Rabu, 24 April 2024

Kaum Gay Dominan, Penderita HIV/AIDS Batam Tembus 8.101 Orang, 698 Meninggal

Berita Terkait

ilustrasi

batampos.co.id – Kasus HIV/AIDS di Batam kian mengkhawatirkan. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Yang mencengangkan, penderitanya didominasi para pria penyuka sesama jenis alias gay. Celakanya, bak fenomena gunung es, jumlah kasus yang sesungguhnya dipastikan jauh lebih besar dari data yang ada.

PRIA itu bergegas masuk ke lift di sebuah tempat hiburan malam di Batam, beberapa waktu lalu. Ia datang memenuhi undangan temannya seorang pebisnis tajir di Batam yang merayakan ulang tahun.

Jemarinya menekan angka di dinding lift sesuai lantai yang akan ia tuju. Pandangannya lalu fokus ke layar sentuh ponsel pintarnya. Melayani percakapan grup media sosial yang ia ikuti.

Dalam hitungan detik, lift berhenti. Ia berjalan keluar dan menuju sebuah ruangan sambil terus memandangi layar ponselnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti, pandangannya menyapu seisi ruangan. Ia kaget karena seisi ruangan isinya semua pria.

Sontak ia balik kanan dan langsung mengubungi temannya yang akan merayakan ulang tahun itu. “Ruangannya yang mana? Kok isinya laki-laki semua,” ujarnya saat menghubungi temannya.

Dari percakapan telepon itu, ia mendapat penjelasan kalau ia salah ruangan. “Rupanya ruangan yang saya masuki tadi lagi ada acara gay, kaget benar saya,” ujar pria berinisial RS ini.

Warga Legenda, Batamcenter, ini mengaku tidak terlalu alergi dengan kaum gay. Namun ia mengaku khawatir karena keberadaan mereka kerap mendatangkan pengaruh negatif bagi lingkungannya.

RS mengaku, ada beberapa temannya yang sebenarnya normal tapi akhirnya menjadi penyuka sejenis karena dipengaruhi gay di sekitarnya. Tak hanya itu, para pria yang sudah beristri dan memiliki anak, juga bisa terseret ke dalam lingkaran homoseksual itu.

“Ada yang sudah ketahuan istrinya, dikira selingkuhannya perempuan, pas dilabrak ternyata laki-laki,” ujarnya.

Yang tak kalah memprihatinkan adalah, perilaku sodom ini di Batam ternyata penyumbang angka besar penularan HIV-AIDS. Dinas Kesehatan Kota Batam mencatat, jumlah gay yang memeriksakan diri ke klinik Voluntary Counseling Test (VCT) di Batam tahun 2016 ada 386 orang. Dari jumlah itu, 194 orang atau 50 persennya positif HIV.

Jika dibandingkan dengan wanita penjaja seks (WPS) di tahun yang sama, dari 935 orang yang memeriksakan kesehatan, hanya 90 orang positif HIV. Begitupun dengan pasangan risiko tinggi, dari 435 orang yang memeriksakan diri di 2016, hanya 89 yang positif HIV.

Bandingkan juga dengan pelanggan pekerja seks (PPS) dari 820 orang yang mengikuti pemeriksaan, hanya 170 orang positif HIV. Kalangan lain-lain dari 7.179 orang, positif HIV hanya 127 orang. Masih lebih tinggi yang positif HIV dari kalangan gay.

Begitupun jika dibandingkan dengan kalangan waria. Dari 386 yang tes kesehatan di 2016, ada 16 orang yang positif HIV. Warga binaan pemasyarakatan (WBP) dari 557 yang ikut tes, hanya 9 yang positif HIV.

Pengguna narkoba lewat jarum suntik (Injecting Drug User/IDU) yang terinfeksi HIV malah kecil. Dari 10 orang yang memeriksakan diri hanya satu yang positif HIV.

Kondisi serupa juga terjadi di 2017. Data Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Kota Batam menyebutkan, penularan HIV/AIDS dari kalangan laki-laki penyuka sesama jenis juga mendominasi.

