Sabtu, 20 April 2024

Ongkos Besar Rehabilitasi Pecandu Narkoba

Berita Terkait

batampos.co.id – Setiap tahun pemerintah menggelontorkan puluhan miliar rupiah untuk merehabilitasi pecandu narkoba di Indonesia. Upaya pemulihan pecandu kian berat berat di tengah derasnya arus narkoba yang masuk ke negeri ini.

“Selamat sore family, it’s prayer time “. Suara itu menggema di lantai dua House of Soul bangunan Loka Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Kepri di Nongsa, Kamis (23/11) sore lalu. Jarum jam menunjukkan pukul 15.10 WIB, pertanda waktu salat Asar telah masuk.

“Thankyou for remind us front desk”. Jawaban itu terdengar kompak dari para residen (sebutan para pasien rehabilitasi, red) yang sedang menikmati 30 menit waktu istirahat di dormitori masing-masing.

Usut punya usut, sang pemberi peringatan ternyata bernama Mahadiansyah. Dia juga residen di Loka Rehabilitasi Batam. Dia dipilih menjadi kepala di antara para residen primary unit. Pria berusia 35 tahun ini sudah 81 hari menjadi residen di Loka Rehabilitasi di Nongsa akibat ketergantungan narkoba jenis sabu-sabu.

Pria yang akrab disapa Adi ini bukan orang sembarangan. Dia berprofesi sebagai anggota Polri. Sampai saat ini masih aktif dengan pangkat Brigadir Kepala (Bripka).

Tahun 2015 menjadi awal perkenalannya dengan narkoba. Sesaat setelah ia pindah tugas dari Papua ke Batam, Kepulauan Riau. “Sebelumnya di Papua jauh dari ingar bingar kehidupan malam. Tiba-tiba dipindah ke Batam. Dipengaruhi teman sipil,” ujarnya.

Beruntung, keluarganya segera menyadari perilaku Adi. Pria kelahiran Langkat ini pun segera dimasukkan ke Loka Rehabilitasi Batam atas persetujuan institusi tempatnya bekerja.

Di loka ini, Adi sudah mengikuti empat proses tahapan rehabilitasi, yakni detoksifikasi, stabilisasi, entry unit, dan sekarang dalam proses primary unit. “Setelah direhab inilah saya tersadar. Ternyata saya bisa hidup tanpa narkoba,” ujarnya.

Kepala Loka Rehabilitas Kota Batam, dr Danu Cahyono didampingi Program Manager Loka Rehabilitasi Batam, Acep Ranal menyebutkan, ada lima tahapan proses rehabilitasi bagi para residen sampai dinyatakan pulih dari ketergantungan. Pertama, detoksifikasi; Kedua, stabilisasi untuk pencabutan dan pembersihan zat narkoba dalam tubuh residen; Ketiga, entry unit; Keempat, primary unit; Kelima, re-entry dan pascarehabilitasi.

Selama detoksifikasi hingga entry unit, para residen ini tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan dunia luar. Termasuk keluarga.

“Khusus pasca rehabilitasi, kami kirim residen ke rumah damping yang ada di Tiban untuk pembinaan dan mendapat keterampilan supaya ke depan bisa kembali ke kehidupan sosial. Setelah mereka lepas pun, kami tetap mengawasi mereka selama enam bulan,” ujar Danu di kantornya di Nongsa, Kamis (23/11) pekan lalu.

Para residen di Shelter ini dikelompokkan berdasarkan warna baju yang mereka pakai untuk memudahkan petugas mengenalinya. Residen house of soul, pakaian sehari-harinya hijau. Residen yang masih perawatan medis, detoksifikasi, dan stabilisasi berpakaian orange. Residen anak usia 12-18 tahun berpakaian ungu.

“Khusus residen re-entry, pasien tahap akhir atau yang sudah persiapan pulang, kami berikan reward bisa berpakaian bebas,” ujar Acep.

Para residen yang direhabilitasi di loka ini digratiskan dari segala biaya. Semua biaya ditanggung negara. Mulai dari biaya pengobatan dasar hingga pemulihan dengan rentang tiga sampai enam bulan rehabilitasi.

Tak hanya itu, biaya makan tiga kali sehari dan snack dua kali sehari, bahkan kebutuhan Mandi Cuci Kakus (MCK) seperti deterjen, sikat gigi, pasta gigi, sabun mandi, shampoo, dan bahkan pencukur bulu, semua dibiayai negara. Kecuali untuk kebutuhan konsul jika residen terdeteksi mengidap penyakit tertentu, ada batasan besaran biaya konsul.

