Selasa, 19 Maret 2024

Shipyard Batam Berpotensi Bangkit

Berita Terkait

batampos.co.id – Meski tengah didera keterpurukan, industri galangan kapal (shipyard) di Batam masih punya peluang untuk bangkit kembali. Direktur Small Medium Enterprise, Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Batam, Irfan Widyasa, menyebut ada lima sinyal positif kebangkitan shipyard Batam.

“Pertama, mulai stabilnya harga minyak mentah dunia di kisaran 45-50 dolar Amerika per barel,” kata Irfan, Rabu (19/7).

Kemudian, lanjut Irfan, membaiknya harga batubara pada tahun ini pada angka 75 dolar Amerika. Kebijakan pemerintah melonggarkan ekspor mineral mentah juga bisa berdampak positif bagi kebangkitan shipyard Batam. Selanjutnya upaya Badan Pengusahaan (BP) Batam yang ingin membentuk klaster industri galangan kapal.

Dan terakhir peluang yang datang dari jasa perbaikan dan peremajaan kapal-kapal tua yang jumlahnya cukup banyak. Apalagi kapal-kapal yang dibuat di Batam akan kembali ke Batam untuk melakukan perbaikan.

Selain mengungkap lima sinyal kebangkitannya, Irfan juga memaparkan lima penyebab lesunya galangan kapal Batam. Pertama, karena harga minyak mentah dunia yang turun drastis. Ketika harga minyak jatuh, maka industri galangan kapal dan pelayaran akan otomatis terdampak. Sebab akan banyak tambang minyak lepas pantai yang mengurangi produksi sehingga permintaan kapal pengangkut minyak otomatis akan berkurang.

“Penurunan permintaan pengangkutan minyak menurunkan permintaan kapal jenis tanker,” ungkapnya lagi.

Selain harga minyak jatuh, turunnya permintaan batubara dunia juga berdampak pada lesunya shipyard, khususnya di Batam. Sebab pemesanan kapal pengangkut batubara seperti kapal jenis tongkang dan tugboat yang umumnya diproduksi di Batam turun drastis.

Kebijakan pemerintah pusat melarang ekspor mineral logam mentah yang diamanatkan dalam UU Minerba juga memperburuk kondisi sektor shipyard Batam. “UU tersebut melarang perusahaan tambang mengekspor barang mentah tanpa mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang jadi atau setengah jadi di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Irfan, tujuan dari UU Minerba itu sebenarnya baik. Yakni melindungi sekaligus memperkuat industri dalam negeri. Tapi sayangnya kebijakan ini menjadi pisau bermata dua karena merugikan industri galangan kapal.

Sejumlah kapal saat labuh jangkar di perairan Batuampar, Jumat (14/7). F Cecep Mulyana/Batam Pos

Jika kebijakan UU Minerba diikuti dengan pembangunan smelter yang berfungsi untuk mengolah barang mentah menjadi barang jadi, maka kebijakan ini sangat menguntungkan. Namun kenyataannya, pemerintah tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter yang dulu rencananya akan dibangun di Bintan.

“UU ini jadi senjata makan tuan. Dampak UU Minerba terhadap kinerja ekspor bisa dilihat pada ekspor bijih, kerak dan abu logam yang mengalami penurunan sebesar 685,2 juta Dolar atau turun 70,13 berdasarkan data BPS,” paparnya.

Kemudian shipyard di Batam juga dihadapkan pada pilihan terbatas dalam membuat kapal. Karena mereka hanya bergantung dari pesanan kapal. Padahal sebenarnya shipyard di Batam sudah bisa memproduksi berbagai jenis kapal seperti kapal kargo, tanker, SPB, kapal pandu, hopper, alumunium, roro, crane berge, dan kapal canggih seperti landing craft tank atau landing craft utility amphibious.

“Namun yang paling banyak diproduksi di Batam adalah kapal tongkang dan tugboat untuk mengangkut mineral batubara dan tangker pengangkut minyak,” ujarnya.

Masalah demo dan upah buruh yang tidak kompetitif juga dinilai ikut memperburuk sektor galangan kapal Batam. Padahal upah buruh di Batam cukup besar dibanding dengan kawasan industri negara lainnya seperti di Vietnam.

“Berdasarkan SK Gub Kepri Nomor 2443/2016, UMS galangan kapal sebesar Rp 3.241.125. Sedangkan di Vietnam hanya Rp 1.509.361,” tegasnya.

Terpuruknya shipyard di Batam mendapat perhatian dari Komisi VI DPR. Anggota Komisi VI, Bambang Haryo Soekartono, menuturkan bukan hanya Batam, tapi shipyard di Indonesia sangat terpengaruh kelesuan ekonomi global.

