Selasa, 19 Maret 2024

Pengusaha Lebanon Protes Syahbandar Batam

Berita Terkait

batampos.co.id  – Bos kapal asal Lebanon, Raef S Din, marah besar. Kapal supertanker miliknya kini terancam rusak karena pihak Syahbandar Batam tak kunjung mengeluarkan izin persetujuan berlayar atau port clearance tanpa alasan yang jelas.

Raef mengakui, sebelumnya kapal milik perusahaan Bulk Blacksea Inc itu memang tersandung kasus perdata. Namun menurut dia, semua sudah selesai. Namun tanpa alasan jelas, sampai saat ini Syahbandar Kantor Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Batam terkesan mempersulit izin berlayar kapal tersebut.

Raef menceritakan, beberapa bulan lalu pihkanya mereparasi kapal tersebut di Drydocks World Pertama, Batam. Namun setelah selasai perbaikan, kemudian kapal tanker yang awalnya bernama Eastwind Rhine itu berganti nama sebanyak dua kali. Awalnya berganti nama menjadi Seniha-S dan kemudian berubah lagi menjadi Neha.

“Inilah awal permasalahannya,” kata Raef, Minggu (12/11).

Namun, menurut Raef, hal ini terjadi karena kesalahpahaman. Ada pihak tertentu yang mengklaim sebagai pemilik kapal tersebut. Yakni Franz Tiwow. Franz mengaku telah membeli kapal tersebut dari PT Persada Prima Pratama (PPP). Pihak PT PPP sendiri mengaku telah mengantongi surat kuasa jual dari Raef.

Menurut Raef, pihaknya sama sekali tak pernah menjual kapal Eastwind Rhine atau Neha kepada siapapun. Pihaknya juga tak pernah memberikan kuasa jual kepada pihak manapun, termasuk PT PPP.

“Bahkan kami tak mengenal keduanya (Franz dan PPP, red). Ini sangat aneh,” katanya.

Kasus klaim kepemilikan dan jual beli kapal ini akhirnya bergulir ke meja hijau. Raef atas nama perusahaannya, Bulk Blacksea Inc, menggugat PT PPP dan Franz Tiwow. Dan akhirnya Pengadilan Negeri (PN) Batam memutuskan bahwa jual beli kapal oleh PT PPP ke Franz Tiwow ilegal. Sehingga PN Batam memenangkan pihak Raef.

Keputusan PN Batam itu tertuang dalam surat Nomor 75/PDT.G/PLW/2017/PN.BTM. Dalam putusannya PN Batam menyatakan kapal telah diangkat sita dan dibuktikan di dalam putusan tersebut semua dokumen transaksi antara Franz dan PPP sebagian besar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Antara lain pengikatan jual beli di notaris, surat kuasa jual palsu, kwitansi, serta pemeriksaan dokumen-dokumen lainnya.

“Saya tidak pernah memberikan kuasa kepada PT PPP, jadi surat kuasa palsu. Dan katanya waktu itu transaksinya di Singapura. Padahal pada saat itu dengan paspor saya sebagai buktinya, saya tidak berada di Singapura. Dan perlu diingat kami dimenangkan pengadilan dalam kasus ini,” katanya.

Dengan dimenangkannya Bulk Blacksea Inc di PN Batam, harusnya pihak Syahbandar mengeluarkan port clearance. Bukan malah menyandera kapal tersebut. Ini sesuai dengan dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran di dalam Pasal 222 yang menyatakan syahbandar tidak dapat menahan kapal tanpa perintah pengadilan.

“Saya tidak meminta syahbandar untuk membela kami. Saya hanya minta syahbandar bekerja berdasarkan hukum dan undang-undang. Bekerjalah sesuai dengan tugas dan wewenangnya,” katanya.

Dengan undang-undang tersebut, kata dia, seharusnya syahbandar tidak boleh menahan kapal. “Kalau ada kesalahan kami, tunjukkan pada kami apa salah kami. Jangan mempersulit kami,” tegasnya.

Ia mengaku awalnya senang dengan Indonesia karena pemerintahan Presiden Joko Widodo yang konsen mengembangkan poros maritim. Tetapi dengan kasus seperti ini, maka justru akan membuat Batam mendapat sorotan publik dan investor.

Kami ke sini membawa uang. Kami memperbaiki kapal kami di Batam, tetapi malah diperlakukan seperti ini. Menurut saya, ini sangat mengganggu investasi di Batam,” katanya.

Terkait pergantian nama kapal yang selama ini dipermasalahkan oknum tertentu, Raef mengatakan bahwa sesuai ketentuan, bahwa nama kapal boleh berubah tetapi IMO atau nomor register kapal tak boleh berubah. IMO kapal tersebut tetap, yakni IMO 8701519.

