Sabtu, 20 April 2024

Pak Presiden @jokowi Ada Mafia Lahan di Batam

Berita Terkait

Kepala BP Batam Hatanto Reksodipoetro didampingi para deputi memberikan penjelasan kepada wartawan di Kantor BP Batam, Rabu (18/10). F Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos.co.id – Tujuh pimpinan Badan Pengusahaan (BP) Batam akhirnya secara resmi menanggapi soal pergantian mereka per Senin (16/10) lalu. Mereka menilai perombakan unsur pimpinan BP Batam sarat dengan kepentingan para mafia lahan di kota industri ini.

Kepala BP Batam, Hatanto Reksodipoetro, yang mengawali pembicaraan saat jumpa pers, Rabu (18/10), mengatakan kini ia percaya bahwa di Batam memang ada mafia lahan. Ia sendiri pertama kali mendengar istilah itu dari Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan, dan Menko Perekonomian Darmin Nasution saat keduanya berkunjung ke Batam, satu setengah tahun silam.

“Itu identifikasi dari tahun lalu. Mafia lahan katanya ada dan sudah lama diketahui,” kata Hatanto saat jumpa pers terakhir dengan wartawan di Gedung BP Batam, Rabu (18/10). Sebab hari ini, Kamis (19/10), pimpinan baru BP Batam akan dilantik.

Bagi Hatanto, mafia lahan itu seperti seorang spekulan menunda-nunda untuk membangun lahan yang telah dialokasikan padanya. Alasannya sederhana, karena mereka ingin menjual kembali tanah itu dengan harga yang tinggi tanpa diketahui BP Batam sebagai pemilik Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Batam.

Menurut dia, selama ini ia bersama para deputi dan wakilnya getol memerangi mafia lahan itu. Di antaranya dengan menarik lahan tidur setelah melalui proses verifikasi. Juga melalui kebijakan-kebijakan yang dinilai mengancam eksistensi para spekulan lahan.

Puncaknya adalah kebijakan administrasi lahan yang dituangkan dalam Perka BP Batam Nomor 10 Tahun 2017 yang terbit pada Juni 2017 lalu.

“Menurut saya, yang menjadi pemicu dari pemberhentian kami adalah keluarnya Perka Nomor 10 Tahun 2017,” ungkapnya.

Hatanto mengatakan, Perka tersebut benar-benar menjadi momok mengerikan bagi mafia lahan. Sebab di dalamnya terdapat aturan yang mewajibkan pemilik lahan minta izin BP Batam sebelum menjaminkan sertifikat lahannya ke bank.

“Untuk apa tanah ini dipegang bertahun-tahun tapi tak dibangun, ternyata ini (Perka 10) yang ditakutkan,” katanya.

Adanya kewajiban tersebut akan membuat mafia lahan kalang kabut ketika ingin mengagunkan sertifikat lahannya di bank. Karena mereka tidak bisa menunjukkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) kepada BP Batam. Pasalnya, mafia lahan tidak pernah membangun lahannya. Seperti yang diketahui, HGB merupakan sertifikat terakhir yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentunya setelah melakukan pembangunan lewat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Jika tidak ada HGB, otomatis BP Batam tidak akan memberikan izin bagi si pemilik lahan untuk mengagunkan lahannya ke bank. Kondisi ini akan semakin rumit ketika pemilik lahan sudah menjual lahannya kepada investor yang benar-benar akan membangun lahannya. Sehingga ketika investor tersebut ingin mengagunkan sertifikat lahan untuk mendapatan tambahan modal, persoalan ini akan muncul.

“Tapi sudah kadung diberitakan kemana-mana, kami dibilang semena-mena, tidak sosialisasi,” tegasnya.

Hatanto mengatakan, sebenarnya sejak awal ia dan koleganya sudah dipesan untuk tidak mengurusi masalah lahan terutama Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Namun menurut dia, untuk mengembangkan ekonomi di Batam, harus dimulai dari pembehanahan tata kelola lahan di Batam.

“Saya pernah katakan, Batam ini mau dibawa ke mana?” imbuhnya.

Jika ingin mengembangkan bisnis properti maka masyarakat nanti tak punya pekerjaan. Sebab saat ini 28 persen lahan di Batam dibangun untuk properti. “Terlalu banyak masuk properti, nanti mau kerja dimana,” jelasnya.

