinsi Kepri. Pemprov menerapkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) maksimum sehingga harga Pertalite di Kepri termahal di Indonesia, yakni Rp 7.900 perliter. Sementara di daerah lainnya hanya Rp 7.500 hingga Rp 7.700.

Dari penerapan PBBKB maksimum itu, ditambah adanya peralihan premium ke pertalite dan pertamax, Pemprov Kepri mengeruk keuntungan besar tanpa harus bersusah payah. Puluhan miliar diperoleh dari PBBKB itu setiap bulannya. Bahkan menjadi sektor pendapatan asli daerah (PAD) andalan Pemprov Kepri.

Tingginya harga pertalite di Kepri itu pertama kali diungkap Area Manager Communication & Relations Sumbagut, Fitri Erika.

“Harga pertalite dan pertamax sangat berpengaruh terhadap komponen PBBKB,” kata Fitri, kepada Batam Pos, akhir pekan lalu.

Dia memaparkan, berdasarkan Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014, PBBKB untuk jenis bahan bakar seperti premium maupun solar dikenakan 5 persen

. Sementara bahan bakar non subsidi seperti pertalite dan pertamax mengacu pada PBBKB yang ditetapkan daerah dan tertuang dalam peraturan daerah (perda) yang diteken DPRD Provinsi Kepri dan Pemprov Kepri.

“Perda Kepri nomor 8 tahun 2011 menetapkan PBBKB 10 persen. Begitu juga di Riau 10 persen, dalam perda nomor 4 tahun 2015,” ungkapnya.

Menurutnya, hal ini berbeda dengan daerah lain yang menetapkan PBBKB lebih rendah dari dua provinsi tersebut. Maka harga pertalitenya pun lebih murah.

“Wilayah Sumatera Utara atau Sumatera Barat menerapkan PBBKB 5 persen,” sebut dia.

Dengan demikian, harga pertalite dan pertamax Kepri termahal di Indonesia karena ada andil besar Pemda yang menetapkan PBBKB lebih tinggi.

“Kami di Pertamina menjalankan tugas dan patuh terhadap aturan, baik yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun aturan di daerah,” ujar Fitri.

Kepala Bidang Pendapatan, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Kepri, Herman mengatakan dasar penerapan PBBKB di Kepri memang benar berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2011. Herman menyebut premium dan solar merupakan BBM yang bersubsdi, meski sebenarnya pemerintah pusat sudah mencabut subsidinya.

“BBM bersubsidi persentase pajaknya selama ini 5 persen. Sedangkan BBM seperti pertalite, pertamax adalah non subsidi dengan pajak maksimum 10 persen,” ujar Herman.

Disebutkan Herman, pada triwulan pertama tahun 2017 ini, Pemprov Kepri sudah mengumpulkan pendapatan dari sektor PBBKB senilai Rp 62,5 miliar atau 23,6 persen dari proyeksi sebesar Rp264,2 miliar.

Lalu benarkah Pemprov Kepri juga bermain dengan sengaja membatasi jumlah kuota premium supaya masyarakat beralih ke pertalite mengingat kewenangan penetapan kuota selama ini dipegang Pemprov Kepri melalui Dinas Energsi dan Sumberdaya Mineral (ESDM)? Herman membantahnya.

“Meskipun sektor ini andalan bagi PAD daerah, bukan berarti kita bisa sewenang-wenang memberlakukannya. Karena semua ada regulasinya,” papar Herman.

Gubernur Provinsi Kepri Nurdin Basirun juga mengakui penerapan PBBKB di Provinsi Kepri sebesar 10 persen. Menurut Nurdin, selama ini tidak ada yang protes, meski BBM non subsidi di Kepri menjadi yang tertinggi di Indonesia.

“Kami mengikuti aturan Pemerintah Pusat. Sehingga kita daerah menyesuaikan saja,” ujar Nurdindi Hotel CK, Tanjungpinang, kemarin.

Jika melihat Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 yang jadi acuan Perda nomor 8/2011, PBBKB untuk jenis bahan bakar seperti premium maupun solar memang dikenakan PBBKB 5 persen

. Sedangkan bahan bakar non subsidi seperti pertalite dan pertamax ditentukan oleh Pemprov masing-masing. Angkanya memang dimungkinkan maksimum 10 persen.

Namun, Pemrov lainnya di Indonesia kecuali Kepri dan Riau memilih angka di bawah 10 persen, bahkan rata-rata 5 persen agar masyarakatnya tak terbebani. Sementara Kepri dan Riau memilih angka maksimum tanpa memperhatikan kondisi ekonomi masyarakatnya.

Terkait hal itu, Nurdin punya alasan. Ia menyebut PBBKB yang ditarik 10 persen dari setiap lembar rupiah yang dikeluarkan masyarakat Kepri saat membeli BBM dikembalikan ke masyarakat lagi dalam bentuk pembangunan infrasrtuktur. “Ada jalan, jembatan, pelabuhan, dan sebagainya,” katanya. (cr13)

Update