Jumat, 19 April 2024

Empat Bulan 1.948 Korban Kecelakaan Kerja di Batam

Berita Terkait

Angka kecelakaan kerja di Batam terus meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang Januari-April 2018 saja, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) Batam mencatat ada 1.948 kasus kecelakaan. Dana sebesar Rp 8,2 miliar telah disalurkan untuk biaya pengobatan dan santunan bagi para korban.

Edi Syahrizal terbaring tak berdaya di salah satu ruang perawatan Rumah Sakit Awal Bros (RSAB) Batam. Mengenakan jubah hijau khas pakaian pasien, sejumlah selang terhubung dan menancap di beberapa bagian tubuhnya, termasuk di bagian hidung dan mulut.

Kepala pria 43 tahun itu dibiarkan mendongak ke atas, sementara di jarinya terpasang defibrillator, alat pacu jantung listrik bertegangan tinggi. Sudah lima bulan ia koma setelah mengalami gegar otak akibat kecelakaan kerja di kawasan Perumahan Happy Garden, Kelurahan Batuselicin, Lubukbaja, Batam, tahun lalu.

“Ia tergelincir saat proses semenisasi jalan di Batuselicin. Kepala bagian belakangnya terbentur. Parah,” ujar abang angkat Edi, Julianto kepada Batam Pos, Jumat (4/5) lalu.

Julianto mengungkapkan, sekitar pukul 08.00 WIB di hari Senin, 27 November 2017 lalu, Edi berangkat dari rumah mereka di Komplek Happy Garden. Pagi itu, hujan turun cukup deras. Pria yang juga Ketua RW 09 Batu Selicin ini sudah mengingatkan supaya Edi berhati-hati, karena jalanan pasti licin akibat hujan. Kalau bisa, menunggu hujan reda saja baru ia berangkat. Namun Edi yang bekerja sebagai tukang itu tetap berangkat, mengingat lokasi kerjanya tersebut tak jauh dari rumahnya tinggal.

“Sekitar pukul 09.15 WIB saya mendapat kabar, Edi tak sadarkan diri. Ia terpeleset di tempat kerja, jatuh, sehingga mengakibatkan benturan di kepala belakang. Ia masih sadar usai jatuh, muntah, mendadak tak sadarkan diri. Langsung kami larikan ke RS Budi Kemuliaan,” kenang Julianto.

Dua hari dirawat, tak ada perkembangan. Edi masih tak sadarkan di RSBK. Oleh keluarga, Edi dipindahkan ke Rumah Sakit Awal Bros (RSAB) Batam pada 29 November lalu. Seharusnya, sudah tak terbilang biaya pengobatan yang sudah dikeluarkan keluarga untuk pengobatannya.

Edi merupakan pekerja bangunan dalam proyek Percepatan Infrastruktur Kelurahan (PIK) Rp 1 miliar oleh Pemko Batam di Kelurahan Batuselicin. Lewat proyek tersebut, Kelurahan Batuselicin mendaftarkan seluruh pekerja proyek menjadi peserta penerima upah dan jasa konstruksi ke BPJS-TK. “Beruntung Edi sudah terdaftar, sehingga kami bisa mengklaim biaya perlindungan kecelakaan kerja yang ia alami ini. Semua biaya pengobatannya ditanggung BPJS-TK,” ujar Julianto.

Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Batam-Nagoya, Surya Rizal membenarkan bahwa saat ini, salah satu peserta atas nama Edi tengah mereka tangani dalam hal pembiayaan.

Buruh pelabuhan Batumapr membongkar barang dari kapal. Pelabuhan mahkobar ini paling sibuk di Batam. F Dalil Harahap/Batam Pos

“Iya benar. Keluarga peserta telah mengajukan Jaminan Kecelakaan Kerja Tahap 1. Peserta masuk ke kategori penerima upah dan jasa konstruksi. Ia terdaftar aktif di BPJS-TK dan sampai saat ini biaya pengobatan yang sudah kita tanggung sudah mencapai Rp 600-an juta,” jelas Surya ketika ditemui di kantornya di Nagoya, Kamis (3/5) lalu.

Edi kini telah dipindahkan ke kampung halamannya di Lampung dan dirawat di salah satu rumah sakit di sana. Meski telah pindah perawatan, tapi pembiayaan dari BPJS-TK Batam masih tetap berjalan. Kondisinya kini sudah sadar, namun mengalami tetraplegi alias lumpuh kedua tangan dan kedua kaki.

Informasi terakhir, Edi sudah pulang dari rumah sakit dan dirawat ibu kandungnya di rumah. “Sudah lepas NGT juga. Meski begitu, biaya kontrolnya masih tetap BPJS-TK tanggung sampai pengobatannya maksimal dan dokter yang merawatnya menyatakan kasus ditutup,” ujar Manajer Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (KK-PAK) BPJS-TK Batam, dr Vernadeta Sitorus.