Januari hingga September saja, dari 271 gay yang memeriksakan diri di VCT, baik di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan tingkat pertama dan lanjutan, hampir separoh (129 orang) atau 47,6 persen positif HIV.

Sementara waria yang melakukan tes dari 60 orang, 12 positif HIV. Wanita penjaja seks (PSK) dari 1.280 yang tes, 41 positif HIV. Pelanggan penjaja seks dari 721 yang dites, 91 positif HIV, kalangan lain-lain dari 4.960 yang dites, 52 positif HIV. Pasangan risiko tinggi dari 403 yang diperiksa, 47 positif HIV. Warga binaan pemasyarakatan 71 yang dites, tidak ada yang positif HIV.

“Penularan dari hubungan sesama lelaki memang paling tinggi,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Didi Kusmarjadi, Kamis (30/11).

Angka tersebut masih lebih kecil dari kondisi riil di lapangan. Sebab, masih banyak lelaki suka lelaki yang enggan memeriksakan diri karena takut identitasnya terungkap. Masih banyak juga yang merasa dirinya aman-aman saja, meski pernah melakukan hubungan sesama jenis.

Karenanya, ia meminta masyarakat Batam untuk menjauhi perilaku homoseksual itu. Selain dilarang agama, eprilaku itu juga sangat berisiko pada penularan HIV/AIDS. “Berperilaku normal dan setia pada pasangan sah,” ujar Didi.

Konselor HIV/AIDS yang sudah lebih dari 21 tahun menangani pasien dengan kasus HIV/AIDS (ODHA), dr Francisca L Tanzil, juga membenarkan kalau tren penularan HIV/AIDS beberapa tahun terakhir lebih banyak pada lelaki penyuka sesama lelaki.

“ODHA di Batam saat ini memang mayoritas dari kalangan gay, menyusul ibu rumah tangga, lalu anak di bawah umur,” ungkap dokter yang akrab disapa Sisca, saat ditemui di Klinik Konseling dan Testing HIV Kasper, Pavilium Anyelir, Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) Batam, Kamis (30/11) pekan lalu.

Dalam hal penularan, meski perempuan lebih rentan dari laki-laki karena posisi dan bentuk dari anatomi kelamin, namun di Batam, banyak temuan kasus-kasus ODHA karena hubungan sesama jenis, termasuk biseksual.

Dalam dunia gay, berdasarkan pengakuan para pasiennya, dokter Sisca mengungkapkan, pasangan sesama laki-laki ini ada yang berperan sebagai laki-laki dan perempuan. Umumnya yang berperan perempuannya (bottom) yang paling rentan terkena penularan HIV/AIDS.

“Kan mereka yang disodomi. Itu rentan tertular,” ungkapnya lagi.

Meski begitu, dua-duanya dari pasangan tersebut bisa terkena karena peran yang bergantian dan gonta-ganti pasangan antar sesama gay.

Umumnya yang konseling ada anggota polisi, TNI, pegawai bank, dan berbagai latarbelakang profesi. Namun paling banyak dari tempat-tempat pusat kebugaran (fitnes). Tak sedikit juga yang sudah menikah dan punya anak. Namun identitas pribadi mereka tetap wajib dirahasiakan.

Dokter Sisca juga menyebutkan, makin lama warga Batam yang datang konseling makin banyak. Selain karena informasi yang sudah makin banyak dan gampang diakses di internet, kesadaran masyarakat yang rentan juga makin tinggi untuk memeriksakan diri dan konseling.

“Bulan ini banyak banget. Rata-rata 30-40 pasien baru per bulan. Ini hanya yang memeriksakan diri di RSBK saja ya, belum di tempat lain,” ujar dokter Sisca.

Ia pun menunjukkan data selama 10 bulan terakhir. Jumlah warga Batam yang konseling ke RSBK sebanyak 4.145 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.123 orang di antaranya mengikuti rapid test atau test diagnosa cepat melalui pengecekan darah untuk mengetahui positif atau negatif HIV/AIDS.

