Rabu, 24 April 2024

BPJS Kesehatan Kurangi Layanan, Pasien Dirugikan, Dokter dan Rumah Sakit Protes

Berita Terkait

batampos.co.id – BPJS Kesehatan memangkas sejumlah fasilitas pelayanan bagi pasien dengan alasan untuk efisiensi keuangan. Di antaranya, pasien langganan fisioterapi maksimal hanya boleh menjalani dua kali seminggu. Begitu juga untuk pasien katarak. Level kerusakan mata pasien yang akan dibiayai BPJS dinaikkan.

Kebijakan ini diprotes Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena pasien akan menyalahkan mereka. Sekjen Pengurus Besar IDI, dr Moh. Adib Khumaidi SpOT, mengatakan dampak secara medis dari kebijakan BPJS Kesehatan belum banyak dirasakan dalam waktu dekat. Namun, dia yakin kebijakan tersebut dapat menurunkan mutu standar medis. ”Profesi (IDI) hanya ingin memberikan yang terbaik untuk masyarakat,” ujarnya.

Menurut Adib, sudah banyak laporan dari para dokter, mereka kena getah dari kebijakan pembatasan pelayanan rehabilitasi medik yang baru diberlakukan itu. Tentu rawan timbul komplain dengan menurunnya mutu standar dari kebijakan tersebut. ”Dokter yang akhirnya menerima komplain,” ungkapnya.

Adib merasa keputusan BPJS Kesehatan yang membatasi kuota tindakan dokter tidak bijak sama sekali. Sebab, penyakit setiap orang kadang harus ditangani dengan cara berbeda. ”Kalau tindakannya emergency akan bermasalah,” kata dokter spesialis ortopedi itu.

Sejak BPJS Kesehatan memberlakukan pembatasan layanan rehabilitasi medik, terutama fisioterapi, sejumlah rumah sakit melakukan penyesuaian.

Keputusan BPJS Kesehatan untuk efisiensi itu bukan kali ini terjadi. Tahun lalu, melalui keputusan menteri kesehatan, obat kanker payudara Herceptin tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. Padahal, jumlah penderita kanker payudara cukup besar, yakni mencapai 40 banding 100.000 (1:2.500).

Alasan BPJS Kesehatan membuat regulasi yang mulai disosialisasikan 21 Juli 2018 itu adalah untuk efisiensi dengan mengurangi pembiayaan pasien. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, menjelaskan, yang dimaksud dengan efektivitas pembiayaan adalah luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menuturkan alasan yang digunakan BPJS Kesehatan tidak tepat. Defisit yang ditanggung BPJS Kesehatan tak seharusnya memotong manfaat pelayanan untuk masyarakat. ”Rakyat sudah membayar iuran, tapi harus membayar lagi kalau ternyata tidak ditanggung BPJS Kesehatan,” ungkapnya.

Dia mencontohkan, seseorang seharusnya mendapat pelayanan fisioterapi lebih dari dua kali dalam seminggu, tapi yang diklaim BPJS hanya dua kali. Selain itu, disyaratkan untuk menggunakan dokter spesialis rehab medik. ”Hal itulah yang membuat RSUD Pasuruan memilih untuk menutup layanan rehab mediknya. Dia hanya punya terapis, tidak ada dokter spesialis. Nanti tidak diganti kalau tidak menggunakan dokter spesialis,” imbuhnya.

Yuniarti Tanjung alias Juniarti (kiri) pengidap kanker payudara HER2 positif mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (27/7). Yuniarti menggugat Presiden Negara Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Negara Republik Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatandan Dewan Pertimbangan Klinis karena merasa dirugikan karena menghentikan penjaminan obat Trastuzumab.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

Dia mengatakan, ada beberapa cara yang seharusnya bisa dilakukan BPJS Kesehatan untuk menutup defisitnya yang mencapai Rp 4,8 triliun per 31 Mei lalu. BPJS Kesehatan hendaknya mampu menarik piutang yang dilakukan beberapa pihak. ”Utang dari pemerintah (pasien PBI) mencapai Rp 500 miliar, dari sektor swasta Rp 764 miliar, peserta mandiri Rp 1,8 triliun, dan jamkesda Rp 500 miliar,” katanya.

Keadaan itu diperparah dengan tidak berkomitmennya pemda untuk mengalokasikan APBD minimal 10 persen untuk kesehatan. Akibatnya, banyak terjadi kesenjangan fasilitas kesehatan. Timboel mencontohkan, rumah sakit tipe A tidak ada di setiap provinsi. Akibatnya, pasien harus datang ke kota yang memiliki RS tipe A. ”Padahal, kalau mau dirujuk, yang dipikirkan bukan biaya perawatan. Namun, gimana sampai ke rumah sakit itu dan bagaimana bertahan hidup selama menjalani pengobatan,” tutur Timboel.

186 RS Hentikan Layanan

Dampak dikeluarkan peraturan direktur jaminan pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan sudah mulai dirasakan. Sebanyak 186 rumah sakit yang memiliki layanan fisioterapi untuk pasien BPJS Kesehatan, mulai kemarin pukul 18.00 berhenti melayani.

Sejak Kamis (26/7) lalu, Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) menginstruksikan anggotanya untuk tidak melakukan pelayanan fisioterapi bagi pasien BPJS Kesehatan. Layanan tersebut berhenti hingga waktu yang tidak ditentukan.

Ketua IFI Pusat, M Ali Imron, mengatakan bahwa surat yang dia tanda tangani itu untuk memberikan imbauan kepada anggotanya dalam menyikapi aturan BPJS Kesehatan No 5/2018. Dia mengatakan bahwa BPJS Kesehatan seolah ingin menghilangkan layanan fisioterapi. ”Di situlah ketersesatan terjadi. Potensi Freud besar,” ungkapnya.

Dia mengatakan bahwa menurut Peraturan Menteri Kesehatan 65 Tahun 2015, dalam pelayanannya dokter spesialis yang merasa pasiennya membutuhkan layanan fisioterapi akan merujuk langsung. Yang mengerjakan pun para terapi. ”Namun BPJS Kesehatan mengaruskan untuk merujuk ke dokter rehab medis,” ujarnya.

Dia mencontohkan pasien stroke yang ditangani oleh spesialis saraf. Saat di rumah sakit dan pasien dirasa membutuhkan terapi karena belum bisa bergerak, maka yang akan menangani adalah terapis dari fisioterapi. Lalu ketika pasien sudah diperbolehkan pulang dan membutuhkan transisi untuk kekehidupan sosialnya, maka di situlah peran dokter rehab medis.

”Misal saat ke kantor tidak bisa karena kantornya menggunakan tangga, itu peran dokter rehab,” ungkapnya.

”Seharusnya kalau BPJS mau melakukan efisiensi, jangan seperti ini,” ungkapnya.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta agar pelaksanaan aturan baru BPJS Kesehatan ditunda. Hal itu dia sampaikan saat acara sarasehan dengan tema Profesionalisme Menuju Universal Helath Coverage kemarin. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prof. dr. Ilham Oetama Marsis SpOG(K) mengapresiasi keputusan Menkes.

”PB IDI tetap akan mendukung program JKN untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia dengan memberikan pelayanan yang sesuai standar. Dengan situasi saat ini, Pemerintah mestinya tidak mengorbankan kepentingan masyarakat, mutu layanan, dan keselamatan pasien,” tuturnya.

(lyn/tom/fun/c10/tom)

Update