Kamis, 28 Maret 2024

Marvel Gracia, Tariannya Mendapat Penghargaan Kekayaan Intelektual

Berita Terkait

Marvel Gracia bersama kedua orang tuanya. (JAWA POS PHOTO)

DUA tangan bocah laki-laki itu membentang panjang seperti sayap. Jemarinya seolah siap-siap mencengkeram mangsa. Kakinya berjingkat-jingkat.

Dengan mata melotot, dia lalu dengan lincah berputar-putar. Melenggok ke kiri dan kanan. Lantas, mengangkat salah satu kaki dengan tangan kiri tetap membentang dan tangan kanan ditekuk. Jemari kirinya lalu bergerak ritmis mirip penari Bali.

“Ini bagian dari tari garuda ciptaan saya sendiri,” kata Marvel Gracia, 12, bocah lelaki itu, saat ditemui di Istana Wakil Presiden, Jakarta, kemarin pagi (26/4) .

Tari itulah yang jadi salah satu penyebab bocah kelahiran Solo, Jawa Tengah, 5 November 2006, tersebut diundang ke istana. Dia terpilih sebagai penerima Anugerah Nasional Kekayaan Intelektual untuk kategori siswa inovatif dan kreatif di bidang hak cipta dan hak terkait. Wakil Presiden Jusuf Kalla-lah yang langsung menyerahkannya.

Selain tari garuda, di usia yang belum genap 12 tahun, Marvel telah pula menciptakan tiga tarian lain. Yang sangat khas dan dekat dengan dunianya. Yakni, tari sepeda santai, persahabatan, dan ingin berhujan-hujanan

Undangan pentas pun terus mengalir. Mulai Thailand sampai Korea Selatan. Dan, Juli nanti siswa kelas V SD itu ke Malaysia.

Marvel mulai menciptakan tari di usia sembilan tahun. Atau empat tahun setelah dia pentas untuk kali pertama.

Karya pertamanya pada 2015 itu adalah tari persahabatan Putra bungsu Mugiyono Kasido dan Nuri Aryati tersebut mendapat inspirasi dari pertemanan dengan sahabat sekelasnya di SD Negeri Pucangan II, Kartasura, Sukoharjo, yang bernama Jidan.

Gerakannya berupa rangkulan, mengajak bermain bersama, hingga pinjam uang. Saat memperagakan beberapa gerakan tari persahabatan itu, Marvel tampak mengombinasikannya dengan gerakan seperti tari Bali. “Karena saya sudah belajar dasar-dasar tari Bali,” ungkap dia.

Tarian selama tujuh menit yang bisa dibawakan tiga orang itu pernah dipentaskan saat Internasional Rain Festival di Solo. Selain dari Indonesia, saat itu hadir seniman dari berbagai negara. Di antaranya, Jepang dan Korea Selatan.

Bakat menari Marvel menurun dari ayahnya, Mugiyono. Pria kelahiran Klaten, 3 Desember 1967, itu juga mewarisi darah seni dari orang tuanya yang merupakan dalang.

Mugiyono sudah malang melintang di dunia seni pertunjukan tari. Karya-karyanya dipentaskan di sejumlah festival internasional. Misalnya, Lincoln Center Festival (Amerika Serikat), Kunsten Festival des Arts (Belgia), Goteborg Festival (Swedia), dan Adelaide Festival (Australia).

Juga, di Hong Kong Arts Festival, In Transit Festival (Jerman), Dancas na Cidade (Portugal), serta Asian Contemporary Dance Now (Jepang). Namanya juga tercetak di Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) sebagai penari Bima Suci terlama selama 36 jam nonstop di TMII Jakarta pada 2011.

“Tapi, yang saya kagum dari Marvel, dia itu berani meminta,” ujar Mugi.

Marvel meminta dilibatkan saat Mugi sedang menggarap kolaborasi untuk sebuah pertunjukan di Korea Selatan pada 2011. Ketika usianya masih lima tahun.

“Saya akhirnya tanya teman-teman dulu karena penampilan itu tidak boleh sembarangan. Marvel akhirnya boleh ikut, tapi harus latihan,” ungkap dia.