Pemandangan sore hari di Kawasan Galangan Kapal, Tanjunguncang, Batuaji, Senin (17/7). Kawasan galangan kapal ini berada di lepas Pantai Tanjunguncang dan beroperasi selama 24 jam. Pemandangan ini kerap menjadi destinasi wisata warga setempat menikmati matahari tenggelam dari ufuk barat. F. Dalil Harahap/Batam Pos.

Belum lagi kebijakan eks Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan, yang menutup 1.400 perusahaan pelayaran dari 2.800 perusahaan yang ada pada tahun lalu. “Industri galangan kapal sangat terpengaruh dari pelayaran karena pelayaran lah yang memarketkannya dan mereka juga pesan kapal dari shipyard,” kata pria yang pernah menjadi Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal Indonesia (Iperindo) Jawa Timur itu.

Penutupan ribuan perusahaan pelayaran mampu menimbulkan dampak yang cukup kuat pada shipyard, khususnya di Batam. “50 persen galangan kapal yang ada di Indonesia ada di Batam, yakni 104 dari 250 perusahaan,” tambahnya.

Pemerintah, katanya, harus memperhatikan hal ini agar jangan sampai isu ini menjadi fatal di kemudian hari. Ia menyarankan pemerintah banyak memberikan insentif, khususnya bagi industri galangan kapal di Batam. Misalnya membebaskan pajak.

“Jangan malah dibebanin lagi dengan hal-hal lain seperti kenaikan upah buruh,” tambahnya.

Terpuruknya shipyard juga bisa dilihat dari data ekspor kapal yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri pada awal tahun 2017.

Pertumbuhan kapalnya menunjukkan tren fluktuatif. Pada Januari ekspor kapal menyentuh angka 0,5 juta dolar Amerika. Kemudian di bulan Februari  naik menjadi 5,4 juta Dolar Amerika.

Maret kembali naik jadi 29,08 juta dolar Amerika. Begitu juga dengan APril, naik menjadi 45,39 juta dolar Amerika. Namun pada bulan Mei, ekspor kapal terjun bebas hingga angka 15,02 juta dolar Amerika.

“Kami melihat polanya tidak sistematis. Sehingga kami menilai tren ini menunjukkan sektor ini seperti tidak terurus,” kata Kepala BPS Kepri, Panusunan Siregar.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa perhatian khusus lewat insentif supaya sektor ini tetap naik meskipun tidak tinggi kenaikannya. “Saat ini kebijakan pemerintah tak mendukung sektor galangan kapal dilihat dari kebijakan menaikkan UMS pada industri tersebut,” imbuhnya.

Sebagai langkah awal, pemerintah disarankan membentuk forum-forum khusus untuk menemukan kebijakan atau formula tepat bagi pertumbuhan industri pengolahan, khususnya shipyard dan galangan kapal. “90 persen pertumbuhan ekonomi Kepri masih bergantung kepada industri pengolahan,” jelasnya.

Sementara Sekretaris Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA), Suri Teo, mengakui sampai saat ini kondisi galangan kapal Batam masih terpuruk.

“Kondisi sekarang masih belum pulih. Order yang lama juga sudah pada habis,” ungkap Suri Teo, Rabu (19/7).

Jika ada shipyard yang memperoleh order saat ini seperti yang pernah disampaikan oleh Kepala Disnaker Batam, Rudi Sakyakirti, maka realisasinya membutuhkan waktu yang lama. Karena pelanggan harus merancang desain kapal yang ingin dibuat terlebih dahulu dan itu butuh proses yang lama.

“Belum ada pesanan sama sekali. Sektor galangan kapal memang terpengaruh sekali dengan kondisi ekonomi global,” ungkapnya.

Kelesuan shipyard juga sangat berhubungan dengan industri pelayaran yang juga tengah goyang. Karena pelayaran yang memasarkan jasa pembuatan dan perbaikan kapal kepada konsumen di dalam maupun di luar negeri.

“Perusahaan pelayaran itu satu lingkaran dengan kita. Jika pelayaran kekurangan order logistik dari perusahaan migas, maka kita pengaruh juga,” ujarnya.

Ia meminta kepada pemerintah khususnya Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk memikirkan cara bagaimana membantu galangan kapal di Batam untuk bisa bertahan hidup.

Salah satu sarannya adalah BP Batam diminta untuk mendatangkan investor dari galangan kapal luar negeri atau sektor industri lainnya untuk bisa menyewa lahan tepi pantai milik shipyard di Batam.

“Makin banyak investor benar-benar akan bantu kondisi saat ini,” ujarnya. (leo)

Update