Jumat, 29 Maret 2024

Pak Gubernur Kepri Dengarlah Jeritan Pengusaha

Berita Terkait

batampos.co.id – Pengusaha galangan kapal Batam tidak main-main dalam menolak upah minimum sektoral (UMS) Galangan Kapal dan Lepas Pantai sebesar Rp 3.468.004. Mereka mengancam akan menggugat SK Gubernur Kepri tentang UMS tersebut karena dinilai merugikan pengusaha.

Sekretaris Batam Shipyard Offshore Association (BSOA), Novi Hasni, mengatakan pihaknya akan segera melayangkan surat keberatan kepada Gubernur Kepri. Selanjutnya, pengusaha memberi waktu 10 hari kepada Gubernur untuk merevisi UMS tersebut.

“Jika dalam 10 hari setelah surat tersebut sampai UMS tidak direvisi juga, maka kami akan membawanya ke Pengadilan Tata Usaha Niaga (PTUN),” kata Novi Hasni, Selasa (13/6).

Keputusan Gubernur dianggap sangat tidak tepat dalam melihat kondisi saat ini. Menurut Novi, industri galangan kapal di Batam saat ini tengah terpuruk hebat, hanya beberapa saja yang benar-benar mampu bertahan.

Sepi orderan menjadi kendala utama bagi industri galangan kapal untuk bertahan. Jika empat atau lima tahun sebelumnya, banyak order untuk membuat kapal, maka saat ini galangan kapal di Batam hanya mengerjakan proyek dari tahun-tahun sebelumnya atau memberikan jasa perbaikan bagi kapal-kapal.

“Dulu masuk galangan kapal di Batam bisa antre. Dulu galangan kapal bisa mengerjakan 1.500 kapal per tahun. Namun saat ini hanya dapat 2 atau 3 orderan,” tambahnya.

Jasa perbaikan yang diperoleh galangan kapal di Batam saat ini pun hanya menerima perbaikan dari kapal-kapal yang memang dibuat di Batam. Tapi itupun jumlahnya semakin jarang.

Biasanya kapal-kapal yang dipesan dan dibuat di Batam akan melakukan perbaikan di Batam juga. Umumnya, kapal-kapal tersebut melakukan servis setiap 2,5 tahun sekali.

“Tapi ini sudah jarang,” ungkapnya.

Untuk menyelesaikannya pun tidak butuh waktu lama. Seminggu hingga tiga bulan adalah waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kapal, tergantung tingkat kerusakannya.

Jika sudah selesai, maka galangan kapal akan kembali tiarap sambil menunggu orderan datang. Dan biasanya perlahan-lahan akan mengurangi tenaga kerjanya karena tidak sanggup membayar gajinya per bulan.

“Makanya kami hanya pakai jasa dari tenaga inti saja saat ini. Yang biasanya bisa dikerjakan tiga orang, kini hanya satu orang saja. Ya ini demi efisiensi,” jelasnya.

Ia juga mengabarkan bahwa setelah Juli nanti, salah satu perusahaan galangan kapal yang bergabung dalam BSOA akan memutus kontrak kerja ratusan karyawannya lagi.

Pekerja galangan kapal.
foto: dalil harahap / batampos

Novi kemudian menceritakan lebih jauh lagi mengapa industri galangan kapal sangat terpuruk saat ini. Faktor ekonomi global yang tengah lesu memang menjadi salah satu pemicu utamanya. Harga minyak per barelnya yang turun drastis membuat industri galangan kapal jatuh cukup dalam.

Faktor lainnya yang paling mempengaruhi terpuruknya industri shipyard adalah keberadaan Undang-Undang (UU) Mineral dan Pertambangan (Minerba) yang muncul pada awal tahun 2014.

UU Minerba lahir untuk memperkuat industri pengolahan dalam negeri. Poin utamanya adalah agar bahan baku atau mentah yang berasal dari Indonesia harus diolah dulu di dalam negeri sebelum diekspor keluar.

Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah saat itu berencana untuk membangun smelter. Smelter adalah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Proses tersebut telah meliputi pembersihan mineralo logam dari kotoran.

Tetapi janji tinggal janji. Smelter tak kunjung dibangun sehingga peraturan tersebut menjadi senjata makan tuan. Ketika perusahaan pertambangan mau mengekspor barang mineral keluar negeri malah terbentur peraturan tersebut sehingga tak bisa mengekspor.

Padahal jika smelter dibangun, maka order pembuatan kapal pasti meningkat. Karena perusahaan pertambangan butuh kapal untuk membawa bahan mentah ke pusat smelter untuk diolah.

“Namun semua hanya mimpi,” jelasnya.

Selain itu, harga minyak yang turun membuat kegiatan eksplorasi minyak dan gas berkurang. Secara otomatis orderan pemesanan kapal menurun drastis. Industri shipyard merupakan salah satu sektor utama pendukung industri migas. Sehingga jika eksplorasi minyak berhenti, maka tak ada yang memesan kapal.

“Karena memang klien utama kami dari perusahaan migas,” paparnya.

Lalu apa yang diharapkan oleh pengusaha galangan kapal saat ini. Selain merevisi peraturan tersebut, pemerintah juga harus mempertimbangkan tarif jasa pelabuhan yang ada saat ini.

“Tarif labuh berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) Nomor 17 Tahun 2016 di Batam sangat mahal. Ini juga yang membuat kapal dari luar malas berlabuh,” ungkapnya.

Akibat tarif labuh yang mahal, banyak kapal yang mau masuk namun setelah menyadari tarif yang mahal tersebut mengurungkan niatnya karena memperhitungkan biaya operasionalnya lagi.

“Kami hanya meminta pemerintah benar-benar mendukung industri galangan kapal. Jangan sampai tiarap karena banyak yang menggantungkan hidupnya disini,” harapnya.

Sebagai badan pemerintah yang bertugas untuk mengelola investasi, apa langkah Badan Pengusahaan (BP) Batam mengatasi hal ini. DIrektur Promosi dan Humas BP Batam, Purnomo Andiantono mengatakan saat ini pihaknya tengah mengumpulkan data mengenai industri galangan kapal yang ada di Batam.

“Tujuannya adalah untuk mengetahui perusahaan mana yang tengah vakum dan apa saja produk mereka. Begitu juga luasnya, fasilitasnya,” cetusnya.

Setelah itu data tersebut akan digunakan sebagai bahan presentasi yang akan disampaikan kepada investor luar negeri maupun kepada kementerian-kementerian di dalam negeri. “Untuk mendukung program tol laut dari Presiden Jokowi,” ungkapnya.

Ia juga menerangkan bahwa belum ada perusahaan shipyard yang tutup untuk tahun ini. “Berdasarkan data di PTSP. Tak ada yang mengajukan tutup. Di sistem kita perusahaannya aktif. Mungkin lagi kosong saja, menunggu order lagi,” terangnya.

Industri shipyard kata Andi tidak akan berpikir instan dengan menutup perusahaannya ketika order sepi. “Kalau menutup perusahaan, menghidupkannya lagi kan mahal. Apalagi shipyard harus mendapat izin untuk terminal khusus (tersus) ke Jakarta. Kan mahal,” katanya.  (leo)

Update