Dari 4.123 orang yang tes darah tersebut, sebanyak 294 orang dinyatakan positif HIV. “Paling banyak laki-laki, 182 orang, sisanya 103 perempuan,” sebut Sisca.

Mirisnya, dari 294 pasien positif HIV tersebut, sembilan di antaranya masih di bawah usia 14 tahun dan sudah tahap AIDS.

“Masih di bawah umur dan usia sekolah sudah tahap AIDS. Miris banget,” ujarnya.

Khusus penderita yang sudah sampai tahap AIDS saat ini tercatat 250 pasien. Rinciannya, 175 laki-laki dan 66 perempuan serta sembilan anak di bawah umur.

“Khusus anak di bawah umur ini, ada yang masih SMP dan rata-rata karena seks bebas bukan karena turunan dari orangtua. Penderita SMP ini semua warga Batam. Dia pasien lanjutan kami,” jelas Sisca.

Usia pelajar di Batam memang rentan terkena penularan HIV/AIDS. Perkembangan teknologi informasi yang tak bisa dan tak mungkin dibendung membuat usia pelajar makin melek teknologi dan terhubung dunia luar yang seolah tanpa batas lagi.

“Usia-usia sekolah itu kan upaya pencarian jati diri, menjadi lebih dominan mengikut arus,” kata dokter Sisca.

Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pengawasan orangtua dan pihak sekolah, sehingga makin banyak anak usia bawah umur terjun ke pergaulan bebas dan narkoba.

“Tahun ini saja ada tiga laki-laki dan lima perempuan usia sekolah yang sudah terkena AIDS, bukan cuma terkena virus lagi,” jelas Sisca panjang lebar.

Selain itu, ada juga beberapa anak di bawah umur yang jadi korban perdagangan manusia. “Baru menstruasi sudah disuruh melayani di lokalisasi. Ini ada beberapa kasus,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ibu hamil juga rentan terkena HIV/AIDS ini. Dari data yang didapat, per Januari-Oktober tahun ini, dari 1.438 ibu hamil yang konseling dan test HIV, ada 17 yang positif HIV dan 15 orang AIDS. Sementara ada 19 bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.

“Persentasenya sudah 1,18 persen. Jumlah ini sudah masuk kategori tinggi dari jumlah populasi masyarakat umum,” jelas Sisca.

Sementara itu, dilihat dari usia, penderita HIV/AIDS di Batam, didominasi usia produktif. Data Dinas Kesehatan Kota Batam menyebutkan, pada 2016 sebanyak ada 694 positif HIV, 304 AIDS, dan 82 orang meninggal dunia.

Dari 694 positif HIV, sebanyak 549 positif HIV berusia 25-49 tahun. Menyusul usia 20-24 tahun sebanyak 76 orang. Usia 15-19 tahun 5 orang. Usia 5-14 tahun empat orang, kurang dari 4 tahun 20 orang, dan di atas 50 tahun 40 orang.

Sedangkan di 2017 dari Januari-September, penderita HIV 423 orang, AIDS 259 orang, meninggal dunia 36 orang. Dari 259 yang sampai tahap AIDS, ada 215 orang masuk kategori usia produktif dengan rentang usia 25-49 tahun. Kemudian 16 orang usia 20-24 tahun. Usia 5-14 tahun ada 9 orang, kurang dari 4 tahun 4 orang, dan di atas 50 tahun 16 orang.

Data tersebut masih lebih kecil dari data yang sesunguhnya. Sebab, masih ada beberapa VCT, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan yang belum menyerahkan data terbaru. Bahkan, yang tidak memeriksakan diri diperkirakan jauh lebih banyak lagi.

Secara keseluruhan, penderita HIV/AIDS di Kota Batam dari tahun 1992-Juni 2017 mencapai 8.101 orang. Rinciannya, 5.303 HIV, 2.100 AIDS, dan 698 meninggal dunia


***

Berbagai upaya pencegahan HIV/AIDS dilakukan Dinas Kesehatan Kota Batam. Mulai dari penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat umum, anak sekolah, hingga ke perusahaan-perusahaan. Termasuk pekerja pelabuhan dengan kerja sama dan dikoordinir Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Batam yang diketuai Wali Kota Batam, Muhammad Rudi.

