Sabtu, 20 April 2024

Pokcai Desa Pengujan Dimotori Seorang Wanita

Berita Terkait

Siti Hajar wanita pendayung pokcai pertama di Desa Pengujan. F.Slamet/Batam Pos.

batampos.co.id – Insiden tenggelamnya pokcai di Desa Pengujan, membuka tabir lain tentang transportasi laut yang usianya sudah puluhan tahun lalu. Banyak yang tidak
menyadari kalau kapal penyeberangan yang terbuat dari kayu itu awalnya
dimotori oleh seorang perempuan.

Awan mendung mengelanyut di langit, sore Rabu (26/7) itu di Desa Pengujan, Kecamatan Teluk Bintan. Gerimis air berjatuhan di tanah. Wanita tua menatap pokcai yang mengangkut penumpang dan kendaraan di selat yang membelah dusun I dan II desa tersebut. Ia terlihat serius mengupas kulit rambutan.

Ialah Siti Hajar, perempuan pertama yang mendayung pokcai di sana.
Ditemui di rumahnya, di pesisir selat tersebut saat kedatangan wartawan Batam
Pos dia langsung mempersilakan masuk. Tak lama wanita berusia 61 tahun itu menyodorkan keranjang berwarna merah yang masih tersisa 2 buah rambutan
di dalamnya. “Makanlah,” katanya.

Kak Siti, biasa masyarakat memanggilnya langsung mempersilakan wartawan Batam Pos duduk di bangku kayu yang cukup untuk tiga orang. Mengunyah daging rambutan terakhirnya, ia meminta agar mesin pokcai yang rusak di atas bangku tersebut supaya dipindahkan saja sehingga bisa diduduki.

Mengawali cerita tentang kisahnya dan pokcai, ia teringat masa-masa di tahun 1973. Masa itu belum ada penyeberangan pokcai. Yang ada sampan yang oleh warga setempat disebut sampan appolo. Sampan ini hanya digunakan untuk mengangkut anak-anak sekolah dari Dusun II ke Dusun I di pagi dan siang hari, karena di Dusun II belum ada sarana dan prasarana pendidikan.

“Dulu ada Cik Gu di sini yang kalau mau mengajar harus menyeberang pakai sampan kayu,” katanya.

Kalau sampannya menganggur, Kak Siti sering mengangkut anak-anak yang mau menyeberang ke sekolah. Melihat anak-anak yang susah mau ke sekolah, kadang tidak ke sekolah karena tidak adanya sampan, membuat hati Kak Siti tergerak. Ia kemudian membuat pokcai yang awalnya hanya mengangkut anak-anak sekolah.

“Waktu itu kalau langganan Rp 1.000 sebulan. Tapi banyak juga yang tidak bayar, tapi saya ikhlas bantu budak-budak itu walau keringat saya jatuh ke bumi. Mana yang mau bayar, mana yang tak, sudahlah,” katanya.

Ia mengisahkan, saat itu, hanya 2 sepeda motor yang bisa diangkut. Kalau pun mengangkut orang, yang bisa memuat 12 orang, tanpa sepeda motor.
“Lumayan juga kalau mendayung. Kalau angin kencang seperti musim utara, sampai keluar urat di leher saya ni, mau sejam juga menyeberangi selat yang berjarak 400 meter ini. Kalau anginnya baik, ya 20 menitan,” katanya.

Dia mendayung siang dan malam mulai sekitar pukul 06.00 pagi sampai dengan sekitar pukul 21.00 malam. “Kalau jam 12 malam ada yang nak nyeberang, biasanya pakai kode. Kodenya kasih lampu atau suara klakson motor. Tapi ada juga yang cuma ngacah-ngacah saja,” katanya.

Akhirnya terlintas di benaknya untuk membuat pokcai dengan ukuran yang lebih besar. Setidaknya tidak hanya mengangkut orang, namun bisa mengangkut sepeda motor. Keinginannya benar-benar terwujud berkat bantuan modal dari seorang pengusaha Tiongkok bernama Chuyong, yang sekarang rumah makan seafoodnya terkenal di sana.

Pokcai yang dibuatnya berukuran 16 kaki dengan lebar lebih kurang 1 meter atau 5 keping kayu dan pokcainya sudah menggunakan mesin 5 pk. Ini adalah pokcai pertamanya yang menggunakan mesin. Pengerjaan pokcai pun rampung. Untuk kali pertama, mobil perusahaan pertambangan pasir yang beroperasi di sana, yang memanfaatkan pokcainya.

“Sudah lima pokcai yang saya buat, sekarang tinggal 2 yang satu perlu diperbaiki, yang satu masih digunakan,” katanya.

Saat ini, ia mengatakan, untuk membuat pokcai biayanya tidak sedikit. Terakhir kali, ia membuat pokcai menghabiskan biaya sekitar Rp 65 juta. Itu karena kayu yang sulit didapat di Bintan. Mengingat insiden tenggelamnya pokcai beberapa waktu lalu, perempuan yang sudah aral melintang di dunia pokcai ini memang mengutamakan keselamatan. Karena itu, dia tidak mau berangkat apabila jumlah penumpang yang diangkutnya berlebih.

“Tak berani saya bawa banyak-banyak. Yang penting selamat ke seberang, sudahlah,” kata perempuan asal Penyengat yang menetap di Pengujan karena awalnya bekerja sebagai buruh karet.

Dari usaha penyeberangan pokcai juga, ia mengakui, tidak ada yang didapatnya selain bisa menyekolahkan anak saudaranya hingga ke bangku perkuliahaan. “Abang saya sudah meninggal, anaknya yang tertua saya kuliahkan sampai wisuda di Padang. Sekarang dia sudah bekerja di Batam. Itu saja yang saya punya, yang lain tidak ada,” tukasnya.

Matahari mulai beranjak ke peraduan. Mendung yang tadinya mengelayut mulai berganti ke cahaya kemerahan dan gelap. Suara azan memanggil dari sebuah masjid, dan menutup perbincangan dengan wanita yang pertama mendayung pokcai di sana. (cr21)

Update