Sabtu, 20 April 2024

TKA Tiongkok di Indonesia Jadi Buruh Kasar

Berita Terkait

batampos.co.id – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan investigasi keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Hasilnya, pekerja asing, khususnya dari Tiongkok, masuk ke Indonesia setiap hari. Yang lebih mengejutkan, TKA tersebut didominasi buruh kasar.

“Khususnya TKA dari Tiongkok deras sekali tiap hari masuk ke negara ini. Sebagian besar mereka unskill labor,” kata Komisioner Ombudsman RI Laode Ida dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman RI di Jakarta, Kamis (26/4).

Laode mengungkapkan bahwa temuan ORI menunjukan masih banyak yang tidak peduli terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Baik TKA maupun perusahaan yang mempekerjakan mereka. Lebih dari itu, Laode juga merasa heran lantaran masih banyak TKA menjadi buruh kasar yang mestinya bisa diserahkan kepada WNI.

Selain menjadi buruh kasara, Laode menyebut banyak TKA asal Tiongkok yang bekerja di posisi yang mestinya bisa dikerjakan WNI. Misalnya posisi sopir. Hasil kajian dan investigasi ORI, sedikitnya 200 TKA bekerja sebagai sopir di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut Laode, pekerjaan itu seharusnya bisa diberikan kepada WNI. Sebab, pekerjaan itu tidak masuk dalam skema transfer teknologi maupun transfer kemampuan.

”Masa sih nggak ada orang Indonesia bisa jadi sopir,” kata dia.

Lebih lanjut, Laode menyampaikan bahwa sampai kemarin pagi penerbangan dari Cengkareng ke Kendari, Sulawesi Tengara, masih di dominasi oleh TKA. ”Masih tetap arusnya sekitar 70 persen sampai 80 persen,” tegasnya.

Selain di Sulawesi Tenggara, investigasi keberadaan TKA asal Tiongkok ini juga digelar ORI di enam provinsi lainnya. Yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau (Kepri).

Hasilnya, ORI menyebut persentase pekerja kasar dari TKA mencapi 90 persen. Padahal, sambung dia, yang dibutuhkan lebih banyak untuk alih teknologi bukan dari pekerjaan non skill.

Laode menjelaskan, dari investigasi dilakukan pada Juni-Desember 2017 itu Ombudsman RI juga menemukan persoalan di setiap tataran. Mulai penempatan, pengawasan, sampai penindakan. Meski banyak kementerian dan lembaga punya tanggung jawab terhadap TKA, ORI memandang bahwa mereka belum selaras.

”Belum ada integrasi data antara kementerian, lembaga, dan pemda,” ungkap dia Kamis (26/4).

Laode menuturkan, TKA sangat sulit terdeteksi setelah mereka melalui pintu masuk pertama di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigarsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). ”Karena ketentuan yang berlaku, deteksi terhadap orang asing itu hanya dilakukan di pintu masuk Indonesia,” imbuhnya.

Setelah itu, TKA sulit dijangkau. ”Tidak ada yang bisa deteksi, termasuk polisi,” kata Laode.

ilustrasi

Tentu saja dia tidak sembarangan bertutur. Tim ORI yang turun ke lapangan untuk mengkaji dan menginvestigasi TKA sempat kesulitan mengakses data yang mereka butuhkan. Bahkan, sekedar melihat paspor pun ada yang ditolak keras.

Karena itu, Laode tidak heran ketika mendapati TKA tetap bisa bekerja meski melanggar aturan dan ketentuan. Misalnya memanfaatkan visa turis. ”Itu juga kelemahan,” ujarnya. Menurut dia, persoalan itu semakin banyak muncul pascakebijakan bebas visa yang diatur dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2016 terbit.

Berdasar temuan itu, ORI kemudian menyarankan agar Kemenkumham tidak mengesampingkan usul evaluasi kebijakan bebas visa. Sebab, secara langsung turut dijadikan jalan oleh oknum TKA untuk menerabas aturan dan ketentuan yang berlaku. Dampaknya, kata Laode, jelas sangat merugikan bagi pemerintah maupun masyarakat.

