Jumat, 29 Maret 2024

Imbas Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS, Harga Pangan Berpotensi Naik

Berita Terkait

ilustrasi

batampos.co.id – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi mendongkrak harga makanan dan minuman olahan usai Lebaran. Pasalnya, sebagian besar bahan baku dan penolong produk makanan dan minuman olahan masih harus diimpor.

“Kurs (dolar AS) naik sekitar lima persen, otomatis akan menaikkan biaya produksi,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Olahan Seluruh Indonesia (GPMMI) Adhi S Lukman, Selasa (8/5).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pangan semi olahan dan olahan Indonesia terus melebar selama tiga tahun terakhir. Pada 2015, neraca perdagangan pangan semi olahan dan olahan mengalami defisit sebesar 276,09 juta dolar AS. Selang setahun, defisit melebar menjadi 888,4 juta dolar AS, dan tahun lalu defisitnya menembus 1,3 miliar dolar AS.

Jika rupiah terus keok, lanjut Adhi, pelaku industri mau tak mau harus menyesuaikan harga jualnya demi menutup kenaikan biaya produksi. Besaran kenaikan harga tergantung dari banyaknya komponen impor yang digunakan oleh masing-masing produsen.

Namun, Adhi memastikan kenaikan tersebut baru akan dilakukan setelah periode Ramadan dan Lebaran. “Kami akan bertahan karena ada persiapan puasa dan Lebaran yang sulit menaikkan harga,” ujarnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan, depresiasi rupiah akan terasa ke biaya impor yang meningkat. Sebab, impor bahan baku, barang modal dan barang konsumsi sebagian besar menggunakan kapal asing. Importer membutuhkan dolar AS, sehingga biaya logistik akan membebani industri domestik.

“Sementara daya beli sedang lesu, jadi penjual tidak akan sembarangan naikkan harga barang. Kondisi ini menggerus pendapatan pelaku usaha,” kata Bhima.

Menurut Bhima, publik menunggu keputusan Bank Indonesia (BI) mengenai pelonggaran moneter lewat instrumen suku bunga acuan. Sebab, cadangan devisa pasti akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Cadangan devisa Indonesia pada Maret lalu sebesar 126 miliar dolar AS.

Di Asia Tenggara, rasio cadangan devisa Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) cukup rendah yakni 14 persen. “Filipina saja sudah 28 persen dan Thailand 58 persen. Padahal cadangan ini menentukan kekuatan moneter suatu negara,” lanjut Bhima.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengungkapkan, meski telah menyentuh level Rp 14 ribu, volatilitas nilai tukar secara year to date (ytd) sejak Januari masih di kisaran 5 persen. BI pun akan menjaga volatilitas tersebut agar tidak melebihi 5 persen. Depresiasi rupiah kemarin sebesar 0,4 persen, lebih baik dari depresiasi rupee India, zaar Afrika Selatan, rubel Rusia dan lira Turki yang turun lebih tajam.

“Secara perlahan harus dijelaskan pada angka depresiasi rupiah yang masih wajar sama dengan mata uang regional, dan tidak pada level nominal yang kebetulan sudah menembus batas psikologis Rp 14 ribu. Tekanan eksternal masih sangat kuat menekan mata uang negara maju dan berkembang,” kata Dody.

BI sendiri tak setuju jika rilis pertumbuhan ekonomi kali ini dianggap tidak bagus. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat dengan dukungan permintaan domestik, termasuk inventori yang tumbuh 6,07 persen secara year on year (yoy). Sementara itu, permintaan domestik tanpa memperhitungkan inventori tumbuh 5,86 persen.

“Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2018 merupakan capaian tertinggi di pola musiman kuartal I sejak tahun 2015,” tambah Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman.

Seperti diketahui, rupiah akhirnya menyentuh level psikologis Rp 14 ribu. Pada Senin (7/5) lalu, kurs di pasar spot ditutup di Rp 14.001 per dolar AS (USD). Sementara kurs tengah Bank Indonesia (BI) menujukkan rupiah berada di level Rp 13.956 per USD. Sejak awal Januari 2018, rupiah telah melemah 3,06 persen. (rin/sof/JPG)

Update