Kiblat rehabilitasi di Indonesia mengadopsi metode teraupetic community dari Amerika. Namun dari sisi lama rehab tak diadopsi total. Di Amerika, lama rehab 12 sampai 24 bulan.

“Kalau itu dilakukan di Indonesia, habislah uang negara ini untuk rehabilitasi pecandu narkoba,” ujar Danu.

Akhirnya, kata Danu, lama rehab diubah. Awalnya satu tahun, dievaluasi menjadi enam bulan karena keterbatasan anggaran. “Ternyata bisa enam bulan,” katanya.

Pemerintah pusat tak main-main mengeluarkan ongkos untuk para pecandu narkoba yang dirawat di enam lembaga rehabilitasi penanganan dan pengobatan para pecandu narkoba di Indonesia. Mulai dari Balai Besar Lido di Sukabumi, Loka Kalianda Lampung, Deli Serdang di Sumatera Utara, Balai Tanah Merah di Kalimantan, Badoka di Sulawesi, hingga Loka Rehabilitasi Batam di Kepri yang langsung membawahi wilayah Sumatera.

“Khusus Loka Rehabilitas Batam, 2017 ini kami mendapatkan anggaran sebesar Rp 9,2 miliar,” sebut Danu.

Sejauh ini, besaran anggaran tersebut masih mencukupi. Namun peningkatan target residen akan terus menambah jumlah anggaran yang dibutuhkan. Bahkan, jika semakin banyak yang menjadi pecandu, maka semakin besar pula dana yang harus digelontorkan pemeritah untuk merehap para pecandu itu.

Saat ini saja, ada 94 residen yang dirawat intensif dari 201 di Loka Rehabilitasi Batam di Nongsa. Sebanyak 92 di antaranya residen laki-laki dan dua residen perempuan. Rata-rata rentang usia produktif. Mereka datang dari lintas agama, lintas pendidikan, dan lintas profesi.

“Ada dosen, anak pengusaha, bahkan dokter juga ada,” kata pria yang baru bertugas delapan bulan di Loka Rehabilitasi Batam ini.

Dari 94 residen yang dirawat intensif di loka ini, ada 28 residen pecandu dari Kepri (Anambas, Karimun). Sisanya dari Sumatera Utara dan Pekanbaru.

“Terjadi penurunan. Tahun 2016 lalu, residen asal Kepri malah 36 orang. Tahun ini kami justru heran, mengapa sangat sedikit warga Batam yang rehab di sini padahal pecandu banyak,” ujar Acep.

Pada 2017 ini, Loka Rehabilitasi Batam menargetkan 200 residen rawat inap dan 50 rawat jalan. Khusus residen rawat inap, sudah melebihi target yakni 201 residen. Masih ada 20-an yang masuk daftar tunggu yang saat ini masih dititipkan di sel BNNP Kepri dan juga di lapas.

Sedangkan pada 2018 mendatang, mereka menargetkan 222 residen rawat inap, dan 28 rawat jalan. Perubahan target ini karena untuk rehabilitasi ringan sudah bisa ditangani BNNP dan BNNK.

Namun Danu mengakui, tidak ada satu tempat rehab pun di dunia ini yang memberikan jaminan residen akan sembuh total. Bahkan tidak ada istilah sembuh. Yang ada hanya kata pulih.

Lalu bagaimana dengan mereka yang dinyatakan pulih kemudian menggunakan narkoba lagi? Danu mengungkapkan hal itulah yang bikin susah. Peran BNN sendiri 50 persen untuk pemulihan, sisanya datang dari lingkungan, keluarga dan diri pribadi residen.

“Kalau kecanduan lagi, kita tetap terima lagi direhabilitasi. Tapi batasnya hanya sampai dua kali. kalau sampai tiga kali, berdasarkan UU, harusnya dipenjara,” tegasnya.

Di loka rehabilitasi ini, para residen ditangani dua dokter termasuk dokter Danu sendiri, tiga psikolog, 15 perawat, dan 26 konselor pendamping residen.