Vernadeta menyebutkan, ada begitu banyak keuntungan apabila terdaftar di kepesertaan BPJS-TK. Selain mendapat manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), peserta aktif juga akan mendapat manfaat lainnya seperti Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun (JP).

“Untuk kasus kecelakaan kerja atas nama peserta Edi Syahrizal ini, setelah kasusnya ditutup oleh dokter yang merawat, maka BPJS-TK juga wajib membayarkan santunan kecacatannya. Kita bayar, karena beliau cacat akibat laka kerja,” ungkap Vernadeta.

Tak seberuntung Edi yang biaya pengobatannya ditanggung perusahaan kontraktor dan kelurahan yang mendaftarkannya ke BPJS-TK, Weli, seorang teknisi di sebuah perusahaan galangan kapal di Tanjunguncang justru malah sebaliknya. Warga Kaveling Baru, Kelurahan Seilangkai Sagulung ini harus menelan ‘pil pahit’. Sebab perusahaan subkontraktor yang mempekerjakannya tidak mau bertanggung jawab membiayai pengobatannya.

Weli divonis kanker nasofaring atau kanker hidung oleh dokter sejak akhir 2017 lalu. Kala itu, ia masih bekerja sebagai teknisi di perusahaan tempatnya bekerja. Sudah lima tahun ia bekerja di perusahaan galangan kapal tersebut. Pekerjaannya sering berhadapan dengan pengecoran dengan material semen. Setiap hari berhadapan dengan serbuk semen itulah yang ia yakini menjadi pemicu terjadinya kanker pada rongga hidungnya.

“Pengerjaan di sana memang saya akui kurang memperhatikan standar safety,” ujar ayah tiga anak itu dengan nada lemah.

Weli menyebutkan, sudah satu tahun belakangan ia merasakan sakit pada rongga hidungnya. Hingga pada Desember 2017 lalu, ia ditemani istrinya, Evi, memberanikan diri berobat ke dokter. Oleh dokter, ia langsung divonis kanker nasofaring, dimana salah satu faktor penyebabnya adalah sering menghirup udara kotor. Sejak saat itu, hidupnya berubah.

Saat tahu sakitnya sudah kronis, Weli langsung memutuskan untuk rawat inap di salah satu rumah sakit swasta di Batam. “Disuruh dokter harus operasi. Biayanya di atas Rp 100 juta,” kata Weli.

Sempat ia mengajukan izin dan klaim biaya pengobatan ke perusahaan tempat ia bekerja. Namun perusahaan main contractor menyebutkan itu bukan urusan mereka, karena ia direkrut dari perusahaan subkontraktor.

Tak mau bermain dengan waktu, sementara penyakitnya makin hari makin parah, akhirnya Weli menggunakan tabungan pribadinya untuk membiaya biaya operasi kanker hidungnya tersebut. Sambil berharap bantuan biaya menyusul dari pihak perusahaan.

Pekerja menggesa pembangunan Masjid Agung, Tanjunguncang, Batuaji, Kamis (3/5). Masjid Agung ini selesai dibangun di tahun 2019. Dengan kapasitas muat jamaah 25 ribu. F dalil Harahap/Batam Pos

Namun hingga kini, harapannya itu meleset. Meski sudah dilaporkan berulang kali, tapi pihak perusahaan tidak mau bertanggung jawab. “Jangankan bantu atau bertanggung jawab. Datang tengok saja tak ada,” ujar Weli.

Penderitaan Weli akibat menghirup serbuk kimia dari tempat kerjanya itu belum berakhir. Setelah dioperasi, Weli masih harus menjalani pengobatan lanjutan hingga ke Malaysia. “Sudah habis-habisan kami ini. Bagaimana lagi, saya tak bisa begini saja. Setiap minggu harus kontrol ke rumah sakit. Kadang ke Malaysia,” tuturnya.

Kondisi Weli kini sangat memprihatinkan. Akibat kanker ganas di hidungnya, berat badannya turun drastis, berikut tenaganya. Untuk berdiri saja, ia harus menggunakan tongkat penyangga. Sekeliling lehernya dipenuhi bekas luka akibat bedah operasi. Keadaan tersebut membuat ia tidak mampu lagi bekerja.

Mengenai pengobatan lanjutan, Weli dibantu istrinya harus minta bantuan ke kerabat dan juga keluarganya, termasuk ke sejumlah komunitas keagamaan di Batam. “Sampai sekarang tak ada bantuan dari perusahaan. Cuma hak-hak saya sebagai mantan pekerja saja yang dikasih,” ujarnya.

Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Provinsi Kepri, Jalfriman menyebutkan perusahaan wajib bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja. Mengingat, hal ini jelas tertuang dalam UU Nomor 1 Tahu 1970 tentang Keselamatan Kerja, dimana pemilik perusahaan bertugas menyelenggarakan keselamatan kerja. Hal ini juga dipertegas dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 yang dengan tegas mengatur kewajban pemberi kerja untuk memberi perlindungan kesejahteraan, keselamatan, kesehatan dan fisik pekerja.

“K3 ini merupakan hak buruh. Harus dijalankan. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem K3 ini dalam manajemen mereka,” ujar Jalfriman ketika ditemui di Sekupang, Rabu (3/5) lalu.

***

Buruh pabrik atau pekerja industri, kerap berhadapan dengan kecelakaan kerja. Parahnya banyak korban kecelakaan kerja yang tidak diperhatikan pihak perusahaan. Perusahaan kerap lepas tangan atau malah mengabaikan pekerja yang menjadi korban, seperti penelusuran Batam Pos terhadap Weli, salah satu korban kecelakaan kerja yang tidak diperhatikan perusahaan.

Menanggapinya, Jalfriman mengungkapkan ketika pekerja menjalankan tugas sesuai proyek yang diberikan pemilik perusahaan, dalam prosesnya terjadi kecelakaan kerja, maka yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan itu sendiri. Dalam kasus Weli ini misalnya. Harusnya, perusahaan subkontraktor memberikan jaminan perlindungan K3 ketika Weli direkrut.

Perusahaan main contractor saat menyerahkan proyek ke subkontraktor, dalam nilai proyek tersebut sudah termasuk biaya jaminan perlindungan K3 para pekerja. Ketika terjadi kecelakaan kerja, perusahaan dapat dimintai tanggung jawab karena pekerjaan dilakukan di tempat tersebut.

“Dalam UU Ketenagakerjaan kan itu sudah jelas,” tegasnya.

Lantas bagaimana kalau pada akhirnya perusahaan subkontraktor tak mau bertanggung jawab? “Maka perusahaan main contractor yang membiayai hak protektif karyawan yang laka kerja tersebut,” jelas Jalfriman.

Kerap kali, pekerja yang mendapat perlakuan semena-mena perusahaan adalah para karyawan dengan status kontrak atau karyawan subkon. Jalfrizal menyebutkan, harusnya pekerja dengan status kontrak, saat terjadi kecelakaan kerja dalam masa kontrak belum berakhir, harusnya hak protektifnya tidak hangus.

“Tidak boleh memberhentikan orang kalau laka kerja. Pengobatan harus tetap berjalan sampai sembuh, penuhi hak-hak lainnya sesuai yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan juga. Kalau tidak, perusahaan bisa kena sanksi atau berakibat hukum,” jelasnya.

Dia juga mengungkapkan, selama empat bulan berjalan di 2018 ini, Disnaker mencatat ada 1.193 kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Batam. Keseluruhannya sudah ditangani dengan jaminan kecelakaan kerja dengan melibatkan BPJS-TK. Kecelakaan lalulintas (lakalantas) saat pergi atau pun pulang kerja masih mendominasi, yakni sekitar 38 persen. Meski lakalantas mendominasi, namun secara keseluruhan dari kategori, laka kerja di lingkungan perusahaan yang paling tinggi, yakni 62 persen.

Rinciannya, sebanyak 21 persen diakibatkan material, 3 persen karena alat berat di lingkungan kerja, offshore dan perkapalan 1 persen, laka mesin 19 persen, dan kejatuhan material 10 persen, laka disebabkan bahan kimia 3 persen, dan 5 persen kecelakaan kerja kategori lainnya.

Jumlah ini sedikit berbeda dari data BPJS-TK yang mencatat sebanyak 1.948 laporan kecelakaan kerja selama Januari-April, dengan rincian pembiayaan lebih dari Rp 8,2 miliar.

Perbedaan jumlah kasus tersebut bisa jadi akibat adanya perusahaan yang tidak melaporkan kembali ke Disnaker terkait pekerjanya yang mengalami kecelakaan atau bisa jadi dengan laporan lain. Seperti laporan kematian.

Mengenai jumlah kecelakaan kerja di caturwulan pertama 2018 ini, baik Disnaker dan BPJS-TK memasukkannya ke kategori tinggi atau terjadi peningkatan dibanding tahun sebelumnya (selengkapnya lihat tabel).

Untuk tahun ini, laka kerja terbanyak itu dari kecelakaan lalu lintas. Sedangkan laka di bidang industri galangan kapal terjadi penurunan drastis. “Bisa jadi dikarenakan sepinya pengerjaan proyek offshore beberapa tahun belakangan sehingga mengakibatkan peserta berkurang dan banyak yang sudah tidak aktif,” ujar Kabid Pemasaran Penerima Upah (PU) BPJS-TK Batam, Ahmad Fauzan.  (CHAHAYA SIMANJUNTAK-EUSEBIUS SARA, Batam)

Update