Kamis, 18 April 2024

Gubernur Kepri Tantang Pengusaha Adu Kajian Efektif KEK atau FTZ

Berita Terkait

batampos.co.id – Gubernur Kepri Nurdin Basirun kembali menanggapi polemik rencana penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam yang ditentang pengusaha. Menurut Nurdin, pro dan kontra terhadap KEK merupakan hal yang biasa. Namun ia meminta semua harus didasari kajian yang mendalam.

Karenanya, Nurdin menantang pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap rencana KEK Batam membuat kajian strategis. Kajian tersebut kemudian diserahkan ke pemerintah pusat sebagai pertimbangan, apakah rencana KEK Batam layak dilanjutkan atau tidak.

“Sehingga pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan juga bisa mengambil langkah yang baik bagi Batam,” kata Nurdin di Tanjungpinang, Kamis (17/5).

Mantan Bupati Karimun ini mengaku tidak alergi dengan kritik dan masukan dari pengusaha terkait rencana KEK Batam. Asalkan semuanya disandarkan pada azas kepentingan bersama. Bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Nurdin juga memastikan, jika kelak pemerintah pusat membatalkan rencana KEK Batam dan memilih mempertahankan status Free Trade Zone (FTZ), maka dirinya selaku pemerintah daerah dan sebagai anggota Dewan Kawasan (DK) Batam, akan mendukung dan menjalankan. Namun sekali lagi, semuanya harus melalui proses kajian untuk menentukan kebijakan yang terbaik.

“Mana yang terbaik kita ikuti. Jika FTZ Plus Plus yang baik, tentu harus sama-sama kita perjuangkan,” ujar Gubernur.

Dalam kesempatan tersebut Nurdin meminta semua pihak untuk tidak saling menyalahkan. Terutama kepada 20 asosiasi pengusaha Batam yang gencar menentang KEK Batam. Karena sikap ini tidak akan menghasilkan keputusan yang terbaik.

Ia meminta kalangan pengusaha tidak perang argumentasi di media massa. Jika ada masukan dan usulan soal rencana KEK Batam, sebaiknya disampaikan dalam meja diskusi.

“Koran bukan media untuk protes. Jika memang ada yang mengganjal, bisa didiskusikan. Mereka semua kawan baik kita,” papar Gubernur.

Nurdin menegaskan, rencana KEK Batam merupakan kebijakan pemerintah pusat. Sehingga ia memastikan tidak ada kepentingan pemerintah daerah dalam wacana KEK Batam ini. Apalagi jika disebut ada ego sektoral dari pemerintah dalam memperjuangkan KEK Batam.

Menurut Nurdin, KEK atau FTZ Plus Plus yang akan diterapkan di Batam, bagi dia tidak ada masalah. Yang penting, apapaun sistemnya, harus memberikan kemudahan bagi dunia investasi.

“Beda pendapat itu biasa. Yang terpenting adalah adanya kebijakan yang mendukung bagi kemudahan investasi di Batam,” kata Gubernur.

Namun Nurdin sedikit menyinggung salah satu kelebihan jika KEK Batam diberlakukan. Salah satunya untuk menghapus dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemko Batam.

“Kita ingin memangkas persoalan birokrasi, selama masih ada kebijakan yang berbeda-beda, maka belum ada kepastian yang menjamin,” tegas Gubernur.

Hal senada disampaikan Wali Kota Batam Muhammad Rudi. Menurut Rudi, KEK Batam merupakan kebijakan pemerintah pusat. Sehingga ia enggan banyak komentar terkait penolakan kalangan pengusaha di Batam.

“Sudahlah, kami tunggu saja keputusan Presiden. KEK ini kan perintah Presiden,” ucap Rudi, Kamis (17/5).

Menurut Rudi, kebijakan Presiden Joko Widodo mengganti FTZ Batam menjadi KEK pasti sudah melalui proses kajian yang mendalam. Dimana tujuan utamanya adalah memperbaiki perekonomian Batam dan Kepulauan Riau sebagai salah satu tujuan investasi utama di Indonesia.

Gubernur Kepri, Nurdin Basirun.

“Ini (KEK) kebijakan Presiden, beliau sampaikan tentu ada kajian yang baik,” katanya.

Ketika ditanya soal FTZ Plus Plus yang diwacanakan pengusaha dan diketuai Soerya Respationo, ia enggan berkomentar. Ia malah meminta pewarta untuk membaca kembali Undang Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan sejumlah pemerintah daerah termasuk di dalamnya pembentukan Pemerintah Kota Batam. Ia juga meminta wartawan memperlajadi undang undang tentang FTZ Batam, serta aturan tentang KEK.