Umumnya, konselor pendamping ini adalah mereka yang mantan pecandu yang telah pulih. Salah satunya Yudha Ramadhansyah. Pria berusia 32 tahun ini merupakan pecandu narkotika pada 1998-2015 lalu. Sudah tak terbilang jenis narkoba yang ia konsumsi. Mulai dari putaw, opium, ganja, ekstasi, hingga sabu-sabu. Sudah empat kali ia bolak-balik menjalani rehabilitasi jangka panjang.

“Bahkan pas nikah di Palembang, kala itu di 2012, sebelum ijab kabul saya isap ganja dulu,” ujar suami dari Yona Fina Aulia ini.

Karena narkoba pula, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai karyawan BUMN di bidang perkapalan. “Saya sempat down, dan di situ mulai memakai putaw, supaya saya nyaman di kala sendiri, halusinasi, dan merasa aman saja. Lihat ini tangan saya,” ujarnya sambil menunjukkan bekas-bekas sayatan di tangannya.

 

Loka Bukan Penjara

Loka Rehabilitasi Batam tergolong lengkap. Ada fasilitas seperti UGD dengan alat rontgen, satu dokter tamu, laboratorium, lapangan olahraga outdoor untuk tennis, volly, lapangan basket, tempat fitnes, USG, masjid, capel, dapur, dan tiga mess staf.

Loka Rehabilitasi Batam terdiri dari tiga lantai dormitori. Satu dormitori diisi enam orang dengan kapasitas total 200 orang.

Meski semua dormitori dibangun dengan jeruji besi, namun semua ruangan bersih. Bahkan dilengkapi pendingin ruangan (AC) dan pengharum ruangan. Masing-masing dormitori juga dilengkapi kata-kata hiasan penyemangat.

“Jadi perlu kami beri pemahaman kepada warga di luar sana, bahwa rehabilitasi di loka Batam ini bukan penjara, tidak ada kekerasan, dan gratis. Masuk ke sini bukan aib, tapi tempat pemulihan dari narkoba. Residen di sini, kalau kita bandingkan dengan para saudara-saudara kita yang di LP, lebih manusiawi di sini,” ujar Danu.

Kewajiban rehabilitasi ini sendiri tercantum dalam Pasa 54 UU Nomor 35/2009 tentang narkotika dan penempatan korban penyalahgunaan narkotika ke lembaga medis dan sosial.

Untuk langkah awal, Danu menyebutkan, pelayanan rehabilitasi ini, residen wajib melaporkan cara sukarela, dan program wajib lapor tersangka.

Bagi residen sukarela, mereka akan menjalani proses assesment mulai dari wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan psikis, dan riwayat pemakaian narkoba. Biasanya ini harus diantar pihak keluarga.

Kepri Darurat Narkoba

Upaya Loka Batam untuk merehabilitasi pecandu narkoba memang semakin berat. Sebab, Kepri kini masuk dalam kawasan darurat Narkoba di Indonesia.

Kategori itu disematkan di Kepri karena pada 2016 lalu, BNN Provinsi Kepri mencatat angka prevalansi penyalahgunaan narkoba di provinsi ini mencapai 2,74 persen. Padahal, angka maksimal prevalensi yang ditetapkan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo maksimal 2,2 persen. Kepri lebih tinggi 0,54 persen.

Sepanjang 2017 ini saja, BNNP Kepri mencatat ada 42 ribu warga Kepri yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.

Jika dibandingkan dengan 2015-2016, memang terjadi penurunan. Pada medio 2015-2016 tercatat 60.205 warga Kepri yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.

“Boleh dibilang, Batam itu juga sebagai daerah transit narkoba untuk selanjutnya dikirimkan ke luar pulau seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali, dan kawasan lainnya di seluruh Indonesia,” ujar Kepala BNNP Kepri Brigjen Nixon Manurung melalui Kepala Bidang Pemberantasan AKBP Bubung Pramiyadi, saat ditemui di ruangannya di kantor BNNP Kepri di kawasan Batubesar, Nongsa, Kamis (23/11) pekan lalu.

Bubung menyebutkan pintu masuk peredaran narkoba tertinggi di Indonesia yaitu Aceh melalui Sabang, Kalimantan, Kepri, dan juga Medan di Sumatera Utara.

“Kepri peringkat ketiga pintu masuk peredaran Narkoba secara nasional,” ujar Bubung.

Peredaran narkoba di Kepri sendiri ada beberapa pintu masuk terbesar yakni Tanjungbalai Karimun, Berakit-Bintan, dan banyak tempat di Batam.

