Jumat, 19 April 2024

Penetapan Upah Buruh Diminta Tak Memberatkan Pengusaha

Berita Terkait

Pekerja galangan kapal.
foto: dalil harahap / batampos

batampos.co.id – Pengusaha di Batam meminta Pemerintah Provinsi Kepri bijak dalam menetapkan besaran upah minimum sektoral (UMS) Batam tahun 2018. Sebab upah buruh yang tinggi dinilai dapat mengganggu dunia investasi dan menurunkan daya saing Batam di mata investor.

“Kalau benar-benar ingin Batam maju dan ekonominya tumbuh tujuh persen pada tahun 2019, mari bersama-sama menjaga iklim investasi yang kondusif di Batam,” kata Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri, Oka Simatupang, Senin (30/4) di Wisma Batamindo.

Ia menyebut penyebab mengapa banyak perusahaan hengkang dari Batam adalah karena iklim investasi yang tidak kondusif lagi. “Penyebabnya adalah adanya demo-demo dari rekan-rekan serikat yang mendesak kenaikan upah sekitar 45 persen pada tahun 2013 lalu dari Rp 1.402.000 menjadi Rp 2.040.000,” katanya.

Meski sudah memegang regulasi yang jelas seperti yang tertuang dalam PP 78/2015 tentang Pengupahan, tetap saja terjadi kekisruhan terutama soal penetapan UMS Batam tahun ini.

Sementara sejumlah negara tetangga seperti Vietnam, Laos, Myanmar, Filipina, Kamboja, dan Malaysia sedang gencar-gencarnya membuka kawasan industri dengan menawarkan insentif menarik.

“Insentifnya tiap tahun makin menarik dan investor asing juga senang bahwa di negara-negara tersebut tidak membenarkan adanya aksi demo,” paparnya.

Dan terkait upah, tentu saja lebih kompetitif dibanding dengan upah di Batam saat ini yang mencapai Rp 3.523.427. Misalnya di Laos sebesar Rp 2.000.000 atau 1,2 Juta Kip. Di Vietnam sebesar Rp 2.415.000 atau 3.980.000 Dong. Di Myanmar sebesar Rp 1.500.000 atau 144 Kyat. Di Filipina sebesar Rp 2.500.000 atau 9300 Peso. Di Kamboja sebesar Rp 2.150.000 atau 630.000 Riel.

“Gajinya lebih kompetitif padahal sistem kerja mereka 48 jam/minggu. Sedangkan kita dengan sistem 40 jam/minggu,” ungkapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa perusahaan asing di Batam memiliki pabrik manufaktur yang memproduksi barang sejenis dengan negara-negara saingan lainnya. Artinya, hanya pabrik yang produktif sajalah yang akan dipertahankan atau dikembangkan oleh perusahaan induknya.

Sedangkan pabrik yang tak produktif secara perlahan akan dipindahkan ke negara-negara yang lebih kondusif, aman, dan nyaman untuk berinvestasi.

Senada dengan Oka, akademisi dari Politeknik Batam Muhammad Zaenuddin mengatakan regulasi yang mengatur soal penetapan UMK dan UMS harus dibuat dengan mengakomodir kepentingan kedua belah pihak. Yakni pengusaha dan pekerja. Penetapan upah harusnya tidak memberatkan pengusaha, juga tidak merugikan pekerja.

“Regulasi harus penuh kepastian agar kejadian yang sama tidak terjadi berulang-ulang,” jelasnya.

Masalah perburuhan ini sangat krusial. Zainuddin mengatakan demo menurunkan daya saing Batam. “Kedua belah pihak memiliki pandangan dan survei sendiri-sendiri mengenai jumlah upah yang tepat. Ini yang membuat tidak adanya kepastian,” katanya.

Di satu sisi, pihak pengusaha sedikit dirugikan karena tiap tahun harus selalu melakukan revisi. “Idealnya penetapan upah itu dua tahun sekali agar pengusaha bisa menentukan langkah dengan baik tanpa diganggu persoalan yang sama tiap tahunnya,” ujarnya.

Pemerintah juga tampaknya menjadi gamang dalam hal ini. Karena harus bersikap netral, maka pemerintah takut jika keputusannya tidak tepat sehingga menyakiti salah satu pihak. Karenanya, pemerintah harus memiliki regulasi yang jelas dalam menetapkan upah buruh.

“Karena masalah perburuhan ini benar-benar bisa menjadi hambatan (bottleneck) investasi,” pungkasnya.