“Baca dulu, kalau saya jelasin nanti nggak nyambung,” imbuhnya.

Saat didesak, Rudi mengarahkan wartawan untuk bertanya ke Kepala Badan pengusahaan (BP) Batam Lukita Dinarsyah Tuwo. Sebagai kepala BP Batam dan mantan ketua Tim Teknis Dewan Kawasan, Lukita dianggap lebih tahu soal rencana KEK Batam.

“Tanya dia saja. Kalau saya ngomong nanti dibilang ada kepentingan, makanya saya tak mau ngomong,” katanya.

FTZ Masih Ideal

Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menegaskan Batam dengan segala keistimewaan yang dimilikinya masih tetap ideal sebagai kawasan perdagangan bebas yang menganut sistem Free Trade Zone (FTZ).

“Di Batam dengan segala kelebihannya masih cocok diterapkan sebagai FTZ,” katanya kepada Batam Pos, Kamis (17/5).

Batam, kata Heri, memiliki keunggulan sebagai lokasi yang strategis karena berbatasan dengan luar negeri. Faktor tersebut menjadi alasan utama untuk menerapkan konsep kawasan perdagangan bebas di Batam.

“Batam itu dengan lokasi strategisnya maka menjadi daerah industri. Industri di Batam disesuaikan berdasarkan permintaan pasar, baik lokal maupun luar negeri,” tambahnya.

Namun, memang dalam perjalanannya sejak 2009, FTZ mengalami kemunduran. Meski Batam diklaim bebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) baik itu untuk bahan baku industri maupun barang konsumsi, pada kenyataannya harga barang-barang tersebut sama dengan harga di luar daerah pabean. Atau lebih mahal dari yang seharusnya.

Harga mahal disebabkan tarif logistik yang juga mahal. Penyebabnya adalan infrastruktur pelabuhan di Batam yang belum memadai.

Banyak kapal yang datang membawa puluhan ribu kontainer menuju Batam, namun tidak bisa langsung masuk ke Batuampar karena pelabuhannya (batuampar) baru berkapasitas 500 ribu hingga 750 ribu TEUs. Perbedaannya sangat jauh jika dibandingkan dengan kapasitas Pelabuhan Tanjungpriuk 5-7 juta TEUs. Bahkan jika pengembangan semua rampung bisa mencapai 11,5 juta TEUs per tahun.

Satu persoalan utama lainnya yang perlu segera diselesaikan adalah dualisme kewenangan antara BP dan Pemko Batam. “Ada dualisme kepemimpinan, ini dulu yang harus diselesaikan baru menata ulang FTZ,” jelasnya.

Sebenarnya pemerintah sudah diminta untuk menetapkan regulasi mengenai pemisahan wewenang kerja antara BP dan Pemko seperti yang tertuang dalam Pasal 21 UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam. Batas penetapan UU adalah setahun dari UU tersebut diundangkan.

Namun hingga kini, regulasi tersebut tak kunjung terbit sehingga status pembagian wewenang antara Pemko dan BP tak menemui solusi.

Mimpi pemerintah untuk menerapkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kata Heri lebih baik ditunda dahulu. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan ketimbang mengubah status ekonomi Batam.

“Saya mengerti mengapa pengusaha menolak penerapan KEK karena memang nanti akan ada ketidakpastian dari tumpang tindih regulasi tersebut,” jelasnya.

Berdasarakan UU 39 Tahun 2009 yang menjadi landasan penerapan KEK, KEK diperuntukkan untuk daerah yang punya potensi ekonomi menghasilkan produk khusus sebagai ciri khas wilayahnya.

“Contohnya Sei Mangkei dengan kelapa sawit dan Morowali dengan barang tambangnya. Jadi menurut UU, KEK itu khusus untuk daerah tertentu karena punya potensi keunggulan. Bukan ujuk-ujuk muncul begitu saja,” katanya.

Deputi II BP Batam Yusmar Anggadinata mengatakan BP Batam hanya sebagai pelaksana. Makanya pihaknya akan menampung masukan-masukan dari semua stakeholder, apalagi jika untuk membuat tata kelola kawasan bisa lebih baik lagi.

“Latar belakang transformasi ini bergulir sejak 5-6 tahun lalu. Pemerintah melihat pelemahan daya saing FTZ seiring perpindahan industri dari Batam ke negarta lain. Banyak juga produk Batam kalah saing dengan produk luar negeri,” jelasnya.

