Kamis, 25 April 2024

KEK Tak Cocok di Batam, Kata Agus Tjahajana

Berita Terkait

batampos.co.id – Di antara tugas pimpinan baru BP Batam adalah menyiapkan peralihan status Free Trade Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam. Namun penerapan KEK di Batam dinilai tidak cocok. Kondisi Batam yang sudah padat membuat pembentukan KEK akan memakan biaya sangat tinggi dan waktu yang sangat lama.

“Dari analisis biaya dan manfaat, KEK hanya cocok bagi kawasan yang masih kosong,” kata mantan Wakil Kepala BP Batam, Agus Tjahajana di Gedung BP Batam, Rabu (18/10) lalu.

Agus mengatakan, pembentukan KEK Batam membawa sejumlah risiko tinggi. Pertama, risiko biaya. Menurut dia, sedikitnya akan ada 13 zona KEK di Batam. Dengan jumlah 13 zona itu, pembentukan KEK Batam sedikitnya memerlukan biaya Rp 20,19 triliun. Sedangkan waktu yang dibutuhkan paling cepat delapan tahun.

“Biaya itu untuk relokasi 48 industri, kemudian 130,6 hektare perdagangan dan jasa, sekitar 6.000 rumah, dan sekitar 5.400 ruli,” katanya lagi.

Semakin banyak zona, kata Agus, akan semakin kecil biaya yang diperlukan. Karena tidak perlu ada relokasi banyak perusahaan yang ada di Batam.

Opsi tersebut belum memperhitungkan lagi biaya pemindahan dan pemasangan kembali mesin-mesin produksi dan kehilangan pendapatan selama proses relokasi yang pastinya sangat signifikan. Serta kemungkinan adanya komplain dari pelanggan.

“Perlu diketahui, asumsi tersebut menggunakan komponen biaya relokasi yang paling kecil, sehingga kemungkinan membengkaknya biaya sangat besar,” ujarnya.

Pertanyaan terbesarnya, kata Agus, siapa nanti yang akan menanggung biaya seluruh program transformasi FTZ ke KEK. “Apakah Pemko Batam, Pemprov Kepri atau pemerintah pusat,” paparnya.

Jumlah zona KEK Batam memang bisa diperkecil menjadi enam zona tanpa memasukkan area galangan kapal di Tanjunguncang. Namun biaya yang harus dipersiapkan diperkirakan mencapai Rp 66,25 triliun.

Dalam pertimbangan BP Batam, ada beberapa perusahaan yang tidak bisa masuk ke zona KEK. Misalnya, PT Sat Nusapersada di Pelita. Sebab pabrik tersebut berada di tengah permukiman warga.

Risiko kedua, kata Agus, terkait kepastian hukum. Menurut dia, beralihnya FTZ ke KEK akan memimbulkan ketidakpastian bagi investor dan pengusaha.

Risiko lainnya, adalah risiko sosial dan hukum yang juga mungkin timbul. Sebab saat industri direlokasi ke KEK, maka bisa saja terjadi PHK untuk menyesuaikan keadaan. Dan perusahaan yang tidak sepakat dengan penghapusan FTZ dapat menuntut pemerintah.

Agus Tjahajana

“Saat relokasi, industri bisa saja tidak bisa produksi sehingga merugi dan kehilangan pelanggan. Pemerintah juga harus menyediakan biaya lahan dan bangunan berikut infrastruktur pengganti dalam rangka relokasi,” terangnya.

Bagi BP Batam, mereka akan menjadi sangat selektif dalam memberikan izin investasi karena hanya memberikannya untuk investor yang mau masuk KEK. “Sedangnkan isu lain adalah mengenai aset BP Batam yang kualitasnya dipastikan akan menurun selama masa transisi karena tidak ada pembangunan,” jelasnya.

Agus menambahkan, banyak hal yang harus ditentukan dalam menentukan KEK. Termasuk juga penentuan jumlah permukiman, perdagangan jasa, dan rumah liar yang harus direlokasi. Begitu juga dengan industrinya dan batas zona KEK.

Makanya untuk Batam, kata Agus, FTZ masih menjadi opsi terbaik saat ini. Menurut dia, pandangan yang mengatakan sistem FTZ mulai ditinggalkan adalah salah. Sebab faktanya, saat ini masih banyak kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas yang diberlakukan di sejumlah negara. Misalnya Tiongkok dengan Shanghai Pilot Free Trade Zone-nya, Malaysia dengan Digital Free Trade Zone, Abu Dhabi dengan Khalida Port Free Trade Zone, dan lainnya. (leo)

 

Update