Jumat, 29 Maret 2024

Kesulitan Lapangan Kerja dan Kemiskinan Harus Diatasi

Berita Terkait

batampos.co.id – Kinerja pemerintah acapkali mendapat sorotan tajam, terutama kondisi sektor riil yang oleh banyak pelaku usaha dinilai lesu. Target pertumbuhan ekonomi 7 persen yang dijanjikan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) juga masih jauh panggang dari api.

Namun, hal itu coba ditepis oleh Presiden Jokowi.

Saat menyampaikan pidato kenegaraan HUT RI di depan DPR dan DPD, Jokowi membanggakan sejumlah indikator keberhasilan ekonomi era pemerintahannya.

Berbicara dengan menggunakan baju adat bugis, Presiden Jokowi menyampaikan belasan bukti keberhasilan pemerintah. Presiden Jokowi setidaknya menyebutkan 11 bukti kinerja yang sudah dikerjakan oleh pemerintah.

Jokowi menyebut, tahun pertama pemerintahannya adalah meletakkan pondasi pembangunan nasional. Tahun 2016 yang menjadi tahun kedua pemerintahannya adalah percepatan pembangunan nasional baik infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusia. ”Tahun ketiga pemerintah bergerak lebih maju lagi, fokus pada kebijakan pemerataan ekonomi yang berkeadilan,” ujarnya, Rabu (16/8).
Jika diukur apda tingkat kesenjangan ekonomi, Indeks Gini Ratio Indonesia juga menurun. Indeks yang digunakan untuk mengukur kesenjangan ekonomi itu pada Maret 2017 berada pada angka 0,393. ”Ini turun dibandingkan angka bulan September, yakni 0,414,” jelas mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Capaian yang digapai pemerintah lainnya, kata Presiden, adalah pengendalian inflasi pada tahun 2017. Sejak Januari hingga Juli tahun ini, angka inflasi terkendali di angka 2,6 persen. Bahkan, Jokowi menyebut, pada bulan Mei angka inflasi hanya sebesar 0,39 persen.

Karena itu, lanjut Jokowi, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen harus tetap dipertahankan.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menyebut, salah satu rapor positif pemerintahan Jokowi-JK adalah gencarnya pembangunan infrastruktur dalam skala besar. “Itu bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Meski demikian, salah satu rapor merah yang mesti diwaspadai pemerintah saat ini adalah pengelolaan defisit APBN yang membesar. Sayangnya, karena defisit tersebut tidak bisa dikurangi dari penerimaan pajak, maka pemerintah harus menutupnya dengan utang. “Itu sisi lemahnya,” katanya.

Isu utang yang naik signifikan memang menjadi sorotan banyak pihak.

Hingga akhir Juni 2017, jumlah utang pemerintah mencapai Rp 3.706 triliun. Angka itu melonjak lebih dari Rp 1.000 triliun dibanding jumlah utang periode akhir 2014 lalu yang sebesar Rp 2.604 triliun.

Baik Presiden Jokowi maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai angka itu masih aman. Sebab, besarannya masih di bawah 30 persen angka produk domestik bruto (PDB).

Buruh pabrik pulang kerja dari perusahaan di kawasan Batamindo, Mukakuning, Seibeduk F. Dalil Harahap/Batam Pos

Selain itu, defisit APBN juga masih bisa dijaga di bawah ketentuan 3 persen PDB.
Namun, jika melihat pada angka keseimbangan primer neraca APBN, maka pemerintah mesti segera berbenah. Angka keseimbangan primer memang mulai negatif sejak 2012 senilai Rp 52 triliun. Namun, angkanya terus membesar. Pada 2015 bahkan mencapai puncaknya ketika negatif Rp 142 triliun. Tahun ini, keseimbangan primer diperkirakan masih akan negatif di kisaran Rp 109 triliun.

Angka keseimbangan primer yang negatif ini menunjukkan bahwa pembayaran sebagian bunga utang pemerintah yang nilainya diperkirakan Rp 221 triliun, dibiayai dengan utang yang baru, alias gali lubang tutup lubang.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan, sejumlah pekerjaan rumah masih harus diselesaikan oleh pemerintah. Di antaranya yakni minimnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta dampak-dampak dari tekanan biaya kebutuhan pokok, terutama bagi masyarakat lapisan menengah kebawah.
Diakuinya, memang telah ada program jarring pengaman dari pemerintah seperti kartu sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Sejahtera.

