Selasa, 19 Maret 2024

Setahun jadi Gubernur, Kebijakan Nurdin Hanya Memberatkan Rakyat

Berita Terkait

Gubernur Nurdin di atas kapal MV Seven Star usai melakukan peninjaun ke Letung, Jemaja, Anambas, Selasa (14/3).

batampos.co.id – Saya ingin fokus. Pertajam prioritas. Kalau kita tidak bergerak cepat, kita tertinggal.” Itulah kata-kata yang terlontar dari Gubernur Kepri Nurdin Basirun, saat dilantik menjadi Gubernur Kepri oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 25 Mei 2016 lalu. Nurdin menggantikan gubernur senior, HM Sani, yang wafat beberapa bulan setelah dilantik menjadi Gubernur Kepri. Nurdin saat itu menjadi wakil Sani.

Setahun berlalu, kehadiran Nurdin memang memberikan kesan sama seperti saat masih menjabat sebagai Bupati Karimun, dua periode. Nurdin yang selalu bangun saat fajar, menemui rakyat dengan menyetir kendaraan sendiri. Bahkan, kadang menyetir kapal sendiri, membelah ombak di lautan Kepri untuk menemui rakyat di hinterland.

Nurdin bahkan dikenal gubernur yang suka menemui rakyatnya di warung kopi, sambil membicarakan berbagai persoalan publik. Jangankan acara resmi, undangan kawinan pun kadang dihadiri oleh Nurdin. Datang tanpa pengawalan yang ketat.

Namun, kesan merakyat itu bertolak belakang dengan beberapa kebijakan Nurdin setahun terakhir. Baik berupa kebijakan baru maupun kebijakan yang ia teruskan.

Kebijakan paling populer adalah keberanian Nurdin menyetujui kenaikan tarif listrik Batam hingga 45 persen. Tarif itu khusus untuk pelanggan rumah tangga yang merupakan terbanyak di Batam dan disetujui saat ekonomi masyarakat lagi lesu.

”Saya tak ingin Batam krisis listrik. Lagian pembahasan ini sudah setahun lebih,” ujar Nurdin, usai meneken regulasi yang menguatkan kenaikan tarif 45 persen yang digodok bersama anggota DPRD Kepri.

Kebijakan kedua, Nurdin tetap mempertahankan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dengan melanjutkan angka maksimum penerapan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 10 persen. Akibatnya, BBM Kepri, khususnya nonsubsidi tercatat paling tinggi se-Indonesia. Kepri tak sendiri, penerapan PBBKB maksimum juga diikuti oleh Provinsi Riau sejak 2015.

Nurdin berdalih, kebijakan itu sudah lama dan menjadi andalan pemasukan asli daerah (PAD) Provinsi Kepri. ”Selama ini tak ada yang protes,” kata Nurdin.

Kebijakan ketiga, Nurdin berencana menaikkan tarif pajak air permukaan dari 10 persen yang diatur di Perda Nomor 8/2011 menjadi 900 persen. Akibatnya, pengelola air bersih di Batam, PT Adhya Tirta Batam (ATB) sudah pasang kuda-kuda untuk menaikkan tarif air bersih ke konsumen.
Dari tiga kebijakan itu saja, Nurdin banjir kritikan. Beberapa kali aksi demo warga Batam menuntut tarif listrik direvisi, namun Nurdin tetap pada sikapnya, tarif tetap naik 45 persen.

Nurdin hanya mengubah skema penerapannya dari 3015 (30 persen di bulan April, menyusul 15 persen berikutnya) menjadi 15 plus-plus. Skema 15 plus-plus ini bisa menggunakan pola 151515 (15 persen pertama, 15 persen kedua, dan ketiga 15 persen) atau pola 1530 (15 persen di awal dan 30 persen berikutnya). Nurdin belum menentukan waktu penerapan ”plus-plus” tersebut.

Kritikan tak hanya datang dari masyarakat, tapi juga anggota DPRD. Salah satunya anggota DPRD Kepri, Ruslan Kasbulatov.