“Ini kasus perdata. Ini awalnya karena kami dengan PT Drydocks ada permasalahan utang piutang dan ini sudah selesai. Kami sudah bayar jasa perbaikan. Tetapi tiba-tiba ada yang mengklaim ini kapalnya. Sangat aneh,” katanya.

Ia juga mengaku kecewa dengan pihak-pihak tertentu yang mengatakan bahwa pihaknya mencoba membawa lari kapal tersebut. Menurut dia ada upayan menggiring opini publik.

“Saya tidak akan berlaku seperti itu untuk harga kapal saya yang nilainya jutaan dolar. Tetapi kami harus cek mesin. Siapa yang akan merawat kapal itu,” katanya.

Oleh karena itu, ia berharap Kepala Kantor KPLP Batam, Bambang Gunawan, segera mengeluarkan port clearance. Paling tidak memberikan alasan kenapa tidak mengeluarkan dokumen tersebut.

“Saya sudah ke Belawan, ke Jambi, Tanjungpriok, Merak, dan daerah lain di Indonesia. Kami dijamu dan diperlakukan sangat baik. Heran di Batam yang ekonominya lagi terpuruk malah dipersulit,” katanya.

Ia berharap pihak berwajib bisa turun tangan menangani masalah ini. Termasuk menyelidiki sepak terjang Bambang selaku Kepala KPLP Batam.

Kuasa hukum Raef, Niko Nixon Situmorang, membenarkan kliennya pernah terlibat utang piutang dengan PT Drydocks World Pertama.

“Permasalahan ini sudah selesai, dan Drydocks sudah mencabut laporan karena sudah damai. Kami sudah bayar semua. Ini masalah bisnis.” katanya.

Ia menuding ada upaya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh Kepala Syahbandar Bambang Gunawan. Ia menilai Bambang mengabaikan perintah undang-undang. Dan sesuai instruksi dari Raef, dalam waktu dekat Nikson akan mengajukan tuntutan dan akan melaporkan Bambang ke polisi.

“Kalau ada surat perintah dari pengadilan untuk menahan kapal klien saya, maka klien saya tidak akan menuntut. Dan sesuai undang-undang pelayaran, kapal klien saya tak boleh ditahan. Di sini ada penyalahgunaan kewenangan, dan akan dituntut,” katanya.

Ketua Kadin Batam Jadi Rajagukguk juga mengaku kecewa dengan tak kunjung dikeluarkannya port clearance untuk kapal tersebut oleh Syahbandar. Apalagi sudah ada putusan dari Pengadilan Negeri Batam. Menurutnya, Syahbandar harus bekerja atas nama undang-undang.

“Kalau memang ada perintah dari pengadilan, silakan. Kalau memang tidak ada, ya memang harus dikeluarkan. Ini menjadi hambatan untuk investasi di Batam. Kita harus memberikan kepercayaan kepada investor untuk datang ke Batam,” katanya.

Menurutnya, pihak yang memberikan kontribusi untuk perekonomian Batam harus didukung, bukan malah dipersulit. Ia berharap semua pihak harus berupaya meningkatkan investasi di Batam. Ini sesuai dengan apa yang menjadi visi dan misi dari Presiden Indonesia Jokowi.

“Saya berharap, Pak Raef bisa datang ke Kadin untuk menyampaikan masalah ini. Tetapi intinya, Syahbandar harus ikut menjaga iklim investasi di Batam,” katanya.

Anggota Komisi II DPRD Kota Batam Uba Ingan Sigalingging menyayangkan kejadian tersebut. Ia berharap kasus seperti ini tidak terjadi di Batam mengingat Presiden Jokowi menggaungkan pengembangan poros maritim.

“Bagaimana kita mewujudkan pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen kalau investor dipersulit. Kalau saya tegas, copot Bambang. Ini sudah mengangkangi undang-undang.” katanya.

Menurutnya pemilik kapal tersebut sudah memberikan kontribusi untuk Batam dan Indonesia. Misalnya dengan pembayaran pajak dan kontribusi lainnya.

“Mereka memberikan pekerjaan untuk warga Batam, masa mereka pemilik kapal tidak bisa melihat kapalnya. Mari kita sama-sama jaga investasi di Batam. Jangan malah kita membuat investor ragu berinvestasi di Batam,” katanya.

Sementara itu Kepala KPLP Batam, Bambang Gunawan, tak kunjung memberikan jawaban terkait kasus ini. Beberapa kali dihubungi, Bambang tidak menjawab. (ian)

Update