Selasa, 19 Maret 2024

Sengkarut Pengelolaan Labuh Jangkar di Kepri (1)

Berita Terkait

Sejumlah kapal saat labuh jangkar di perairan Batuampar, Jumat (14/7). F Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos.co.id – Sikap ngotot Pemprov Kepri mengambil alih pengelolaan labuh jangkar kapal di Kepri, ternyata menimbulkan masalah. Perangkat hukum soal tarif berupa peraturan gubernur (Pergub) hingga saat ini belum ada. Badan yang bertugas memungut tarif juga belum ditentukan. Peliknya, Kementerian Perhubungan juga punya kewenangan memungut, sementara Pemprov ingin semua. Efeknya, sejak April 2017, duit labuh jangkar tak tertagih.

Kapal ukuran jumbo itu lego jangkar di Rempang-Galang. Jumlahnya ada beberapa kapal yang diparkir tidak terlalu jauh satu sama lain.

Kapal-kapal ini terlihat jelas dari bibir Pantai Melur dan Pantai Mirota. Jarak dari bibir pantai sekitar 12 mil laut. Kapal-kapal ini ada yang sudah lama lego jangkar di sana, ada juga yang terbilang baru.

Lautan di hadapan dua pantai ini memang merupakan salah satu dari 7 titik labuh jangkar yang ada di Batam. Sejak 2014, kawasan labuh jangkar ini dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. BP Batam mengelola 7 titik itu (enam di Rempang-Galang, 1 di Kabil) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 10/2012 tentang FTZ. BP juga menjalankan mandat dari Dirjen Perhubungan laut, Kementerian Perhubungan.

Meski punya dasar hukum, namun BP Batam sejak 2012 tak tertarik mengelola karena menilai potensinya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNB) dari 7 titik labuh jangkar itu tak terlalu besar. Hanya sekitar 8 persen dari PNBP tiap tahunnya.

Baru pada 2014, BP Batam memungut biaya labuh jangkar di 7 lokasi itu. Hasilnya ada PNBP sebesar Rp 14,92 miliar. Lalu 2015 tertagih Rp 16,37 miliar dan 2016 meningkat menjadi Rp 19,2 miliar.

Sementara pada 2017 sejak 1 April, BP tak lagi memungut karena Pemprov Kepri mengklaim kewenangan tersebut kini berpindah ke Pemprov. Dasarnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menetapkan wilayah sejauh 12 mil dari garis pantai sebagai kewenangan Pemprov dalam mengelola sumber daya alam di laut.

BP Batam tak mempermasalahkan hal itu. Apalagi Pemprov Kepri begitu bersemangat. “Silakan saja, kami tak merasa kehilangan,” kata Staf Khusus Deputi III BP Batam, Nasrul
Amri.

Nasrul menyebut kebanyakan kapal memang memilih untuk labuh jangkar di Singapura. Lokasi di Batam memang kurang strategis karena harus melewati berbagai pulau. Selain itu, banyak persoalan di laut karena banyak pihak yang berkepentingan di laut.

Menurutnya dalam setahun hanya ada 3 atau 4 kapal yang labuh jangkar di wilayah yang ditetapkan BP Batam. Itupun kapal dengan kapasitas 100 ribu GT ke bawah. Umumnya adalah kapal-kapal kargo yang melayani jasa logistik. Biasanya diparkirkan sambil menunggur order berikutnya.

BP Batam sendiri masih punya sumber penghasilan di laut. Yakni dari jasa labuh tambat. Labuh jangkar berbeda dengan pajak labuh tambat. Labuh jangkar lebih merujuk pada kapal yang berlabuh di tengah laut, sedangnkan labuh tambat pada kapal yang berlabuh di dermaga.

BP Batam saat ini hanya memungut jasa labuh tambat sebagai PNBP. “Lagipula bisnis lay up itu bisnis zombie, bukan bisnis utama kami,” ujarnya.

Meskipun begitu, Nasrul menyarankan Pemprov agar serius mengelola pajak labuh jangkar. Di Rempang-Galang jika dioptimalkan bisa menembus angka Rp 400 miliar per tahun.

“Pemprov harus bentuk Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Di samping itu meminta izin kemenhub. Karena kan ada dana perimbangan pusat dan daerah. Kalau BUP mungkin, tapi kalau pemerintah agak berat,” ujarnya.

Apalagi wilayah labuh jangkar di Kepri ada banyak pihak yang terlibat mulai dari Dirjuen Perhubungan Laut, syahbandar, sampai ke perusahaan yang beroperasi di daerah lay up.

Sementara itu, dalam beberapa kali pertemuan dengan BP Batam, Kepala Bidang Kepelabuhanan Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Kepri, Aziz Kasim Djou, menyebut potensi labih jangkar di 18 titik di Kepri mencapai Rp 6 triliun per tahun.