Namun, data pemerintah menunjukkan bahwa masih ada 27,7 juta masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Jumlah tersebut bahkan berada dengan standard minimal hanya kurang dari pendapatan Rp 400 ribu per bulan.
‘’Misalnya mengikuti standard internasional yang USD 2 per orang, mungkin bisa mencapai 70 juta orang yang miskin,’’ ujarnya, kemarin.

Jumlah masyarakat yang terbilang rentan miskin masih sekitar 40 juta orang. Sehingga, menurutnya, dalam rangka memperingati HUT RI, isu krusial yang sangat mendasar dan menjadi cita-cita kemerdekaan yakni menghapus kemiskinan belum bisa terlaksanakan. ‘’Ini menjadi sangat basic sekali. Kalau kita sudah 72 tahun merdeka tapi hal yang esensial seperti kemiskinan itu saja belum bisa dibereskan ya artinya kita masih mengingkari janji kemerdekaan,’’ tegasnya.

Enny melanjutkan, janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga belum bisa terealisasi. Sekalipun dengan indikator yang sangat minimal juga masih terbilang stagnan. Pengurangan orang miskin, lanjutnya, dalam satu tahun tidak sampai 1 juta orang. Dia merinci, tahun lalu, ada 28 juta orang miskin. Sedangkan di tahun ini sebanyak 27,7 juta. Jumlah itu tentu terlampau sangat kecil jika dihitung dalam kurun waktu satu tahun. ‘’Itu pun diukur dengan standard minimal, (pendapatan) hanya kurang di bawah Rp 400 ribu per bulan. Hari gini emang ada orang bisa hidup Rp 400 ribu per bulan?’’ imbuhnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyebutkan bahwa ada anomali terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini. ”Saya juga bingung, tapi bagaimanapun kita berasumsi bahwa data BPS benar. Namun tetap saja kami merasa ada yang tidak singkron antara data makro dan data mikro,” ujarnya.

Menurut Hariyadi, data dari pengusaha di berbagai sektor menunjukkan bahwa ada penurunan. Terutama di kelas menengah yang disebut tengah menahan belanja. ”Data menunjukkan bahwa PPN naik sekitar 13 persen. Seharusnya volume transaksi naik. Tapi faktanya tidak begitu,” bebernya.

Hariyadi menambahkan bahwa di semester satu sejumlah pengusaha merasakan dampak penurunan daya beli. ”Yang paling terpukul di sektor ritel dan properti. Beberapa sektor seperti kelapa sawit memang sudah mulai pulih. Indikasinya kelas menengah memang lebih memilih untuk menyimpan uang di tabungan, dibuktikan dari dana pihak ketiga yang meningkat. Sementara kelas menengah ke bawah daya beli memang semakin turun karena penyerapan tenaga kerja juga rendah,” pungkasnya.

Wakil Ketua Fadli Zon mengkritisi pidato Presiden Jokowi pada rapat dengan MPR. Dia mengkritik capaian ekonomi yang disampaikan Jokowi. Presiden menyatakan, angka kemiskinan turun. Tapi, lanjut dia, faktanya masih banyak masyarakat yang hidup susah. “Saya turun langsung,” ucap Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu. Harga listrik naik, daya beli masyarakat turun.

Mereka juga banyak yang sulit mendapat pekerjaan. Rakyat tidak semakin sejahtera
Fadli menegaskan, fakta itu jangan sampai ditutup-tutupi dengan angka-angka yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dia meminta Jokowi memeriksa angka-angka yang disampaikan, karena angka itu bisa menipu. “Angka itu kan disampaikan staf presiden, jadi perlu diperiksa,” tutur alumnus Universitas Indonesia (UI) itu. Ia menilai pidato terkait ekonomi masyarakat itu tidak sesuai dengan realita yang ada. (bay/lum/dee/agf/ken/and/tau)

Update