Jumat, 19 April 2024

Pacu Kuda, Atraksi Unik Dataran Tinggi Gayo

Berita Terkait

Bagaimana rasanya menikmati secangkir kopi Gayo yang sudah termasyhur di dunia sambil menyaksikan lomba pacuan kuda tradisional? Sebuah sensasi sekaligus pengalaman yang tak akan terlupakan tentunya.

Belum lagi lokasi pacuan kuda yang berada di dataran tinggi Gayo, Takengon, Ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Berada di ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut, yang sejuk dan background hutan hijau yang berbukit indah. Dataran tinggi Gayo memiliki nuansa alam, udara gunung yang segar, dan ragam budaya Aceh yang khas.

Kopi Gayo, kopi yang hidup di hawa dingin dataran tinggi Gayo, pemandangan alam, kekuatan budaya. Sensasi komplit Inilah yang ditawarkan kepada wisatawan kala berkunjung ke “Perlombaan Tradisional Pacuan Kuda” pada hingga 27 Agustus 2017 di Lapangan Pacuan Kuda H. M. Hasan Gayo Belang Bebangka Pegasing – Aceh Tengah.
Hasilnya? Sangat mengesankan, banyak wisatawan yang kagum dan terkesan. Pacuan kuda itu hanyalah atraksi buatan, untuk melihat atraksi alam dan budaya yang lebih dalam di Aceh.

Lomba pacuan kuda tradisional yang digelar sebagai rangkaian peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-72 ini mengusung tema “Terus Berpacu Lestarikan Budaya Majukan Negeri”.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Drs. Reza Fahlevi, M.Si mengatakan, perlombaan tradisional pacuan kuda di dataran tinggi Gayo sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat dataran tinggi Gayo yang melegenda. Pacuan kuda Gayo telah dilakukan sejak zaman pendudukan Belanda yang digelar sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen.

Dalam pacuan kuda tradisional ini, joki-joki cilik menunggang kuda yang berlari kencang tanpa menggunakan Pelana.

“Yang kami promosikan adalah Dataran tinggi Gayo itu sendiri, yang memiliki banyak ragam pesona alam dan budaya sebagai daya tarik wisata yang layak dijual dan dipromosikan kepada wisatawan nusantara dan mancanegara,” ujar Reza Fahlevi didampingi Kepala Bidang Pemasaran Disbudpar Aceh, Rahmadhani, M. Bus.

Reza mengatakan, kegiatan pacuan kuda ini telah menjadi tradisi dan semangat dalam menyatukan masyarakat di dataran tinggi Gayo. Seperti Aceh Tengah, Bener Meriah dab Gayo Lues yang selalu diselenggarakan pasca panen padi dan jelang Peringat HUT Kemerdekaan RI.

Hal tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala kerja keras dan keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat setempat.

“Dengan kekuatan tradisi dan alamnya tersebut, maka perlombaan tradisional pacuan kuda merupakan salah satu atraksi wisata unggulan yang akan digelar tahunan yang terangkum dalam Calendar of Event Aceh, maupun Calendar of Event Kementerian Pariwisata RI dalam rangka mewujudkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tahun 2019,” ungkap Reza Fahlevi.

Kadisbudpar Aceh, Rahmadhani, menambahkan bahwa melalui kegiatan Perlombaan Tradisional Pacuan Kuda di Takengon menjadi moment untuk mempromosikan wilayah dataran tinggi Gayo dengan berbagai potensi dan kekayaan alamnya.

“Melalui Kegiatan Pacu Kuda menjadi wahana tidak hanya mengajak wisatawan untuk menikmati sensasi unik pacuan kuda tradional yang dilakukan oleh para joki tanpa menggunakan pelana dan menjelajahi pesona alam dan budaya masyarakat di dataran tinggi Gayo sebagai sebuah tradisi masyarakat setempat, tapi juga mempromosikan daerah Gayo sebagai destinasi wisata agro dan adventure kepada wisatawan”, ungkap Rahmadhani.

Perlombaan kali ini diikuti sekitar 400 peserta dari berbagai daerah di daratan tinggi Gayo, seperti Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Jumlah peserta ini meningkat dibandingkan tahun 2016 yang diikuti oleh 350 peserta.

“Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh terus bersemangat untuk mendukung setiap penyelenggaraan atraksi wisata unik dan berkarakteristik daerah serta mampu mendatangkan wisatawan. Tentu saja atraksi wisata ini harus dilaksanakan sesuai dengan semangat Syariah dalam rangka mendukung Aceh sebagai Destinasi Wisata Halal Dunia,” ungkap Rahmadhani.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengapresiasi terselenggaranya “Perlombaan Tradisional Pacuan Kuda” di dataran tinggi Gayo. Kopi Gayo yang sudah mendunia akan semakin dikenal dengan perlombaan ini.

Kolaborasi antara kopi Gayo dengan kekuatan budaya dan pemandangan alam menjadi atraksi yang menarik bagi pariwisata Aceh secara keseluruhan. Termasuk wisata halal yang menjadi ikon Provinsi Aceh.
“Sudah betul, jika Aceh menempat Halal Tourism sebagai core economy daerah,” tegas Menpar Arief Yahya.

Pertama, sejak 2014 terjadi ledakan pasar wisata halal di dunia. Size pasar wisata halal itu sangat signifikan, dari 6,8 miliar penduduk dunia, 1,6 miliar adalah muslim dan 60% di bawah 30 tahun. Bandingkan dengan total penduduk Tiongkok 1,3 miliar orang dengan 43% di bawah 30 tahun.

“Total pengeluaran wisatawan muslim dunia USD 142M, hampir sama dengan pengeluaran wisatawan Tiongkok USD 160M, yang sekarang ini menjadi rebutan seluruh negara di dunia, terutama yang mengembangkan pariwisata,” jelas Arief Yahya.

Kedua, lanjut Mantan Dirut PT Telkom ini, dari sisi Sustainability atau growth wisata halal, juga naik signifikan, 6,3%. Lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan dunia 4,4%, lebih besar dari rata-rata growth China 2,2% dan ASEAN 5,5%.

Data dari Comcec Report February 2016, Crescentrating, tahun 2014 ada 116 juta pergerakan halal traveler. Mereka memproyeksikan tahun 2020 akan menjadi 180 juta perjalanan, atau naik 9,08%. Di Indonesia juga naik, dalam 3 tahun terakhir rata-rata 15,5%.

“Semakin kuat, size-nya besar, sustainability-nya juga besar,” ungkap Arief Yahya.
Ketiga, lanjut dia Spread atau benefit-nya juga besar. Rata-rata wisman dari Arab Saudi itu membelanjakan USD 1.750 per kunjungan. Uni Emirate Arab (UAE) USD 1.500 per kepala. Angka itu jauh lebih besar dari-rata-rata wisman dari Asia yang berada di kisaran USD 1.200.

“Karena itu sudah memenuhi syarat 3S, size, sustainable, dan spread. Ini menjadi alasan paling kuat, mengapa Aceh harus menetapkan pariwisata sebagai portofolio bisnis-nya. Menjadikan halal tourism sebagai core economy-nya,” tegas lulusan ITB Bandung, Surrey University Inggris dan Program Doktor Unpad Bandung itu.(*)

Update