Khusus anak remaja di Batam telah dibentuk oleh KPA Young Care about AIDS (YCAA ). Anggotanya hampir semua ketua OSIS se-Kota Batam.

Upaya pencegahan juga dibantu oleh penyuluhan dan penjangkauan oleh masyarakat yang peduli pada kasus HIV Kota Batam. Antara lain forum masyarakat peduli HIV Batam (FOMPAB), Forum warga peduli HIV Batam (Forwaphi). Keduanya di-SK-kan Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam dan juga menjadi anggota KPA BATAM.

Khusus untuk penyuluhan dan penjangkauan LSL (lelaki suka lelaki/gay/homo), Dinkes Kota Batam bersama KPA melibatkan sejumlah pihak. Antara lain Yayasan Embun Pelangi, Gaya Batam, dan HIWABA.

“Biaya Obat ARV baik pasien umum maupun BPJS sepenuhnya ditanggung oleh Kemenkes,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Didi Kusmarjadi.

Obat ARV ini disalurkan melalui Instalasi Farmasi Kota Batam. Namun ia mengakui sering terjadi masalah bila pasien BPJS Kesehatan mengambil obat. BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya konsul dokter spesialis. Sedangkan sebelum mengambil obat perbulan, pasien wajib menemui dokter spesialis untuk mendapatkan resep dokter.

Didi juga menjelaskan, biaya rumah sakit (Faskes lanjutan) yang ada pengobatan ARV berbeda-beda. Ada di RS Budi kemuliaan, RS Elisabeth, dan RSUD Embung Fatimah. “Kalau di PKM Lubukbaja sepenuhnya gratis,” kata Didi.

Saat ini Puskesmas Lubukbaja bekerja sama dengan Yayasan Kasih Suwitno dan Yayasan Embun Pelangi mendorong pemeriksaan LSL (gay) dengan menambah jam layanan khusus LSL di PKM lubukbaja menjadi 12 jam per minggu.

Khusus pengidap HIV/AIDS dari kalangan PNS, Didi mengatakan, tidak ada data khusus berapa jumlahnya. Namun, jika melihat data Sistem Informasi HIV/AIDS berdasarkan kelompok pekerjaan, nomor dua terbanyak adalah ibu rumah tangga.

“PNS, TNI, Polri hanya 15 orang tahun 2016 dan 7 orang pada 2017,” sebutnya.

Konselor HIV/AIDS RSBK Batam, dr Francisca L Tanzil, menyebutkan jumlah penderita AIDS yang meninggal di RSBK sepanjang 2017 berjalan sebanyak 31 orang. Laki-laki 19 orang dan 12 perempuan. Satu di antaranya perempuan di bawah usia 14 tahun.

Kini, ada beberapa jenis obat yang sudah bisa menangkal pertumbuhan virus HIV di dalam tubuh, yakni Aluvia 200 gram, Efavirenz, Lamivudine, dan Tenofoir.

Khusus pasien dengan HIV positif awal atau lini 1, umumnya dokter akan menganjurkan Lamivudine dan Zidovudine, atau nevirapine dan juga 3 in 1 obat gabungan dari efavirenz, lamivudine, dan tenofoir.

Jika pasien sudah tak mempan atau resisten dengan obat tersebut, biasanya akan diberikan Aluvia, Tenofoir Disoproxil, dan Fumarate. “Obat ini tidak dijual bebas di apotek. Hanya didapatkan di tempat khusus,” jelas Sisca.

Dokter Sisca sendiri terjun ke penanganan HIV/AIDS sejak 1996. Kala itu, ia menjadi Kepala Puskesmas Kecamatan Belakangpadang. Hobi penelitian kesehatan dan saat itu tengah meneliti kasus Hepatitis B, ia berkenalan dengan pemilik Yayasan dan RSBK Sri Soedarsono. Ia kemudian diajak bekerjasama untuk penanggulangan AIDS dengan Utrecht University Belanda.

