Selasa, 23 April 2024

DFW: Pemerintah Pusat Lambat Merespon Penolakan Masyarakat Jemaja

Berita Terkait

batampos.co.id – Aksi pembakaran alat berat berupa 15 unit buldozer, 2 excavator, 2 dumtruck, 2 pick up, dan 2 loader, 2 logging trailer merupakan buntut penolakan warga pulau Jemaja dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas terhadap rencana PT KKJ untuk mengembangkan perkebunan karet seluas 3.605 hektar di Jemaja.

Koordinator Nasional Destruction Fishing World (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan, menyesalkan keterlambatan pemerintah pusat dalam merespon penolakan masyarakat dan pemerintah daerah terhadap rencana PT KKJ yang berujung pada aksi massa tersebut.

“Pemerintah pusat seakan menutup mata atas kegelisahan dan penolakan masyarakat lokal termasuk pemerintah daerah kepulauan Anambas yang sudah setahun ini meminta agar persetujuan rencana pembukaan perkebunan karet di pulau Jemaja agar ditinjau ulang” kata Abdi.

Penolakan masyarakat ini terjadi karena masyarakat pulau Jemaja menyadari dampak negatif yang akan terhadi pada ekosistim pulau jika pulau mereka dikembangkan menjadi perkebunan karet.

Masyarakat pulau Jemaja lebih memilih pengembangan perikanan dan wisata bahari sebagai sumber ekonomi masyarakat Kabupaten Kepulauan Anambas terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Kepualaun Anambas.

Luas wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas adalah 46.664.14 Km² atau 2.47 persen dari luas Indonesia seluas 1.890.754 Km², terdiri atas luas daratan 592.14 Km² atau 1.27 persen dan luas lautan 46.033.81 Km² atau 98.73 persen dengan panjang garis pantai adalah 1.128.57 Km². Berdasarkan kondisi tersebut, secara nyata terlihat bahwa sumberdaya daratan Anambas
sangatlah kecil dan terbatas jika dikembangkan secara massif untuk kegiatan perkebunan berskala besar.

Menurut data DFW-Indonesia, rencana dan kegiatan investasi PT KJJ di pulau Jemaja telah berlangsung lama dan dimulai sejak tahun 1987. PT KKJ mendapatkan izin lokasi pembangunan perkebunan tanaman karet dari Bupati Anambas No.135/525.21/V/2009 pada tahun 2009, dan persetujuan
prinsip pencadangan kawasan hutan produksi No. S846/Menhut-II/2009 dari Menteri Kehutanan pada tahun yang sama dan mengantongi SK Menteri Kehutanan RI No.SK.737/Menhut-II/2011 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat di konversi untuk perkebunan karet
pada tahun 2011.

Masalahnya dalam kurun waktu 2009-2016 PT KKJ tidak melakukan kegiatan investasi yang signifikan dilapangan dan bahkan melakukan perubahan bentuk perusahaan dari PMDN menjadi PMA. Padahal jangka waktu perizinan yang diberikan oleh pmerintah sangat terbats. Izin lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Anambas hanya berlaku 3 tahun sejak dikeluarkan.

“Proses izin investasi PT KKJ sudah berlangsung lama dari rezim orde baru, ketika Gubernur Riau mengeluarkan surat rekomendasi pencadangan lahan untuk areal perkebunan atas nama PT KKJ dengan No 505/EK/17 tahun 1998,” kata Abdi.

Saat itu terjadi booming karet dan paradigma pembangunan maritim belum menjadi prioritas sehingga para pengambil kebijakan seakan menutup mata terhadap kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil, termasuk di pulau Jemaja yang saat itu masih merupakan wilayah administrasi Kabupaten Natuna.

Aksi masyarakat di pulau Jemaja ini menambah daftar hitam kegiatan investasi di pulau-pulau kecil yang menimbulkan masalah dengan masyarakat lokal. DFW-Indonesia mencatat masalah investasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam di pulau kecil sebelumnya juga terjadi di Pulau Romang, Maluku, Pulau Bangka Sulawesi Utara dan Pulau Pari Kepulauan Seribu.

Jika ditelusuri, ujung pangkal permasalahan tersebut adalah aturan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada saat ini khususnya di pulau-pulau kecil kurang memperhatikan karakteristik, aspirasi masyarakat lokal termasuk mengabaikan keterkaitan eksositim pulau kecil dan perairan pesisir.

Menyikapi hal tersebut, Moh Abdi Suhufan, meminta beberapa yakni meminta menghentikan kegiatan dan aktivitas PT KKJ di Pulau Jemaja dan membantu menciptakan iklim yang kondusif di masyarakat pasca konflik dengan pihak perusahaan. Yang kedua pemerintah untuk melakukan evaluasi secara total dan menyeluruh terhadap proses dan prosedur perizinan PT KKJ dalam melakukan kegiatan pengembangan kebun karet di
pulau Jemaja.

“Jika ditemukan pelanggaran maka pemerintah perlu
mengambil tindakan tegas terhadap PT KKJ,” ungkapnya.

Pemerintah harus memperhatikan dinamika masyarakat pulau Jemaja dan menghindari konflik sekaligus memberikan perlindungan terhadap potensi SDA yang ada pulau Jemaja. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu meninjau ulang persetujuan dan izin yang telah dikeluarkan kepada PT KKJ untuk membuka perkebunan karet.

“Keempat agar pemerintah segera mengeluarkan regulasi terkait
pemanfaatan perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai amanah UU No 1/2014 agar terjadi sinkronisasi aturan dalam pemanfataan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dan konflik pemanfataan sumberdaya alam tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang,” ungkapnya. (sya)

Update