Jumat, 29 Maret 2024

Menelusuri Harta Bawah Laut Bawean (3)

Berita Terkait

Tim Balai Arkeologi Jogjakarta masih penasaran dengan ribuan pecahan keramik yang ditemukan di Pantai Diponggo, Jumat (5/5).

Informasi pun digali dengan mencari warga yang tinggal di sekitar pantai. Kabarnya, warga Diponggo punya koleksi keramik paling banyak di seluruh Pulau Bawean.

——

LOKASI kali pertama yang dituju adalah rumah Nur Azizah. Rumahnya menghadap ke utara. Paling dekat dengan bibir pantai. Saat itu azan Asar berkumandang dari masjid di atas bukit. Penanda bahwa waktu penelitian menipis. Sisa waktu penelitian darat hanya tiga jam lagi. Sebab, tim harus kembali ke penginapan sebelum matahari terbenam.

Azizah, perempuan 35 tahun itu, sudah menyiapkan dua keramik asal Tiongkok. Wujudnya berupa mangkuk berdiameter 30 sentimeter. Katanya, keramik itu didapat turun-temurun dari buyutnya. ā€Enggak tahu dari tahun berapa,ā€ ujar perempuan keturunan Bugis-Bawean tersebut.

Selama ini banyak kolektor yang memburu keramik-keramik Pulau Putri, sebutan lain Bawean. Namun, Azizah sudah dipesani orang tuanya.

ā€™ā€™Jangan menjual keramik itu. Peninggalan keluarga, tak ternilai harganya,ā€ ujar Azizah yang menirukan perkataan ibunya.

Tentunya, para peneliti lega setelah melihat keramik utuh itu masih sangat terawat. Peneliti menganggap keramik kuno tersebut sebagai sumber daya arkeologi. Tak pelak, seluruh anggota tim berebut melihat keramik yang diletakkan di kursi panjang yang sudah disiapkan Azizah.

Mereka kegirangan. Seperti melihat rangkaian puzzle yang sudah disatukan. Bagaimana tidak. Satu jam sebelumnya, mereka hanya berkutat dengan serpihan keramik yang tersebar di bibir pantai.

ā€™ā€™Wah, keramik bagus ini,ā€ ujar Tri Marhaeni, salah seorang arkeolog.

Sebelumnya, Tri menerangkan perbedaan keramik Dinasti Ming dan Qing dari pecahan keramik di pantai. Nah, dengan keberadaan dua keramik utuh tersebut, dia bisa menjelaskan lebih detail.

Dia lalu menunjuk keramik di sebelah kiri. Keramik Dinasti Ming. Keramik itu bergambar rumah berarsitektur Tiongkok. Komplet dengan pepohonan, pagar, jembatan perahu, dan dua burung yang saling berhadapan.

Goresan tinta biru pada keramik begitu detail. Bahkan, wujud dedaunan dilukis hingga berukuran 1 milimeter.

Sementara itu, keramik di sebelahnya berupa lukisan abstrak. Sekilas coretan-coretan itu mirip aksara Arab. Namun, setelah diperhatikan, goresan tersebut tidak bisa dibaca.

ā€Bukan. Itu bukan dari Arab. Itu dari Dinasti Qing,ā€ ucap pria yang menjabat Kasubbag TU Balar Jogjakarta tersebut.

Tiongkok memang pernah menjadi raja keramik. Sekitar 5000 SM, mereka sudah menemukan cara membuat tembikar. Keramik putih biru yang ada di hadapan kami mulai dikembangkan pada zaman Dinasti Tang (618-907). Penyempurnaannya terjadi saat Dinasti Ming (1368-1644).

Keramik-keramik itu dibuat para perajin kerajaan. Sejak awal pemerintahan Dinasti Ming, pabrik-pabrik mulai berdiri.

ā€™ā€™Dahulu keramik semacam ini diproduksi di Kota Jingdezhen,ā€ ujar Tri yang banyak mempelajari tentang keramik kuno.

Pada masa Dinasti Ming, ditemukan berbagai teknik dekorasi dan pewarnaan oleh para seniman keramik. Keramik putih dengan lukisan biru yang ada di hadapan kami memang sangat populer pada zamannya.

Secara fungsi, keramik-keramik tersebut adalah peralatan makan. Namun, pemiliknya jelas bukan orang sembarangan. Lalu, mengapa masyarakat Bawean punya banyak keramik itu? Apakah orang-orang Bawean di masa lalu tergolong kaum berada. Mungkin saja begitu.

emuan piring yang masih utuh dari dinasty Ming tahun 1617 SM di Dusun Balong, Desa Diponggo, kepulauan Bawean, Gresik. (Guslan Gumilang/Jawa Pos)

Mungkin juga keramik-keramik tersebut digunakan sebagai alat barter. Para pelaut membutuhkan perbekalan untuk melanjutkan perjalanan. Karena uang belum begitu populer, para pelaut membayar perbekalan itu dengan keramik nan cantik. Masyarakat Bawean saat itu bisa menjualnya ke daratan Jawa.

Setelah puas melihat keramik milik Azizah, tim menanyakan koleksi lainnya? Ternyata ada.

Azizah lantas meminta seluruh rombongan mengikutinya. Dia hendak menuju gudang penyimpanan di belakang rumahnya. Katanya, dia masih punya banyak tempayan atau guci kuno.

Namun, para peneliti menghentikan langkah kakinya. Perhatian mereka beralih ke Rukyah, tetangga Azizah. Dia punya tempayan cokelat tua yang masih digunakan. Tempayan itu dipakai sebagai tempat menampung air untuk mencuci piring.

ā€Ana apa, Pak? Apik ya wadhahe? (Ada apa, Pak? Bagus ya tempatnya? Red),ā€ ucap dia sembari menggosok piring penuh busa.