Adapun narkoba jenis narkoba yang sering masuk ke Batam adalah sabu-sabu, ekstasi, dan juga ganja. Sabu-sabu dan ekstasi semuanya masuk dari Malaysia, sedangkan ganja masuk dari Aceh. Hanya segelintir yang masuk melalui Singapura.

Bubung menambahkan, biasanya narkoba yang masuk dari Singapura adalah titipan transit dari Tiongkok. Seperti halnya penangkapan sabu-sabu yang dibalut di dalam lukisan Bunda Maria yang ditangkap di Bandara Internasional Hang Nadim beberapa waktu lalu, dimana si tersangka yang dititipkan hendak membawanya ke Tangerang.

“Batam ini parah sebagai pintu penyelundupan dan juga peredaran narkoba,” jelas Bubung.

Bubung menjelaskan, beberapa lokasi di Kepri ditetapkan sebagai zona merah narkoba. Antara lain Kampung Aceh di Seibedug, Tanjunguma di Lubukbaja, Penyengat di Tanjungpinang, dan Meral di Karimun sebagai zona merah peredaran dan penggunaan narkoba selain di pusat-pusat hiburan malam.

Lemahnya Pengawasan Malaysia

Masih menurut Bubung, narkoba yang masuk ke Batam dan Kepri umumnya dari Malaysia. Ia menduga, barang haram itu mudah keluar dari malaysia karena lemahnya pengawasan aparat di negeri juran itu.

“Sangat lemah di pengawasan arus keluar negara. Barang masuk yang mereka ketatkan,” jelasnya.

BNNP Kepri mencatat, sampai November berjalan ini, mereka berhasil mengamankan 36,1 kilogram sabu-sabu, 398 butir ekstasi, dan 12.962,16 gram ganja dari 81 tersangka.

Berdasarkan rekapitulasi empat tahun terakhir, jumlah tangkapan narkoba di Kepri semakin meningkat. Pada 2014 misalnya, BNNP Kepri berhasil mengungkap 28 kasus dengan 24 tersangka. Dari tangan para tersangka, diamankan 764,9 gram ganja, lalu 5.685,84 gram sabu-sabu, 186 butir ekstasi, dan 0,22 heroin.

Pada 2015 ada 57 kasus dengan 91 tersangka berikut bukti kepemilikan 64,15 gram ganja, 8.980,53 gram sabu-sabu, dan 315 ekstasi.

Sedangkan 2016 terjadi peningkatan pengawasan, dimana BNNP Kepri berhasil menangkap 88 tersangka dengan 62 kasus. Dari mereka diamankan 22,11 kilogram ganja, 17,65 kilogram sabu-sabu, dan 27.797 butir ekstasi.

“Meski begitu, kami memperkirakan banyak yang lolos daripada yang ditangkap,” sebutnya.

Bubung juga mengungkapkan, berdasarkan survei dan pengembangan dari BNNP Kepri, tren yang tertangkap di Batam saat ini, kebanyakan para kaki-kaki pengedar yang hanya dibayar Rp 10-20 juta per sekali kerja. Sementara pemiliknya ada di luar daerah.

Modus operandi alur penyelundupan narkoba ini yakni dari pemilik-kurir-penjamin dan penyimpan di lokasi tujuan- diedarkan secara bertahap. Tergantung permintaan stok dari luar kota, atau bisa langsung dikirim keseluruhan.

Alurnya, dari Malaysia dibawa melalui laut menggunakan kapal cepat atau kapal pribadi, di wilayah perbatasan atau out port limited (OPL) diserahkan estafet kepada kurir. Bisa jadi kurirnya nelayan, dan nelayan inilah yang membawa barang ke titik perjanjian seperti yang sudah diperintahkan si owner.

Selain itu, narkoba dari Malaysia juga kerap dibawa kapal TKI ilegal. Juga melalui bandara.

Tingginya penyelundupan narkoba ke Indonesia diduga karena bisnis ini sangat menjanjikan. Di Indonesia, 1 gram sabu bisa dijual hingga Rp 1 juta. Padahal dari Malaysia harganya hanya Rp 250 sampai Rp 400 juta per kilogram (Kg).

“Di Malaysia dijual Rp 300 juta per Kg, di Bali itu bisa menjadi Rp 2 miliar per kilogram,” jelas Bubung. (cha/ska/nur)

Update