Sabtu, 20 April 2024

Mencegah Praktik Jurnalisme Abal-abal

Berita Terkait

Tujuh tahun lalu, Dewan Pers membuat gebrakan. Para perwakilan media dari seluruh Indonesia itu “melahirkan” Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan.

Sebuah peraturan yang berguna untuk memantapkan profesionalitas, wawasan, dan etika wartawan. Standar ini diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat.

Tujuan utamanya, mencegah munculnya wartawan abal-abal yang menjadi momok bagi masyarakat, bahkan mengancam eksistensi orang-orang yang bergelut di dunia jurnalistik.

Sama halnya dengan profesi lainnya seperti guru dan dokter. Seluruhnya harus mengikuti sertifikasi. Makanya, kuli tinta pun dituntut untuk mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

Kendati demikian, UKW sepertinya menjadi momok baru di kalangan wartawan. Ada ketakutan tidak lulus saat mengikuti UKW. Saya pun semula berpikir begitu. Kenapa? Karena UKW dibuat untuk menentukan apakah seorang wartawan itu memenuhi standar kompetensinya atau tidak.

Jika tidak lulus, dia tidak pantas menyandang profesi jurnalistik. Jadi, kalau wartawan profesional saja punya ketakutan untuk mengikuti UKW, bagaimana bagi “wartawan yang abal-abal” (meminjam istilah mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan)?

UKW merupakan turunan dari Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang ditandatangani oleh organisasi profesi wartawan resmi nasional seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pada Hari Pers Nasional tahun 2010, dibuatlah Piagam Palembang yang ditandatangani 19 kelompok perusahaan pers. Selain SKW, ada Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, dan Kode Etik Jurnalistik yang juga turut ditandatangani.

Bagi si wartawan, UKW adalah bagian dari upaya sistematis dan terukur untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme, dan menjaga kehormatan profesinya. Wartawan juga bisa mengukur kemampuan dan pengetahuannya untuk menegaskan posisinya dalam perusahaan.

Sebaliknya, bagi perusahaan pers, standar itu bisa digunakan untuk mengevaluasi kinerja wartawan disesuaikan dengan jenjang kompetensi yang dimiliki. Standar ini juga bisa digunakan untuk merekrut wartawan yang diinginkan.

Standar kompetensi diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Menurut Dewan Pers, kompetensi wartawan digunakan masyarakat sebagai kontrol terhadap pers. Kalau ada wartawan yang menjalankan profesinya tapi tidak memiliki SKW, masyarakat bisa menolaknya.

Hak-hak masyarakat terhadap pers inilah yang harus terus disosialisasikan, baik oleh Dewan Pers maupun para pelaku jurnalistik. Terkadang, kebebasan pers yang tanpa batas merugikan banyak pihak, termasuk kalangan pers sendiri. Makanya, perlu ada keinginan melibatkan masyarakat sebagai “pengontrol” pers agar tidak melenceng dari kode etik maupun Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Nah, UKW merupakan sebuah keharusan yang ditetapkan Dewan Pers bagi setiap wartawan di Indonesia. Melalui UKW, tidak ada lagi istilah “wartawan bodreks” atau “wartawan abal-abal” yang bikin pusing narasumber dengan kegiatan sok jurnalistik, namun hasilnya tidak pernah dimuat di surat kabar.

Dewan Pers telah menetapkan, seluruh wartawan Indonesia haruslah lulus UKW yang diselenggarakan oleh Dewan Pers. Lembaga ini hanya mengizinkan beberapa lembaga untuk menguji, di antaranya Jawa Pos, PWI, AJI, hingga Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS).

Setelah lulus UKW, setiap wartawan dibekali kartu kompetensi dengan nomor tertentu sesuai tingkatan masing-masing. Tujuannya, setiap narasumber yang dihubungi wartawan, berhak menanyakan kartu kompetensi ini. Bahkan Dewan Pers mengimbau, narasumber tidak lagi melayani wartawan yang tidak memiliki kartu kompetensi.

Uji kompetensi terbagi dalam tiga golongan, yakni Wartawan Muda, Wartawan Madya, dan Wartawan Utama. Golongan wartawan muda diperuntukkan bagi para wartawan yang berstatus reporter di perusahaan tempatnya bekerja.

Golongan madya untuk wartawan yang sudah menduduki jabatan redaktur. Sedangkan wartawan utama untuk para wartawan yang sudah menduduki jabatan sekurang-kurangnya redaktur pelaksana atau bahkan pemimpin redaksi.

Lalu, apa yang harus dimiliki oleh seorang wartawan untuk dapat mengikuti UKW? Pertama kesadaran (awareness) yang mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi.

Kemudian, pengetahuan (knowledge). Ini mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus.

Berikutnya, keterampilan (skills) yang mencakup kegiatan 6M, yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, serta melakukan riset atau investigasi, analisis atau prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi.

Batam Pos pun konsisten untuk mengirimkan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki untuk mengikuti UKW. Baik yang masih aktif mengabdi, maupun sudah tidak bergabung lagi. Tahun ini, Batam Pos kembali memberangkatkan seluruh wartawan.

Manajemen pun berkomitmen untuk meluluskan wartawan dalam setiap UKW. Tujuannya jelas, untuk memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat. (*)

 

Guntur Marchista Sunan
General Manager Batam Pos

Update