Tidak hanya itu, persoalan itu turut mengacaukan data TKA milik sejumlah kementerian dan lembaga. Misalnya Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing  atau IMTA. Laode menyebutkan bahwa data terakhir yang diperoleh ORI dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tahun lalu sebanyak 21.271. Namun angka yang berhasil ditemukan ORI jauh di atas itu.

Data yang dikumpulkan ORI dari 34 provinsi di tanah air, tidak kurang 83.660 jiwa TKA bekerja di Indonesia. Itu pun bukan data terbaru. Melaikan data yang mereka kumpulkan sejak 2014 sampai akhir tahun lalu.

”Yang terjadi di lapangan pembengkakan (TKA),” kata Laode. Kondisi itu tegas menunjukan telah terjadi pelanggaran. Juga menegaskan bahwa pemerintah kecolongan.

Untuk itu, ORI meminta Kementerian Tenaga Kerja (Kemanaker) memastikan tidak ada lagi TKA yang bekerja sebagai tenaga kerja kasar. Apalagi setelah Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing terbit.

Berkaitan dengan hal itu, Direktur Bina Penegakan Hukum Kemenaker Iswandi Hari menyampaikan bahwa tidak ada yang perlu mengkhawatirkan hal tersebut.

Iswandi menjamin, instansinya akan menindaklanjuti hasil kajian dan investigasi ORI. Termasuk di antaranya soal penempatan TKA. Dia meminta semua pihak tenang. Sebab, Kemanaker tidak akan menempatkan TKA pada posisi yang bisa diisi oleh tenaga kerja lokal.

”Sehingga memang teman-teman tidak usah khawatir dengan Perpres yang baru,” ucap dia.

Instansinya memberi jaminan sesuai ketentuan dalam pasal 4 pada BAB II dalam perpres tersebut. Dia pun menyampaikan, Perpres itu pada prinsipnya hanya memangkas prosedur yang rumit berkaitan dengan penggunaan TKA. Namun demikian, itu tidak lantas membuat Kemenaker mengindahkan aturan yang ada. Sayangnya, hasil temua ORI berkata sebaliknya.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menuturkan bahwa keberadaan TKA Indonesia, termasuk yang berada di wilayah Sulawesi, ditujukan untuk pembangunan smelter. Karena di daerah tersebut adalah kawasan pertambangan yang membutuhkan investasi dari luar negeri.

”Jadi perusahaan-perusahaan yang masuk banyak investasi-investasi yang masuk mengatakan dengan turn key project. Turn key project itu adalah dia meminta ada tenaga kerja yang tentu harus dengan izin,” ujar Yasonna usai peringatan hari Hak Kekayaan Intelektual di Istana Wakil Presiden, kemarin.

Dia mengungkapkan bahwa TKA itu pun meminta rekomendasi dari Kemenaker yang berkaitan profil para pekerja. Jumlah TKA yang dipekerjakan juga diteliti terlebih dahulu. ”Nanti baru kita terbitkan visanya,” jelas dia.

Selama ini ada anggapan seolah TKA itu mengambil pekerjaan tenaga kerja lokal. Dia menganggap bahwa persepsi tersebut keliru. Yang sebenarnya, pada saat para investor itu datang membawa persyaratan dengan memasukkan tenaga kerja mereka agar pembangunan bisa lebih cepat.

Sebab, mereka dinilai sudah menguasai dan terlatih dengan teknologi pembangunan. Misalnya di sektor pembangunan smleter. ”Dan setelah mereka pergi itu kan tinggal di Indonesia. Ya nanti yang mengisi pekerjaan-pekerjaan labor dan lain-lain itu kan kita,” imbuh Yasonna.

Dia menyampaikan, Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan bahwa tahun depan akan lebih fokus pada pengembangan sumber daya manusia. Sedangkan pada tahun ini memang ditekankan pada investasi dan infrastruktur.

”Nanti ada vocational training, membuat ahli-ahli, ahli bata, ahli las, ahli apa aja. untuk supaya investasi-investasi yang masuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang sudah kita datangkan itu,” tegas dia. (jun/syn/JPG)

Update