Latihan pun digelar dua pekan di Indonesia dan dua pekan di Korea. Mereka berkolaborasi dengan penari Thailand berna­ma Thitipol Kanteewong dan penari Korea Woo Min-young. “Saya jadi anak bapak yang dikejar-kejar Buto Ijo, raksasa. Lalu, saya keliling lari,” kata Marvel tentang pentas pertamanya tersebut.

Pada 2016 dia menciptakan karya kedua, ingin berhujan-hujanan. Tarian itu diinspirasi dari aktivitasnya bersama dua ka­kak laki-lakinya yang sering main hujan.

Gerakannya riang gembira. Menggambarkan kegembiraan anak kecil yang bermain hujan. “Saya bikinnya sepekan. Tariannya itu sembilan menit,” katanya.

Sementara itu, tari sepeda santai diciptakan tahun lalu. Sebagaimana dua tarian sebelumnya, sepeda santai tak lepas dari keseharian Marvel yang doyan main sepeda dengan teman-teman sebaya.

“Ada (gerakan) naik sepeda, turun dari sepeda, lalu minum, dan kipas-kipas dengan topi,” ujar Marvel tentang tari yang bisa dimainkan lima orang itu.

Menurut Nuri, sang ibu, bakat menari Marvel sudah terlihat jauh sebelum dia ikut pentas ayahnya di Korsel itu. Suatu hari, di usia yang masih dua tahun, Marvel menari sekitar 15 menit di gang dekat rumah mereka.

Para tetangga pun kagum dengan penampilan itu. “Pada akhir tarianya itu dia tak lupa memberikan hormat,” kata Nuri.

Marvel yang menyukai tarian kontemporer itu juga ikut latihan menari di sekolah. Namun, berkali-kali mengeluh. “Katanya capek. Tapi, kalau latihan sendiri, sejam dua jam happy aja,” ujar Nuri yang merangkap jadi manajer di Mugidance, sanggar tari yang didirikan sang suami, itu.

Seiring bertambahnya usia, kemampuan dan daya imajinasi Marvel semakin terasah. Itu tergambar dari tari garuda, karyanya paling mutakhir, yang lebih kompleks secara gerakan dan pesan yang terkandung.

Inspirasinya datang dari pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) tentang kebinekaan. Tarianya memadukan gerakan split, kayang, dan handstand.

“Saya melihat gambar burung garuda yang menempel di dinding kelas. Lalu, gambar itu seolah mengajak saya bicara dan dia ingin hidup dalam diri saya.”

Tarian itu dimulai dari puisi yang dia ciptakan sendiri dengan judul sama: Garuda. “Garuda. Impian garuda terbang tinggi di langit Indonesia gagah perkasa/sayapmu yang membentang dari Sabang sampai Merauke/Kaulah yang memeluk Bhinneka Tunggal Ika,” katanya membacakan nukilan puisinya.

Gerakan-gerakan tari garuda memvisualisasikan puisi itu. Seperti tangan yang membentang untuk melambangkan terbang. Dan, jemari yang seolah mencengkeram adalah representasi garuda yang memeluk Bhinneka Tunggal Ika.

Puisi dengan tarian itu pun mejadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Belum lagi kostum yang serasi dengan tema tarian tersebut. “Saya seperti menari bareng garuda,” ujar Marvel berfilosofi.

Menurut Mugi, Marvel berhasil meraih capaian sejauh ini karena melakukannya dengan sepenuh hati. Karena dia menyukai puisi. Sebagai ayah, Mugi hanya memupuk bakat menari Marvel yang telah muncul. Tanpa paksaan.

“Kalau sebelumnya Marvel saya ajak berkolaborasi, Juli nanti dia akan diundang sendiri ke Malaysia,” ungkap Mugi.

Marvel pun sudah bertekad untuk terus meniti jalan tari. Seperti ayahnya. “Saya ingin pentas keliling dunia, ke Brasil, Amerika, Argentina. Biar kesenian dan budaya Indonesia makin dikenal luas.” (*/c10/ttg)

Update