Sedangkan saat ini hanya sekitar 16 persen lahan di Batam yang dikembangkan untuk industri. Padahal, kata Hatanto, jika sektor industri yang dikembangkan, maka industri properti juga akan ikut tumbuh.

“Masyarakat Batam, pikirkan baik-baik masa depan kalian. Kami akan meneruskan masa pensiun kami. Nasib Batam tergantung dari apa yang bapak ibu putuskan,” jelasnya.

Ia menuturkan bahwa mereka bertujuh datang ke Batam dengan mengemban amanah besar. “Kami datang dengan tegak dan pulang dengan tegak. Kami bisa kontak mata dengan media secara langsung karena kami tidak ada masalah. Mudah-mudahan masyarakat Batam bisa menikmati sedikit apa yang kami tinggalkan,” ungkapnya.

Hatanto kemudian mengungkapkan bahwa dirinya bukan dewa yang bisa mengubah wajah perekonomian Batam dalam waktu hanya satu setengah tahun saja. Hatanto dkk tidak bisa mengubah Batam menjadi surga menarik untuk investasi, mendadak berikan pekerjaan dalam tempo setahun. “Tapi kami meletakkan dasar-dasar supaya Batam ini bisa tumbuh dengan baik. Mudah-mudahan dasar itu bermanfaat dan diperjuangkan. Itu yang penting,” katanya.

“Kami tidak mau dipanggil untuk berjuang di sini, setelah pensiun jadi cacat,” ungkapnya lagi.

Wakil Kepala BP Batam, Agus Tjahajana, menambahkan keberadaan mafia lahan di Batam memang sangat nyata. Ia mengatakan, sejak awal mereka sudah mencoba melawan sejumlah kebijakan BP Batam di bawah pimpinan Hatanto.

Agus mencontohkan saat BP Batam menaikkan tarif UWTO. Saat itu terjadi pemasangan sepanduk penolakan secara masif. Menurut Agus, aksi tersebut didanai oleh para spekulan lahan di Batam.

“Berdasarkan penelusuran dari rekan-rekan intelijen, dana yang diperlukan untuk membuat spanduk-spanduk tersebut mencapai Rp 1,5 miliar,” katanya. “Kira-kira apakah masyarakat bisa buat seperti itu? Itu hanya bisa dilakukan oleh suatu organisasi yang rapi dan cukup besar. Sehingga menimbulkan dampak besar. Itu yang bisa dilihat secara kasat mata dan saudara-saudara pasti sudah paham,” paparnya.

Di tempat yang sama, Deputi III BP Batam, Eko Santoso Budianto, menuturkan ada sekitar 1.388 izin prinsip (IP) terdata di kantor lahan. “Ternyata ada yang tidak bisa diproses karena ada yang masuk hutan lindung dan DPLCS, kan tidak ada HPL-nya,” ujarnya.

Ia kemudian mencontohkan ada suatu kawasan industri yang memiliki lahan seluas 60 hektare. Namun BP Batam tak mau mengeluarkan Surat Keputusan (Skep) dan Surat Perjanjian (SPJ) untuk 20 hektare di antaranya karena berada di dalam wilayah hutan lindung. Tentu saja HPL-nya tak ada.

“Tapi kalau soal siapa-siapa saja namanya, pasti yang paling nyaring bunyinya. Jadi saya tak mau sebut namanya nanti dilaporkan pula,” terangnya.

Sedangkan Deputi II BP Batam, Junino Jahja, mengungkapkan saat mereka dipanggil oleh Ketua Dewan Kawasan (DK) Darmin Nasution, maka mereka memang sudah diminta untuk mempersiapkan diri untuk diganti. “Alasannya adalah sebentar lagi masuk tahun politik dan kami bisa mengerti. Makanya kami dianggap Pak Darmin sebagai orang-orang benar yang berada di tempat yang salah,” kata Junino sembari menyebut bahwa ia memiliki bukti rekaman dari ucapan Darmin.

Junino juga menyebut bahwa pihaknya telah menyampaikan laporan secara penuh kepada Ketua DK. Ada lebih dari 30 dokumen.

Setelah berhenti dari BP Batam, Junino mengaku akan menunggu masa pensiunnya. Ia bahkan tidak memiliki rencana untuk berkarir lagi, apalagi terjun ke dunia politik.

“Mau menimang cucu,” kata Junino.

(leo)

 

Update