Jumat, 19 April 2024

Manajemen Malas

Berita Terkait

Waktu berlalu cepat. Selasa (25/7) hari ini, tepat tiga minggu saya menjadi warga Batam. Jauh dari keluarga yang tinggal di Kaltim.

Nyaman. Kata itu merupakan penilaian saya terhadap Batam.

Tiga minggu berlalu, aktivitas saya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Sesekali, diajak para manajer untuk bersilaturahmi dengan mitra kerja.

Luar biasa. Sambutan hangat diberikan. Dari pejabat pemerintah, pengusaha, dan para stake holders. Mereka welcome dengan pendatang seperti saya.

Semangat pun berlipat. Rasa malas yang menjadi “penyakit” kronis saya selama di Banua Etam–sebutan Kaltim–hilang dengan sendirinya.

Ikut arus. Malu jika jadi pemalas. Apalagi harus memberikan contoh bagi karyawan.
Memang, menahkodai raksasa media bernama Batam Pos merupakan tantangan. Apalagi, Batam Pos merupakan market leader newspaper di Kepri, khususnya Batam. Unggul jauh dari para kompetitor.

Namun, itulah seninya. Ada yang bilang, hidup itu harus penuh tantangan. Enggak asyik kalau terlalu santai. Apalagi malas-malasan. Hehehehe

Bukan bermaksud membandingkan. Atau juga melebih-lebihkan. Batam bagi saya adalah kota maju. Sejuta lebih penduduknya “gila” kerja. Kelompok pemalasnya hanya segelintir saja.

Malas sebentar saja, pasti “binasa”. Makanya, Batam Pos mengharamkan yang namanya malas. Semuanya harus mengusung semangat kerja, kerja, kerja.

Melawan malas bukan perkara gampang. Penuh tantangan, cobaan, dan godaan. Butuh keseriusan, keteguhan, dan niat. Dengan doa pula tentunya.

Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca artikel menarik soal malas. Artikel itu terkait penelitian para psikolog dari French National Institute of Health and Medical Research.

Inti dari hasil penelitiannya, kita diminta untuk berhati-hati dan tidak terlalu dekat dengan pemalas. Sebab, penelitian baru saja menemukan bahwa kemalasan ternyata bisa menular.

Diungkapkan dalam jurnal PLOS Computational Biology, para peneliti menemukan bahwa manusia belajar untuk malas, tidak sabar, dan skeptis dari orang lain, walaupun hanya 19 persen dari partisipan yang menyadarinya.

“Kita telah menunjukkan bahwa sikap seseorang terhadap usaha, keterlambatan, dan risiko mengikuti orang lain,” tulis para peneliti.

Dengan demikian, boleh dibilang jika malas merupakan “penyakit” menular. Bisa juga disebut wabah. Karena dapat menjangkit siapa saja. Orang rajin pun bisa terjangkit.

Cara mengobatinya? Tentu berawal dari diri sendiri.

Kalau saya lain lagi, mencoba memanajemen malas.

Dalam kasus ini, saya coba mengatur waktu malas. Ketika keluar rumah, saya memantapkan diri untuk bekerja. Meskipun sering “digoda” rasa malas, namun saya niatkan untuk melawan.

Selepas tiba di tempat kerja, saya menyibukkan diri. Benar-benar sok sibuk. Bahkan, pekerjaan paling sulit saya kerjakan pagi-pagi. Harus beres sebelum terserang virus malas.

Setelah pekerjaan selesai, paling tidak bertemu karyawan dan menyapanya. Atau berkoordinasi dengan para manajer.

Semuanya terjadwal.

Ketika jam istirahat tiba, barulah saya luapkan rasa malas yang menumpuk. Tidur-tiduran, dengarkan musik, atau makan siang. Waktu istirahat benar-benar saya manfaatkan untuk malas. Lumayan, dari pukul 12.00 hingga 13.30 WB. Setelah itu, kerja lagi.

Tiba masuk kerja, kembali melawan rasa malas. Berbeda dengan rasa malas yang “menyerang” pagi hari, rasa malas justru memuncak pada siang hari. Butuh perjuangan ekstra untuk melawannya.

Untuk melawannya kembali, saya siapkan “jurus” jitu: motivasi untuk diri sendiri. Misalnya, jauh-jauh ke Batam demi anak-istri. Atau, ambil air wudu biar segar. Atau, biasanya memilih mendatangi ruangan-ruangan departemen sembari berdiskusi. Mencari hal-hal baru.

Pulang kerja, saya kembali manfaatkan rasa malas. Meskipun saya tetap bertahan di kantor untuk mengawasi proses cetak. Sembari bermalas-malasan, saya pun asyik “menyaksikan” mesin cetak memproduksi koran.

Begitu juga seterusnya. Hal-hal ini terus saya lakukan selama berada di Batam.
Semoga bermanfaat! ***

 

Guntur Marchista Sunan
General Manager Batam Pos

Update