Kamis, 25 April 2024

Gaji Fantastis BPIP Pemborosan Anggaran

Berita Terkait

ilustrasi
foto: iman wachyudi / batampos

batampos.co.id – Besarnya gaji yang diterima dewan pengarah maupun anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terus menuai protes dan kritik. Gaji tersebut dinilai terlalu tinggi dan merupakan bentuk pemborosan duit negara.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, tidak sepantasnya sebuah lembaga non-struktural seperti BPIP diberi standar gaji mirip BUMN, yang melebihi standar gaji di lembaga-lembaga tinggi kenegaraan. Menurut dia, Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang BPIP menunjukkan betapa borosnya pihak Istana dalam mengelola anggaran. Sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan pemerintah.

“Di tengah keprihatinan perekonomian nasional, pemerintah malah menghambur-hamburkan anggaran untuk sebuah lembaga ad hoc,” ungkapnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengatakan, ada empat cacat serius yang terkandung dalam perpres tersebut.

Pertama, dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif itu pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham. Beban kerja terbesar memang adanya di direksi atau eksekutif.

Kedua, dari sisi etika. Lembaga itu bukan BUMN atau bank sentral yang bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya tak pantas dipatok ratusan juta rupiah. “Ini adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, tapi kenapa standar gajinya bisa setinggi langit begitu?” tuturnya.

Ketiga, dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi. Presiden Joko Widodo selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Tapi, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru.

Keempat, dari sisi tata kelembagaan. Kecenderungan presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya distop, karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada. “Saya meminta pun meminta agar perpres itu ditinjau kembali,” tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku sudah siap mengajukan gugatan uji materi (judicial review) Perpres Nomor 42/2018 ke Mahkamah Agung (MA). Boyamin beralasan, perpres tersebut tidak semestinya mengatur tentang gaji dewan pengarah dan penasehat BPIP.

”Sesuai fungsinya (dewan pengarah dan penasehat BPIP) adalah bersifat sukarelawan atau volunteer, sehingga untuk hak keuangan harusnya hanya bersifat akomodasi seperti transport atau hotel atau uang rapat,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos (grup Batam Pos), Senin (28/5).

”Kami juga yakin para dewan pengarah termasuk ibu Mega tidak akan pernah mau menerima gaji tersebut,” imbuh dia.

Boyamin menjelaskan, setidaknya ada tiga Undang-Undang (UU) yang akan dijadikan dasar gugatan uji materi tersebut. Yakni, UU tentang APBN, UU tentang Perbendaharaan Negara dan UU tentang Keuangan Negara. Secara prinsip, kata dia, pemberian gaji semestinya berbasis kinerja.

”Semestinya gaji itu untuk kepala, deputi, staf khusus yang memang sehari-hari fungsional ngantor,” terangnya.

Seperti diketahui, dalam Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2018 yang ditekan Presiden, gaji yang diterima jajaran BPIP sangat besar. Di antaranya Ketua Dewan Pengarah Rp 112,5 juta, anggota dewan pengarah Rp 100,8 juta, Kepala BPIP Rp 76,5 juta, Wakil Kepala Rp 63,7 juta, Deputi Rp 51 juta dan staf khusus Rp 36,5 juta.

Sebagai perbandingan, yang diterima Ketua Dewan Pengarah BPIP yang dipegang Megawati Soekarnoputri hampir setara dengan penghasilan Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan PP nomor 55 tahun 2014, hak keuangan yang diterima dua lembaga peradilan tertinggi itu Rp. 121 juta. Bahkan, gaji Megawati mengalahkan gaji presiden yang hanya Rp 62,7 juta.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, gaji BPIP sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pejabat lainnya. Di mana gaji pokoknya hanya kisaran Rp 5 juta. Bahkan, tunjangan tunjangan yang diterima BPIP lebih kecil dibandingkan pejabat lainnya, yakni hanya Rp 13 juta.

“Lebih kecil dibandingkan lembaga lain,” ujarnya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (27/5). Sebagai gambaran, tunjangan eselon satu di kementerian mencapai Rp 19 juta.

Sri menambahkan, hak keuangan BPIP menjadi besar karena itu sudah termasuk dengan tunjangan lainnya. Mulai dari tunjangan transportasi, komunikasi, pertemuan, hingga asuransi kesehatan dan jiwa. Terlebih, kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu, sejak masih berbentuk UKP PIP pada juni 2017 lalu, para pejabat BPIP tidak pernah mendapat uang sedikitpun dari negara.

“Mereka sudah bekerja hampir setahun belum ada gaji, tunjangan, bahkan anggaran untuk operasi pun tidak ada,” imbuhnya.

Sri menjelaskan, BPIP mengemban peran yang tidak sederhana. Yakni pembinaan Pancasila yang belakangan ini terkena erosi oleh pemahaman lain.

“Untuk menjalankan itu banyak aktivitas, transportasi, komunikasi, pertemuan itulah yang masuk komponen hak keuangan,” tuturnya.

Sementara itu, Anggota Dewan Pengarah BPIP Mahfud MD enggan berkomentar banyak terkait hal itu. Melalui pesan singkatnya, pria asal Madura itu menilai apa yang dijelaskan Menteri Keuangan (Menkeu) sudah jelas. Bahwa hak keuangan yang diterima jajarannya meliputi banyak item.

“Semua sudah jelas, pemerintah yang membuat. Bukan BPIP yang meminta,” ujarnya. Dalam akun media sosialnya, mantan ketua MK itu mempersilahkan masyarakat yang tidak puas untuk menempuh jalur hukum dengan menggugat perpres tersebut ke MA.

Terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan, sejak dilantik Presiden Jokowi sebagai dewan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP) yang kemudian berubah nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati bersama delapan orang anggota dewan pengarah lainnya belum pernah mendapatkan gaji ataupun hak-hak keuangan dari negara.

Wakil Ketua MPR RI itu menyatakan, memang muncul berbagai kendala internal administratif birokrasi antarkementerian terkait.

“Dampaknya, hingga setahun berjalan, baik dewan pengarah, kepala, deputi dan perangkatnya hingga tenaga ahli sebanyak 30 orang tidak diberikan dukungan gaji dan hak keuangannya dalam bekerja,” ucap dia. (far/lum/tyo/JPG) 

Update