Jumat, 19 April 2024

Belajar dari Singapura dan Malaysia

Berita Terkait

batampos.co.id – Minggu (17/9) sore, Yunita Yap memacu mobil Toyota Avanza miliknya menuju Pelabuhan Feri Internasional Batamcenter. Ia hendak menjemput suaminya, Aji Wibowo yang baru saja pulang dari Singapura. Namun laju kendaraannya melambat karena ruas jalan hingga parkiran pelabuhan yang berdampingan langsung dengan pusat perbelanjaan Mega Mall itu macet total.

“Saya hubungi suami ngasih tahu macet. Jadi saya tunggu di luar pelabuhan saja, biar dia yang keluar, supaya tak terjebak macet,” ujar Yunita.

Tak lama berselang, sambil membawa satu koper, Aji, suami Yunita pun berjalan keluar kawasan pelabuhan. Saat berjalan, ia langsung mendapat penawaran dari sopir taksi konvensional yang mangkal di pelabuhan. Dengan halus, Aji menolak dengan asalan dia sudah dijemput istrinya.

Bukannya mundur, sopir taksi konvensional itu malah mengikuti langkah Aji. Ia terus bertanya, jika dijemput istri, kenapa tak tunggu di dalam pelabuhan saja? “Suami saya jawab asal, ‘biar tak usah bayar parkir’. Eh bukannya pergi, malah suami ditungguin sampai saya datang dan menghentikan mobil,” ujar ibu satu anak ini.

Suami Yunita pun langsung memasukkan barangnya ke bagasi mobil. Sementara si sopir taksi konvensional masih tetap curiga bahwa yang menjemput Aji adalah taksi online alias daring. Dia bahkan mengintip ke kaca mobil.

“Dia lihat saya hamil besar dan bawa anak baru dia pergi. Tapi jadinya kita semua dibuat tak nyaman. Apa iya semua mobil yang jemput ke pelabuhan itu taksi online?” tanya Yunita.

Yunita menyebut bukan kali pertama ia mengalami hal seperti ini. Beberapa kali ia dianggap sebagai sopir taksi online. Sopir taksi konvensional yang memandang padanya selalu nanar dan tak bersahabat.

Ia masih ingat pada 12 Agustus lalu, saat menjemput temannya dari Singapura di depan restoran cepat saji di Mega Mall Batam. Saat ia masuk, tiba-tiba mobilnya diketuk dua pria. Satu dari mereka bertanya apakah ia sopir taksi online.

“Saya jawab tidak. Yang satu saat melihat saya tengah hamil langsung pergi,” kenang Yunita.

Menurut Yunita, kejadian seperti ini menciptakan ketidaknyamanan kepada warga. Mereka akan selalu dianggap taksi online apabila menjemput keluarga, rekan, atau teman kantor. Pembiaran seperti ini akan membuat Batam yang digadang-gadang sebagai digital hub nasional akan mengalami kemunduran.

ilustrasi

Ia pun mengkritisi pemerintah yang tidak tegas dan terkesan lamban membuat keputusan. Juga terkesan tidak siap menerima kehadiran teknologi transportasi berbasis aplikasi. Padahal, kehadiran taksi daring justeru meringankan beban pemerintah yang sejatinya wajib menyediakan transportasi yang aman, nyaman, cepat, dan murah.

“Saya lihat pemerintah tidak ada ambil tindakan atau solusi untuk kasus pro-kontra taksi konvensional vs taksi online sampai saat ini. Malah kantor angkutan online disegel,” ujarnya.

Menurut dia, kondisi ini sangat berbeda dengan Singapura. Negara maju yang hanya 45 menit dari Batam itu warganya sangat mendukung taksi online. Wartawan Batam Pos, Chahaya Simanjuntak, saat berkunjung ke negeri itu akhir September lalu, sangat menikmati menggunakan transportasi online, Uber.

Saat itu, wartawan koran ini memesan taksi online dari Terminal 2 kedatangan Bandara Changi menuju kawasan City Square Mall di Kitchener link road. Bersebelahan langsung dengan Mustafa Plaza. Setelah memilih keluar dari pintu 4 terminal dua, aplikasi pun menunjukkan harga yang harus harus dibayar sebesar 17,39 dolar Singapura. Menyetujui harga, aplikasi langsung menunjukkan sopir bernama Eugene, dengan mobil Toyota Sienta bernomor polisi SLF 1637 H. Sang sopir menjemput tepat waktu. Sesuai perjanjian menunggu empat menit. Ia menyambut ramah lalu bergerak ke City Square.

Kehadiran taksi berbasis aplikasi online sama sekali tak ditentang warga Singapura. Bahkan mereka senang, sebab semakin banyak pilihan moda transportasi. Sebelumnya sudah ada LRT, MRT, dan SBS bus. Operator transportasi itu menerima kehadirnya taksi online, sehingga bisa beroperasi dengan baik.

Demikian juga saat melakukan perjalanan ke Melaka melalui terminal Larkin, Johor Bahru. Dengan menaiki bus dari Johor Bahru menuju Melaka dengan tempat perhentian akhir di Melaka Central Station. Karena waktu ketibaan hari itu sudah pukul 22.00 waktu Malaysia, maka bersama satu rekan, wartawan Batam Pos memutuskan memesan taksi lewat aplikasi Uber dari ponselnya. Sopir taksi langsung menjemput menggunakan Kia Cerato bernomor polisi MCS57055 dari Melaka Central Station dan mengantar ke The Settlement Hotel di Jalan Ujong Pasir.

Oleh rekan seorang warga Malaysia, Muhammad Syazwan Norhalik menyebutkan, awalnya saat taksi online hadir di negaranya pertengahan 2015 lalu, keberadaannya merupakan bagian dari bisnis sekaligus persaingan usaha di saat yang bersamaan.

Ada beberapa kali taksi konvensional protes dan sempat mengadakan demontrasi ke pemerintah melalui Suruhan Pengangkutan Awam Darat (SPAD) atau setara Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (organda) di Indonesia.

“Protes saja tapi tak sampai chaos. Mereka berpikir mungkin dengan kehadiran aplikasi Grab atau Uber,” ujar Syazwan yang akrab disapa Zuan ini.

Dengan adanya protes dari taksi konvensional di Malaysia, pemerintahan Malaysia langsung bergerak cepat mendudukkan persoalan dengan berbagai formula pada 2016. Sehingga kini taksi konvensional dan taksi online bisa berjalan beriringan sesuai dengan kebutuhan penumpang.

“Saya kurang tahu kebijakan apa yang dibuat kerajaan untuk itu, tapi yang jelas transportasi online kini sudah memiliki e-hailing (memanggil, red) sejak Agustus 2016. So Grab and Uber are now legal in Malaysia,” ungkapnya. (cha)

Update