“Ini bisa jadi andakan Pendapatan Asli Daerah,” ujarnya, penuh semangat.

Pemprov Kepri sebenarnya sudah lama ingin mengambil alih pengelolaan labuh jangkar alias lay up kapal-kapal di perairan Kepri itu. Hal ini ditandai masuknya aturan tentang tarif di peraturan turunan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Retribusi.

“Kita punya ekspektasi tinggi dengan kewenangan pengelolan laut dalam wilayah 12 mil. Karena punya potensi yang menjanjikan,” ujar Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kepri, Jamhur Ismail akhir pekan lalu.

Bahkan, purnawirawan perwira TNI Angkata Darat tersebut menyebut, potensi PAD tak hanya dari labuh jangkar saja, tapi segala kegiatan kapal-kapal tersebut di wilayah 12 mil bisa menghasilkan uang banyak, khususnya kegiatan ship to ship, bunkering, dan tank cleaning.

“Semua pekerjaan ini kan areanya di laut,” ujar Jamhur.

Upaya mengambil alih pengelolaan labuh jangkar dari BP Batam memang berjalan mulus. BP Batam sudah menyerahkan. Akan tetapi untuk pengelolaan ship to ship yang ada di Pulau Nipah dan Tolop, masih terjadi pergulatan di level menteri, dalam hal ini Kementerian Perhubungan.

“Saat ini untuk sektor tersebut masih dipungut pihak kementerian,” kata Jamhur.

Ia mengaku sudah berupaya meminta dukungan dari Menko Maritim untuk mencari jalan keluar terkait persoalan ini.

Pembahasan di tingkat Kementerian Perhubungan dan Kemaritiman sudah dilakukan empat kali. Akan tetapi,belum ada solusi terbaik. Jamhur berharap Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 segera terbit. Sehingga jelas duduk persoalannya.

“Jadi masih sengketa di tingkat kementerian,” kata Jamhur.

Sementara di tingkat lokal, persoalannya ada Gubernur Kepri, Nurdin Basirun. Hingga saat ini, Nurdin belum mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergup) terkait tarif.

Kondisi ini dibenarkan oleh Jamhur. Namun ia menilai, persoalan Pergub hanya terkait tarif saja. Sejauh ini, administrasi labuh jangkar berpegang pada Perda Retrebusi Nomor 5 Tahun 2014. Besaran biayanya 0,035 dolar Amerika per gross tonage (GT) atau sekitar Rp 60.

“Yang menjadi persoalan adalah belum adanya Surat Keputusan (SK) Gubernur untuk menunjuk siapa yang mengelola wilayah laut Kepri dalam wilayah 12 mil itu,” paparnya lagi.

Padahal, sesuai dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan aset negara di wilayah laut bisa dilakukan dalam dua cara. Pertama, Gubernur bisa menunjuk langsung Badan Usaha Pelabuhan (BUP) untuk mengelola. Sejauh ini BUP yang sudah memenuhi kapasitasnya adalah Batam dan Karimun. Sementara Kepri masih belum dalam proses penyelesaian administrasi.

Kedua, kewenangan tersebut dilelang kepada pihak swasta. Namun cara ini masih belum bisa dilakukan. “Masih menunggu regulasi yang pasti,” tutup Jamhur.

Akibat sengketa di tingkat menteri dan regulasi yang mandek di tingkat daerah (provinsi), sejak 1 April hingga menjekang akhir Juli 2017 ini, duit labuh jangkar kapal-kapal asing itu di wilayah 12 mil belum juga tertagih.

Kondisi ini membuat Anggota DPRD Kepri, Irwansyah angkat bicara. Ia melihat kuatnya keinginan Pemprov Kepri  mengelola sektor labuh jangkar menimbulkan persoalan baru. Lantara BP Batam sudah melepaskan diri. Sementara Pemprov Kepri masih belum memungutnya.

“Bahkan dari laporan di internal Pemprov Kepri. Ada tindakan akal-akalan yang dilakukan Dishub Kepri, yakni mengeluarkan tanda bukti pembayaran bagi kapal yang akan keluar. Karena itu syarat untuk mendapatkan izin berlayar. Sementara biaya retribusi belum dibayarkan,” ungkap Irwansyah.

Ia khawatir persoalan ini akan menjadi temuan nantinya. Selain itu akan menimbulkan berbagai persepsi. Bahkan rentan terjadinya penggelapan anggaran.

“Seharusnya Pemprov tidak perlu takut untuk memungut. Atas dasar itulah, persoalan ini harus segera dilegalkan. Sehingga tidak menjadi masalah hukum ke depannya,” ujar Irwansyah. (JAYLANI-RIFKI, Batam)

Update