Tak lagi menjadi Kepala Puskesmas Belakangpadang, ia pun bergabung dengan RSBK dan concern melayani di lokalisasi Samyong di Bukit Girang Batuampar sebelum akhirnya dipindah ke lokalisasi Sintai di Tanjunguncang.

Dia menceritakan awal-awal terjunnya ia menjadi konselor. Meski sudah paham secara teori, namun pada praktiknya ia sempat merasa risih dan jijik. Kala itu, ada pasien pria di Samyong, datang konseling karena merasa pernah campur bebas. Pertama datang masih dalam kondisi sehat meskipun ada indikasi HIV. Kedua kalinya, bobot tubuhnya berkurang drastis dan tumbuh candida atau jamur di lidahnya.

“Saya kaget, itu ciri-ciri awal orang sudah terkena AIDS,” ujar Sisca.

Ia pun membuat surat rujukan ke RSBK dengan isi ‘pasien ada indikasi AIDS’. Surat itu dilem dan menyerahkan ke perawat dengan identitas ‘pasien dikasper segera’. Kasper adalah kata sandi pemeriksaan pasien HIV/AIDS oleh RSBK untuk melindungi identitas pasien dari pasien umum lainnya.

“Sehabis itu saya menangis, takut, cuci tangan, dan minta pada suami jangan dekat-dekat saya selama tiga bulan. Apalagi saat itu saya lagi hamil besar anak kedua,” ceritanya.

Sempat ia hampir meninggalkan konselor, namun hatinya meminta ia terus melayani mereka yang terkena HIV dan AIDS. “Sempat ada pertentangan batin, tapi ada kepuasan bisa membantu mereka,” ujarnya.

Tidak Ada Anggaran

Lalu seperti apa dukungan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di Kota Batam? Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Batam, Udin P Sihaloho, yang ditanya hal ini langsung meminta maaf.

“Saya pribadi minta maaf. Ini menjadi kelemahan kami di DPRD Batam yang lalai dan tak pernah sosialisasi penanggulangan HIV sepanjang tahun ini akibat tak dianggarkan padahal fungsi penganggaran ada di kami,” ujarnya.

Pada 2016, pemerintah menganggarkan biaya penanggulangan penyakit menular seksual termasuk AIDS di Batam sebesar Rp 748.950.100. Sejak itu, tak ada lagi anggaran dengan alasan anggaran Pemko Batam defisit.

“Fokusnya Pemko saat ini pembangunan fisik. Secara lembaga kami dukung, tapi harusnya jangan mengesampingkan pembangunan akhlak manusia di kota ini,” ujarnya.

Meskipun tak ada anggaran khusus mengenai penanganan dan sosialisasi pencegahan HIV-AIDS tahun ini, Udin menilai harusnya Pemko Batam melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan tetap mengadakan edukasi lewat anggaran umum mereka.

Dinas Kesehatan (Diskens) Kota Batam, misalnya. Anggaran 2017 sebesar Rp154,3 miliar. Jumlah itu di luar anggaran RSUD sebesar Rp 98,877 miliar. “Harusnya bisa digunakan dari dana itu,” ujarnya.

Sedangkan 2018 mendatang, Dinkes memiliki anggaran sebesar Rp 133,1 miliar dan RSUD sebesar Rp 96,3 miliar. Sedangkan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) hanya Rp 280 juta. Jauh menurun dari 2016.

“Meskipun terjadi penurunan, mohon disisihkan dana dari situ untuk sosialisasi kesehatan khususnya pencegahan HIV-AIDS ini,” jelasnya.

Bukan hanya anggaran cekak untuk pencegahan HIV/AIDS di Batam, ternyata Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Wali Kota Batam tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Batam juga belum ada. Padahal, regulasi di atasnya mewajibkan.

Saat ini hanya ada SK Nomor 187 tentang Pembentukan Tim Pengawas Pemeriksa Berkala dan Penggunaan Kondom. Kemudian SK Nomor 40 tentang Tim PMTS Paripurna. Lalu SK 89 tahun 2015 tentang Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Batam. (cha/nur/yuli)

Update