Wakil Ketua Koordinator HKI Kepri Tjaw Hoeing atau Ayung juga mengatakan bahwa banyak investor yang selalu bertanya mengenai kepastian berinvestasi di Batam. “Kepastian hukum itu sangat penting. Dalam penetapan UMK misalnya, pengusaha tidak menuntut untuk diistimewakan. Tetapi sebagai negara hukum, ya kita harus jalan sesuai hukum,” katanya.

Menurutnya, demonstrasi menjadi faktor utama bagi pengusaha untuk menanamkan modalnya. Di mana kebanyakan perusahaan yang hengkang karena ketidaknyamanan yang berimbas kepada produktivitas yang rendah.

“Misalnya perusahaan A di Batam akan bersaing dengan perusahaan yang sama di Vietnam. Kalau kita kalah produktivitasnya, sudah pasti kita ditinggalkan dan di sana (Vietnam, red) yang akan terus tumbuh,”katanya.

Ketua Kadin Batam, Jadi Rajagukguk juga meminta agar semua pihak menjaga iklim investasi di Batam. Ia mengaku saat ini banyak yang ingin masuk ke Batam.

“Tugas kita bagaimanana memastikan mereka bisa nyaman di Batam. Jangan sampai karena ketidaknyamanan malah mengalihkan investasinya ke negara lain,” katanya.

Segera Tetapkan UMS Batam

Pekerja pabrik pulang kerja dari perusahaan di kawasan Batamindo, Mukakuning, Seibeduk.
Foto: Dalil Harahap/Batam Pos

Sementara DPRD Batam meminta Gubernur Kepri, Nurdin Basirun segera menetapkan UMS Kota Batam 2018. Hal ini dilakukan setelah adanya surat kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Kepri dengan aliansi serikat pekerja atau buruh untuk mengeluarkan surat keputusan tentang UMS Batam.

“Koridornya ada di undang-undang. Jika sudah ada kesepakatan sesuai aturan, harus segera ditetapkan,” kata Aman, anggota Komisi IV DPRD Batam, Senin (30/4).

Penetapan UMS, kata Aman, sejatinya kesepakatan bersama yang mengacu kepada aturan yang sudah ada. Pemerintah provinsi harus berpihak pada pekerja dan juga mempertimbangkan pengusaha. Sehingga ke depan hubungan industrial ini tetap terjaga dengan baik. Jika selama ini tidak ada kesepakatan tersebut, sementara dari sisi lain pemerintah daerah sudah mengajukan besaran UMS, Pemerintah Provinsi Kepri bisa berpatokan pada aturan yang berlaku sesuai perundang-undangan.

“Memang bola panasnya ada di gubernur. Di sisi lain, pengusaha tidak boleh dengan keinginannya sendiri, yang mengebiri kepentingan pekerja. Begitu juga dengan pekerja juga tak boleh egois ingin gajinya tinggi sementara pengusaha berat,” sebut Aman.

Sebelumnya, Pemko Batam kembali mengusulkan UMS Batam 2018. Tidak ada perubahan dari usulan yang ditolak Gubernur Kepri sebelumnya. Hanya saja dalam usulan kali ini, Pemko Batam memaparkan kronologis penetapan UMK, kajian masalah upah sektoral serta dokumen lainnya.

“Kita usulkan 16 April lalu. Berkas-berkas serta sandaran hukum yang dianggap belum lengkap, sudah kita lengkapi,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Kota Batam, Rudi Sakyakirti, kemarin.

Merurut dia, perhitungan UMS tetap berpatokan kepada putusan MA. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dianggap gugur dan tidak berlaku lagi, akibat putusan MA tersebut. Sehingga Rudi memastikan, angka yang diusulkan tidak akan berubah dibanding usulan sebelumnya.

“Angkanya tetap. Kita hanya melengkapi surat. Kita tunggulah seperti apa jawaban dari Gubernur,” tuturnya.

Rudi mengakui sebenarnya yang menjadi persoalan bukan pada angka, tetapi persentasenya. Sebelumnya pada saat pembahasan sudah ada pembagian beberapa sektor, seperti Sektor I: UMK 2018+1 persen. Sektor II: UMK 2018+3 persen. Sektor III: UMK 2018+5 persen.

Seperti diketahui, besaran UMS Batam 2018 yang diusulkan ke Gubernur Kepri masing-masing sektor I Rp 3.528.537, sektor II Rp 3.563.137, dan sektor III Rp 3.770.067.

Sektor I meliputi industri di sektor garmen, perhotelan, dan pariwisata. Sektor II untuk mereka yang bekerja di bidang logam, metal, dan elektronik. Sedangkan Sektor III untuk bidang galangan kapal dan offshore.

“Bisa diterima bisa ditolak. Kita pakai pola Mahkamah Agung. Sekarang barangnya masih di gubernur,” jelasnya. (leo/ian/rng)

Update