”Secara fisik, kita belum melihat apa yang sudah dilakukan,” ujar Ruslan kepada Batam Pos, Minggu (28/5) Legislator Komisi I DPRD Kepri tersebut memaparkan, sebelum persoalan tarif listrik Batam, PBBKB, dan tarif air permukaan, kritikan paling awal muncul saat DPRD Kepri mengajukan hak interpelasi terkait proses pelantikan pejabat-pejabat pada Oktober 2016 lalu.
Kemudian molornya pengesahan APBD Kepri 2017 karena tidak optimalnya kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov Kepri. Padahal Gubernur sebagai pimpinan punya tanggungjawab melakukan pembinaan terhadap bawahannya. Bukan hanya menerima hasil.

”Artinya proses pengawasan tidak berjalan, persoalan ini terjadi disebabkan dua faktor. Tidak mengertinya Gubernur tentang tata kelola anggaran, dan tidak adanya komunikasi yang baik dengan bawahan,” papar Ruslan.

Lebih lanjut, mantan Wakil Ketua DPRD Batam tersebut menjelaskan, kritikan juga bermunculan ketika terungkapnya ada dugaan praktik nepotisme dalam proses lelang Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP). Apalagi sampai keluarnya rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Akan tetapi sampai sekarang ini, rekomendasi yang dikeluarkan belum tindaklanjuti.

Menurut Ruslan, Gubernur bukannya sibuk untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, tetapi lebih memilih melakukan pencitraan politik dengan dalih melakukan kunjungan kerja dan silaturahmi ke setiap daerah.

Diakui Ruslan, sebagai pimpinan memang diharuskan untuk menyerap aspirasi rakyat. Tetapi mendekati berakhirnya semester pertama Tahun Anggaran (TA) 2017, belum terlihat adanya pembangunan fisik yang berjalan.

Dan Ruslan mengakui kebijakan populer namun tak pro rakyat adalah kenaikan tarif listrik Batam 45 persen itu. Ditegaskannya, apabila persetujuan DPRD Kepri berdasarkan individu, dirinya sangat tidak mendukung kenaikan TLB itu. Tetapi, persetujuan yang dibuat berdasarkan kolektif kolegial di lintas Komisi II dan Komisi III DPRD Kepri.

”Listrik memang infrastruktur penting saat ini. Tetapi untuk menaikkan tarif, harusnya tidak begitu tinggi. Sehingga tidak menimbulkan reaksi di tengah-tengah masyarakat Batam,” ujarnya.
Ditegaskan Ruslan, adanya pergerakan unjuk rasa di Batam belakangan ini, menunjukkan kebijakan yang dibuat Gubernur tidak pro rakyat. Apalagi persentase kenaikan 45 persen untuk golongan rumah tangga sangat besar.

Ketua Pengprov Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) Kepri tersebut juga menyebut kebijakan mempertahankan PBBKB maksimum bukan hanya tak pro rakyat tapi juga menggerogoti rakyat. Apalagi selain PBBKB, sebentar lagi akan keluar kebijakan pajak progresif kendaraan bermotor.

”Belum lagi ditambah dengan pengurangan premium di pasaran. Sehingga masyarakat terkesan ’dipaksa’ untuk membeli premium. Artinya masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar PBBKB 10 persen. Daerah lain selain Riau tak maksimum PBBKB-nya,” jelas Ruslan.

Ruslan juga tak habis pikir dengan rencana Pemprov Kepri menaikkan Pajak Air Permukaan hingga 900 persen. ”PAD yang dihasilkan dari keringat rakyat, itu namanya bukan PAD. Tetapi ’pemerasan’,” ujar Ruslan.

Menurutnya, melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 Pemprov diberikan kewenangan untuk mengelola berbagai sektor. Baik itu pariwisata, kemaritiman, dan sebagainya. Harusnya peluang yang ada ini dioptimal. Sehingga PAD yang didapat murni dari potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.

Sementara itu, Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Provinsi Kepri, Abdul Rahman yang juga anggota DPRD Kepri tidak menafikan setahun kepemimpinan Gubernur Nurdin mendapat banyak sorotan. Seperti keputusan menaikkan tarif listrik Batam. Menurut Abdul Rahman, PKS sejak awal tidak mendukung kenaikan TLB, dengan melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat sekarang ini.

”Secara individu kita sangat menentang kenaikan TLB. Karena kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tidak stabil. Tetapi kesepakatan diambil berdasarkan voting,” ujarnya.

Abdul Rahman mengatakan, pihaknya juga memberikan beberapa catatan terkait adanya rencana penerapan pajak progresif kendaraan bermotor. Karena jangan sampai kebijakan yang dibuat membebani masyarakat.