Saat ini produk Batam yang ingin masuk ke wilayah Pabean harus dikenakan pungutan PPN dan Bea Masuk. Sehingga produk dari Batam kalah dengan produk sejenis jika dipasarkan di dalam negeri.

Jika dipelajari dari sisi aturan hukum, produk dari Batam diperlakukan sebagai produk di luar pabean. Sehingga dari Batam dikenakan tambahan bea masuk dan PPN. Sementara jika barang dari beberapa negara lain, seperti Singapura tak dikenakan bea Masuk dan PPN. “Ini menjadi dampak dari adanya Free Trade Agreement antara Indonesia dengan negara tersebut,” katanya.

Turunkan Daya Saing Batam

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam Jadi Rajagukguk mengatakan, pemerintah seharusnya tetap mempertahankan status FTZ Batam. Sebab jika dihapus, maka daya saing Batam akan turun.

Buruh pelabuhan Batu Ampar membongkar barang | Dalil Harahap/Batam Pos

“Kita akan semakin jauh tertinggal dari negara tetangga,” kata Jadi Rajagukguk, Kamis (17/5).

Ia menyebutkan jika KEK diberlakukan maka otomatis FTZ akan hilang. Dengan demikian maka semua kawasan di luar KEK akan kembali seperti daerah lainya. Tidak lagi bebas PPN dan PPnBM. Artinya harga semua barang yang masuk akan mahal.

“Di sini yang dikorbankan adalah masyarakat luas. Dimana kebutuhan masyarakat sudah pasti akan mahal. Yang mendapat kemudahan fasilitas hanyalah kawasan KEK,” katanya.

Dia berharap penerapan KEK di Batam tidak ada hubungannya dengan masalah pembebasan UWTO. “Kalau terkait lahan ini, kalau memang ini keberatan warga, menurut saya bisa direvisi Perka BP Batam. Ini bisa dibicarakan,” katanya.

Terkait insentif KEK yang lebih banyak, maka menurut Jadi yang paling tepat adalah menambahkannya ke dalam fasilitas di FTZ. Bukan menghilangkan FTZ itu sendiri. “Misalnya kalau kita mau membuat rumah semakin nyaman, apakah harus merobohkan rumah itu? Kan bisa dengan mengganti jendela yang lebih besar, membuat ventilasi lebih besar, atau yang lainnya,” katanya.

Anggota komisi II DPRD Kota Batam Mulya Rindo Purba mengatakan permasalahan KEK dan FTZ ini menandakan ketidaktegasan pemerintah pusat. Harusnya pemerintah menyelesaikan hulunya. Yakni pembagian kewenangan antara BP Batam dan Pemko Batam.

“Misalnya ketidaktegasan adalah usia FTZ yang masih lama tapi mau diganti. Ya sudah tegas saja, mau daerah otonom atau seperti apa. Ketidaktegasan terkait hukum ini akan mengurangi daya saing Batam,” katanya.

Hal senada disampaikan Ketua Komisi I DPRD Batam yang membidangi hukum dan pemerintahan, Budi Mardiyanto. Menurut dia, polemik KEK Batam harus segera diakhiri, karena bisa merugikan iklim investasi di Batam.

Namun menurut Budi, sebaiknya pemerintah mendengarkan masukan dan saran dari kalangan pengusaha. Sebab menurut dia, pengusaha lebih tahu kondisi dunia usaha di lapangan. Jika pengusaha meminta FTZ dipertahankan, artinya FTZ lebih baik dibandingkan KEK.

“Jadi pendapat dari saya selaku Ketua Komisi I DPRD Batam, jalankan saja aturan yang ada sekarang ini, seperti FTZ,” ujar politikus dari dapil Sekupang-Belakangpadang ini.

Sebab, lanjut Budi, kalaupun ternyata diberlakukan KEK, otomatis harus juga dibuat aturan yang baru yang tentunya membutuhkan waktu yang tak sebentar. Belum lagi pengusaha juga harus menyesuaikan aturan baru itu. Apalagi fasilitas yang diberikan di FTZ itu

“Sudah jalankan saja aturan yang ada yakni FTZ. Kalau masih ada ego sektoral di masing-masing pimpinan terkait status apakah FTZ atau menggunakan KEK, nanti tak akan ada ujung pangkalnya,” terang Budi. (jpg/iza/leo/ian/gas)

Update