Tim semakin terkejut saat ada tempayan yang difungsikan sebagai pot bunga. Mereka hanya bisa geleng-geleng. Dari tadi susah-susah mencari pecahan keramik, di rumah Rukyah malah digunakan untuk cuci piring dan pot bunga.

Fungsi utama tempayan tersebut adalah menampung benda cair. Namun, zaman dahulu warga juga sering memanfaatkan wadah itu untuk menyimpan beras. Dijamin, beras akan bertahan lama dan tidak apek. Namun, karena sudah banyak lemari penyimpan beras yang lebih canggih, tempayan tak lagi digunakan dan dibiarkan begitu saja.

Gentong milik Rukyah setinggi setengah meter. Diameter tengahnya mencapai 43 sentimeter. Sedangkan diameter mulutnya 32 sentimeter. Banyak tempayan jenis itu yang diproduksi di Thailand pada abad ke-13 hingga ke-15.

Tempayan tersebut memiliki motif hias geometris. Wujudnya berupa garis yang menggores sekeliling bahu tempayan. Azizah juga punya tempayan seperti itu. Malah lebih besar. Dia menyimpannya di gudang belakang. Dekat dengan kandang ayam.

Tempayan itu tidak difungsikan. Bila disentil, tempayan tersebut mengeluarkan bunyi ting yang sama dengan bunyi lempengan logam. Itu menjadi tanda bahwa kekeringan tempayan masih sangat terjaga.

Karena waktu semakin mepet, tim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Sebelum kami berangkat, Azizah masih menyimpan satu kejutan lagi.

Terdapat koleksi lain yang dia simpan di gudang depan rumahnya. Sebenarnya dia tidak berniat menunjukkan benda itu. Melihat para peneliti yang antusias, dia akhirnya mengeluarkan guci kesayangannya.

Warna guci berwarna cokelat muda tersebut lebih mengilap ketimbang tempayan buatan Thailand. Lubangnya mengerucut ke atas.

ā€Ini dipakai untuk menyimpan arak,ā€ ucap Azizah.

Terdapat tulisan Tiongkok pada guci itu. Tak ada satu pun anggota tim yang bisa membacanya. Lalu, tulisan tersebut difoto dan dikirimkan ke arkeolog yang paham huruf Mandarin. Tim menyebut guci itu adalah guci ā€™ā€™Dewa Mabukā€. Seperti guci arak yang ada di film Drunken Master yang dibintangi Jackie Chan.

***

Tujuan selanjutnya ialah makam Waliyah Zaenab. Lokasinya di atas bukit. Jaraknya sekitar 350 meter dari bibir pantai.

Waliyah Zaenab adalah salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Bawean. Setelah 10 menit berjalan kaki, kami bertemu dengan Kepala Desa Diponggo Muhammad Salim. Rumahnya berdekatan dengan makam putri Sunan Bungkul dari Surabaya itu. ā€Mau langsung ke makam?ā€ tanya Salim dengan ramah.

Saat itu sudah pukul 16.00. Tim harus bergegas untuk mengumpulkan data arkeologi yang ada di makam. Bila sinar mentari hilang, foto-foto yang diambil tidak maksimal.

Saat memasuki areal makam, seluruh anggota tim harus melepas alas kaki. Itu sudah menjadi keharusan. Sebab, lokasinya berdampingan dengan masjid Desa Diponggo.

Terdapat ruangan pusaka di balik makam tersebut. Ada dua tombak yang dibungkus kain kuning, keramik berukuran besar, dan bejana yang terbuat dari logam.

Dua keramik itu lebih besar ketimbang keramik yang dimiliki Azizah. ā€Yang ini istimewa. Sepertinya merupakan hadiah atau pemberian dari raja,ā€ ujar Tri sembari mengangkat keramik bergambar burung dan dedaunan.

Keramik itu diduga berasal dari abad ke-15. Sebab, Waliyah Zaenab dikisahkan menjadi istri kedua Sunan Giri yang hidup di masa itu. Pada abad ke-15, Tiongkok dikuasai Dinasti Ming. Karena itu, Waliyah Zaenab diperkirakan punya hubungan dengan dinasti yang berkuasa pada abad ke-14-17 tersebut.

Setelah mengamati keramik, perhatian arkeolog berpindah ke bejana berdiameter 75 sentimeter dengan tinggi 25 sentimeter. Masyarakat sekitar menyebutnya gelebung. Bahannya berasal dari tembaga. Lantaran ruangan pusaka gelap, tim harus membawa benda itu keluar ruangan.

Terdapat ukiran-ukiran hewan di sekeliling bejana. Di antaranya, tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi. ā€Ini kok seperti hewan-hewan yang ada di shio Tionghoa ya?ā€ ujar salah seorang arkeolog, Alifah.

Setelah dicek, ternyata memang benar. Sebanyak 12 hewan itu memang menjadi simbol zodiak Tiongkok. Hal tersebut semakin menguatkan bahwa Waliyah Zaenab punya hubungan dengan Tiongkok pada masa lalu.

Tak terasa sinar mentari semakin meredup. Sumber penelitian dirasa sudah cukup memuaskan. Tim sudah mencatat ukuran sekaligus memotret pusaka-pusaka itu.

Perjalanan esoknya adalah penelitian bawah air di perairan Pulau Nusa. Itu hari yang paling ditunggu.

Menurut catatan Dictionary of Disasters at Sea During the Age of Steam oleh Charles Hocking (1969), ada empat kapal karam di perairan Bawean, SS (steam ship) Bengal, Janbi Maru, Langkoeas, dan Leeds City. Di antara ketiganya, masih SS Bengal yang berhasil diidentifikasi.

Tiga kapal itulah yang akan diburu para peneliti… (*/c7/dos)

Update