Selama kunjungan kerja di Tanjungpinang dan Bintan, Rabu (23/8)-Kamis (24/8) lalu, kabar duka datang. Supriyono, bapak saya dikabarkan sakit.
Kabar itu berasal dari istri saya.
Namun, karena agenda kunjungan kerja ke DPRD Kepri, Pemko dan DPRD Tanjungpinang, serta Pemkab dan DPRD Bintan sudah terjadwal, saya pun hanya pasrah. Saya serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT untuk menjaga bapak.
Bahkan, kabar duka itu coba saya sembunyikan dari para manajer dan perwakilan yang mendampingi saya. Tujuannya satu, jangan sampai masalah pribadi mengganggu kerja-kerja yang sudah kami rancang.
Dua hari berlalu, rahasia itu masih terjaga. Bahkan, ketika perjalanan dari Tanjungpinang ke Bintan, hingga menumpang speedboat dari Pelabuhan Tanjunguban, Bintan menuju Pelabuhan Telagapunggur, Batam, rahasia itu terjaga.
Namun, lama-lama saya tidak tahan. Akhirnya, sebelum pulang ke kantor, saya pun mengatakan kepada rekan-rekan kerja yang semobil, jika bapak sakit. Saya meminta untuk mampir ke ATM BCA. Mengirimkan sejumlah uang untuk berobat.
Tiba di kantor, saya coba tetap tenang. Melintasi ruang redaksi, tampak antusiasme karyawan menyaksikan laga penentuan antara timnas Indonesia U-22 melawan Kamboja di ajang SEA Games, Malaysia.
Tanpa ba-bi-bu, saya pun ikut nimbrung. Ikut “memaki” pemain timnas jika melakukan kesalahan. Yang pasti ikut teriak-teriak. Bahkan saya sesumbar, “Jika Indonesia menang 10-0, seluruh karyawan saya traktir”. Untunglah tidak terealisasi. Hehehehehe
Sepulang kerja, saya pun menuju rumah di kawasan Greenland. Merebahkan badan. Kamis sekira pukul 18.00 WIB, ibu saya, Nanik Irianingsih mengabari jika bapak dibawa ke rumah sakit.
Batin saya pun tak tenang. Perasaan campur aduk. Rasa lelah, letih, lesu setelah roadshow langsung hilang. Selama itu pula saya terus memantau perkembangan bapak dari jauh.
Kabar yang tak terkira datang sekira pukul 23.00 WIB, atau 00.00 Wita. Ibu saya mengabarkan jika bapak sudah tiada.
Duar! Bak disambar petir, badan saya lemas. Telepon seluler saya jatuh. Dengan kondisi seperti itu, saya pun berusaha menenangkan diri. Kemudian, istri saya langsung saya hubungi. Tak lama, adik saya menelepon sambil menangis. “Bapak sudah enggak ada,” ujar adik saya, Derit Septian Nurmalasri Sunan yang saat ini tengah menempuh pendidikan di Universitas Mulawarman.
Tak ingin jadi kakak yang cengeng, saya pun coba menenangkan adik perempuan saya satu-satunya itu. Beberapa saat kemudian, adik saya langsung berangkat dari Samarinda menuju Balikpapan yang jaraknya sekitar 125 kilometer.
Alhamdulillah, saya bisa tegar. Apalagi, istri saya, Afriani terus memberikan support untuk tetap tenang. Dalam kondisi tenang, saya berusaha ikhlas.
Saya pun berusaha menelepon ibu yang menemani jasad bapak di Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan. Kami sama-sama berusaha untuk menguatkan.
Keinginan saya untuk pulang sangat kuat. Namun, tak ada satu pun pesawat yang bisa mengantar sebelum Jumatan. Tiket ludes.
Padahal, sebelum dibawa ke tempat peristirahatan terakhir, saya ingin mencium bapak untuk yang terakhir kali. Tapi apa mau dikata, saya baru sampai pukul 22.00 Wita.
Keinginan untuk mengantarkan bapak ke permakaman tak kesampaian. Memandikannya pun juga tidak. Tapi tak apa. Insya Allah doaku terus mengiringi sosok yang kukagumi itu.
Saya pun meminta kepada ibu, adik, dan istri saya agar bapak dimakamkan tanpa menunggu saya tiba.
The Real Leader
Bagi saya, bapak adalah sosok pemimpin sempurna. The Real Leader.
Dialah yang membimbing, mendidik, dan menjadikan anak-anaknya seperti sekarang.
Tanpa mengenal lelah, dia berusaha untuk menghidupi keluarga tercintanya.
Dulu saat kami susah, saat baru pertama kali menginjakkan kaki di Balikpapan tahun 1998 silam, dia selalu bekerja keras. Banting tulang.
Semua pekerjaan dilakoni. Dari tukang bangunan, tukang parkir, hingga melaut. Itu semua dilakukan hanya demi keluarga.
Sebagai anak, saya pun bangga. Tak pernah malu. Seiring berjalannya waktu, kerja kerasnya berbuah manis. Dari nol, kami bisa memiliki sebuah rumah sendiri. Tidak ngontrak lagi.
Bahkan, di usianya yang sudah senja, bapak terus berusaha bekerja keras. Meski kulitnya tak sekeras dulu. Kulitnya sudah keriput, namun dia tetap bersemangat.
“Capek kalau hanya di rumah,” katanya waktu itu.
Ketika saya memulai karier di dunia jurnalistik pun, bapak memberikan support penuh. Bahkan, ketika cobaan datang dalam karier saya, dia adalah orang terus memberi semangat.
Padahal, 2011 lalu, batin bapak saya terguncang tatkala adik saya, Blegoh Unmario Sunan dipanggil Tuhan Yang Kuasa.
Namun, bapak mengajarkan saya untuk tegar dan tabah.
Seiring waktu, bapak terus memberi dorongan dan dukungan. Terutama saat saya mendapat tugas memimpin Batam Pos.
Bapak pun meminta agar istri dan anak saya tinggal di Balikpapan saja.
Sehingga, saya bisa fokus dan makin mantap menuju Batam. Jauh dari orang tua dan keluarga. Dipisahkan lautan, bapak terus memotivasi saya. Memberi semangat untuk tidak kendur.
Bahkan hampir setiap malam hari, dia menjadi teman curhat yang paling tepat. Juga mentor yang andal.
Namun, sang pemimpin pujaan saya itu telah tiada. Orang yang menjadi kebanggaan saya telah pergi, sebelum saya membuktikan bahwa saya telah menyelesaikan tugas.
Tapi, saya yakin jika dia akan bangga terhadap anak-anaknya saat ini. Dia tetap berada di samping kami.
Pesan-pesannya ketika masih berada di dunia akan terus terpatri dalam benak kami, para penerusnya. Juga kedua cucunya, Akeila Lanoverian Guntur Sunan dan Ajeng Lanoverian Guntur Sunan.
Saya memang tidak bisa menemani di akhir hidupnya, tapi insya Allah saya ikhlas menerimanya.
Bapak, terima kasih telah mendidik, membimbing, dan menyayangi kami hingga kami dewasa seperti sekarang.
Engkau adalah panutan dan pahlawan bagi anak-anakmu…
Dia adalah pemimpin bagi kami…
Tempatmu tak akan tergantikan…
Selamat jalan, Pak. Terima kasih atas semuanya. ***
Guntur Marchista Sunan
General Manager Batam Pos