Selasa, 23 April 2024

Fluktuasi Rupiah sampai Maret

Berita Terkait

Ilustrasi

batampos.co.id – Rupiah diperkirakan masih mengalami guncangan hingga Federal Open Market Committee (FOMC) memutuskan suku bunga acuannya. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan rupiah bertengger di level Rp 13.650 per dolar AS (USD), Selasa (27/2). Angka tersebut menguat 0,06 persen dari perdagangan hari sebelumnya (26/2).

Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengatakan, secara year to date (ytd) volatilitas rupiah sepanjang 2018 berjalan 7–8 persen. Menurut dia, volatilitas itu masih wajar.

Faktor eksternal seperti membaiknya perekonomian AS serta kebijakan perpajakan di sana membuat mata uang USD menguat. ”Di AS ada tax policy yang memungkinkan pembiayaan dari fiskalnya harus ada pendanaan dan itu membuat banyak penerbitan surat utang dari sana. Hal tersebut membawa US treasury yield naik sampai di kisaran 3 persen,” ujarnya di sela-sela konferensi New Growth Models in A Changing Global Landscape di Jakarta kemarin.

Naiknya yield atau imbal hasil surat utang AS itu berpotensi membuat dana-dana asing di Indonesia kembali ke AS. Belum lagi risiko dari Fed fund rate yang saat ini sebesar 1,25–1,5 persen. Dikabarkan bakal naik hingga tiga, bahkan empat kali, dalam setahun.

Menurut Agus, setelah FOMC menggelar rapat pada minggu ke-3 Maret mendatang, barulah rupiah kembali stabil. ”Tapi, sekarang di Februari sampai minggu ke-3 Maret masih akan ada volatilitas. Menjelang Maret, Juni, dan Desember pasti akan ada volatilitas,” lanjut Agus.

Meski cenderung volatil, dia menilai selama tiga tahun terakhir likuiditas pasar keuangan Indonesia cukup baik. Cadangan devisa Indonesia juga meningkat dari USD 116 miliar pada Januari 2017 menjadi USD 131,98 miliar pada Januari 2018. BI, lanjut Agus, akan selalu hadir di pasar ketika rupiah tidak mencerminkan kondisi fundamentalnya.

Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menguraikan, rupiah pekan ini berpotensi menguat. Sebab, pasar sudah menerima jika seandainya The Fed menaikkan suku bunga acuannya.

Sementara itu, dari dalam negeri, katalis yang ditunggu, antara lain, data inflasi dan defisit transaksi berjalan karena pasar menunggu data perbaikan ekspor Indonesia.

Dalam jangka panjang, menurut Reza, rupiah termasuk soft currency yang posisinya rentan goyah ketika ada sentimen di pasar. ”Tugas pemerintah, terutama BI, adalah membuat rupiah menjadi hard currency seperti dolar AS, yen, euro, dan yuan. Dulu siapa yang tertarik sama yuan? Tetapi, dengan ekonomi Tiongkok yang terus maju, pamor yuan jadi naik,” ujar Reza.

Jika pemerintah bisa membawa perekonomian Indonesia jadi lebih baik seperti Tiongkok, kata Reza, bukan tidak mungkin rupiah juga akan menjadi hard currency dan lebih stabil. (rin/c25/sof/jpg)

Update