Menurut dia, satu tahun kepemimpinan Gubernur Nurdin, pihaknya sudah memberikan catatan-catatan khusus dengan me-review kebijakan yang diambil Nurdin.

Disebutkannya, ada beberapa hal yang harus segera diperbaiki oleh Gubernur. Yakni membangunan komunikasi yang baik dengan legislatif, meningkatkan fungsi kontrol kepada setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD). ”Terkesan, OPD jalan sendiri-sendiri,” katanya.

Legislator dapil Batam itu menambahkan, sekarang ini banyak kewenangan yang dimiliki Pemprov Kepri. Khusus untuk meningkatkan PAD, tidak perlu membebani rakyat dengan menaikan berbagai tarif pajak. Karena ada potensi-potensi besar yang bisa dioptimalkan, seperti sektor kemaritiman, pariwisata, dan pengelolaan Participating Interst (PI) 10 persen di bidang minyak dan gas (Migas).

”Progres di sektor ini yang harus digesa. Sehingga PAD meningkat, masyarakat Kepri akan lebih sejahtera. Begitu juga pembangunan akan cepat terlaksana,” papar Abdul Rahman.

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Batam, Sallon Simatupang menambahkan, kebijakan yang berakibat kepada kenaikan tarif tersebut sangat tidak memihak masyarakat. Apalagi melihat kondisi ekonomi Kota Batam saat ini.

”Masyarakat sudah menderita akibat banyak perusahaan yang tutup. Tarif listrik yang melambung. Masa mau dibebani lagi tarif air yang naik,” sesal Sallon.

Apapun ceritanya, kata Sallon, DPRD Kota Batam tidak akan setuju dengan kebijakan yang tidak memihak pada rakyat.

Safari Ramadhan, anggota Komisi IV DPRD Batam mengaku, pemerintah harus tahu kondisi masyarakatnya saat ini. Kondisi ekonomi yang memprihatinkan ditambah peluang kerja sedikit, masyarakat banyak tak mampu bahkan sangat banyak yang belum mendapatkan pekerjaan.

Alasan-alasan klasik yang disampaikan gubernur dinilai tidak beralasan. ”Kenapa bukan DBH migas saja yang diperjuangkan ke pusat agar kembali besar seperti tahun-tahun sebelumnya dari pada memajaki masyarakat Kepri. Kenapa tidak dioptimalkan potensi wisata Kepri dengan mengajukan KEK pariwisata. Padahal sektor ini bisa meningkatkan ekonomi masyrakat,” katanya.

Kritikan juga datang dari Ketua FSPMI Kota Batam Suprapto. Ia menegaskan, secara tidak langsung Gubernur Kepri dengan segala kebijakannya telah membunuh rakyatnya secara pelan-pelan.

Menurut dia, rakyat Batam yang mayoritas pekerja atau buruh mendapat kenaikan upah yang tidak seberapa. Bahkan belum mencukupi kebutuhan hidup, dibebani dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat.

”Artinya jika ini dinaikkan semua (listrik, PBBKB, pajak air permukaan, pajak progressif, red), berarti peran negara lewat pemerintah untuk melindungi rakyatnya sudah tak ada,” tuturnya.

Dia tak habis pikir dengan tindakan pemerintah kini yang mengaku paham kondisi ekonomi rakyat yang tengah lesu, namun satu sisi seolah tanpa kendali berlomba-lomba menaikkan tarif.

Menurutnya, keadaan ini justru kontras dengan kesejahteraan yang diperoleh rakyat. ”Upah minimum yang naik hanya 8,25 persen, upah sektoral yang tak kunjung diSK-kan. Buruh semakin terpuruk daya belinya,” kata dia.

Ia juga sangat menyayangkan peran pemerintah yang gagal menekan harga bahan pokok, padahal persoalan tersebut kerap terjadi setiap tahun. ”Satu ini sangat parah, naik terus tiap tahun, harusnya ini yang dikendalikan,” keluhnya.

Tak hanya itu, saat ini jumlah kesempatan kerja yang sedikit tak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang sangat banyak. ”Harusnya yang begini dibuatkan kebijakan,” kata Suprapto.(nur/jpg/rng/cr13/aya)

Update