Jumat, 29 November 2024

Indahnya Mencium Tangan

Berita Terkait

Di era globalisasi saat ini, pendekatan dengan nilai-nilai tauladan dan takriman (kemulian) seperti mencium tangan sering dilupakan dan dianggap sesuatu yang ‘aneh” dan “tidak pantas” serta berbagai label lainnya. Bahkan dinilai menyimpang dari nilai syariat yang dibawa Rasululah SAW dengan slogan bid’ah dengan asumsi mengkultuskan seseorang.

Padahal mencium tangan merupakan sebuah bentuk penghormatan dan ketakdhiman terhadap orang yang mulia baik dari segi ilmu, umur dan lainnya. Mencium tangan merupakan salah satu sunah Rasulullah dan para sahabat. Mereka melakukannya dalam setiap kesempatan dan waktu untuk saling mendahului mencium tangan sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan.

Tradisi orang timur termasuk Indonesia juga mencium tangan. Budaya tersebut sudah lama menjadi tradisi umat Islam di negeri ini. Itu sebagai salah satu bentuk simbol penghormatan kepada mereka yang lebih tua, baik dalam kedudukan, keilmuan maupun dalam nasabnya. Mencium tangan para ulama, orangtua dan lainnya merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam perspektif agama. Sudah sewajar dan sepatutnya kita sebagai orang tua membiasakan dan mendidik anak-anak untuk membiasakan mencium tangan sebagai bentuk ta’lim kepada mereka. Sehingga ketika dewasa nilai etika yang telah kita didik sejak dini menjadi perkara yang tidak terpisahkan dalam keseharian.

Mencium tangan ulama, orang tua dan sejenisnya merupakan salaman syar’i serta sangat dianjurkan dalam Islam. Budaya ini harus dilestariakan juga sebagai sunnah Rasulullah SAW. Bentuk penghormatan itu banyak, maqasid (tujuannya) adalah ikraman (memuliakan). Sedangkan wasail (perantaraan) bentuknya disesuaikan dengan tempat, dan waktu. Contohnya seperti mencium tangan, berdiri, dan lainnya. Corak wasail itupun selama tidak dilarang dalam qanun syara’. Hal ini disebutkan dalam sebuah qaidah yang berbunyi “Lil wasail hukmu al-maqasid” (perantaraan itu merupakan sebagai hukum untuk sebuah tujuan).

Pencetus qaidah ini secara kontekstualnya adalah Imam Syafi’i (Imam Syafi’I, kitab al-Umm:4:49). Secara tekstualnya pertama kali disinggung Syekh Izuddin bin Abdissalam (Kitab Qawaid ahkam: 1: 46). Namun dewasa ini ada sekelompok ulama pembaharuan membantah kaidah di atas dengan ungkapan yang popular “al-Ghayah la tubarriru al-washilah” (tujuan itu tidak membenarkan perantaran). Slogan tersebut terbantahkan dalam perkataann Syekh Abu Bakar al-Andalusi yang berbunyi: ”Setiap tindakan hamba akan didapati, adakalanya wasilah adakalanya maksud (maqasid)”. (Syekh Abu Bakar bin Ashim Al-Andalusi, Nazam Murtaqa al-Wushul).

Mencium Tangan dalam Persfektif Agama Islam

Mencium tangan merupakan salah satu hal yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Banyak literatur hadist disebutkan sunat mencium tangan. Pernah suatu ketika rasululla barusan tiba di Madinah. Para sahabat termasuk masyarakat di sana berebut mencium tangan beliau, seperti disebutkan dalam sebuah hadist:

”Sewaktu kami tiba di Madinah, kami berlomba-lomba mencium tangan nabi SAW.” (HR Imam Bukhari dan Abu Daud no. 5225). Dalam hadist lainnya diungkapkan, dari Ka’ab bin Malik:
”Sesungguhnya sewaktu beliau ditimpa keuzuran, nabi tiba, maka beliau terus mengambil tangan nabi kemudian menciumnya.” (HR. Imam Tabarani di dalam kitabnya Mu’jam al-Kabir, no. 186).

Syekh Nawawi menyebutkan sunat hukumnya mencium tangan seseorang yang disebabkan faktor zuhud, kebaikan, ilmu, atau karena kedudukannya dalam agama. (Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fathul Bari, Syekh Ibrahim al-Bajuri: 2: 116). Tradisi mencium tangan di antara satu sama lainnya telah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan sahabat. Tentu saja indikatornya semata-mata hanyalah untuk memuliakannya.

Kondisi ini telah dipraktekkan Abu Ubaidah yang mencium tangan Umar Bin Khattab. Begitu juga Ka’ab radhiaullahu ‘anhu mencium tangan nabi. Di samping itu salah seorang penulis ayat Alquran pun pernah mencium tangan Ibnu Abbas ketika Ibnu Abbas. (Syekh Said Abdurrahman,Bughyah Al-Murtasyidin, hal 296).

Diceritakan salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika rasulullah meninggal yakni Abdullah ibn Abbas pergi kepada sebagian sahabat rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika dia pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu.

Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat Abdullah ibn Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. Abdullah ibn Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan Abdullah ibn Abbas, karena dia adalah keluarga rasulullah.

Zaid ibn Tsabit berkata: ”Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. (HR. Ibnu Sa’dan dalam Tabaqat: 2: 360). Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bahri mengomentari hadist ini dengan isnadnya jayyid. Melihat fenomena ini seharusnya Ibnu Abbas yang harus mencium tangan Zaid, sebab Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari Abdullah ibn Abbas. Namun tujuan Zaid Bin Tsabit tiada lain selain untuk menghimpun diantara kemuliaan dan kebaikan dari beliau. Hal sama juga dilakukan oleh salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Umar juga pernah mencium tangan rasulullah seperti disebutkan dalam hadist: ”Kami telah mengahmpiri kepada nabi saw,kemudian terus mencium tangannya.(HR. Imam Abu Daud no.5223).

Namun tidak selamanya mencium tangan itu disunatkan. Apabila mencium tangan seseorang dengan tujuan duniawiyah seperti karena kekayaan atau lainnya, hukumnya dimakruhkan. Haditsnya adalah: Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah dua pertiga agamanya”. (Asna al-Mathalib: 3: 114, Ibnu Hajar, Fathul Bari:11:57).

Salah seorang tokoh ulama berpengaruh dalam mazhab Hambali yakni Syekh As-Sifaraini mengisahkan bahwa syekh Al-Marwazi menyebutkan beliau pernah bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal) menyangkut ciuman tangan. Beliau menjawab jika menciuman tangan karena faktor keagamaan dibolehkan, tetapi sebaliknya jika disebabkan faktor keduniawinya, maka hak itu dilarang dalam agama.(Syekh As-Firaini, Ghidza’ Al-Albab).

Argumen ini seolah-olah kontradiksi dengan Imam Malik. Beliau berpendapat makruh mencium tangan orang lain, baik itu orang alim, ayah, suami atau lainnya.(Abu Hasan Al-Maliky, Kifayah At-Thalib). Menalaah komentar Imam Malik tersebut bukan berarti dilarang secara mutlak, namun yang dilarang itu mencium tangan orang sombong dan bodoh.

Sedangkan di kalangan ulama mazhab Hambali juga membolehkan mencium tangan, kaki, kepala, jidat, dan di antara dua mata dengan maqasid (tujuannya) untuk takriman (memuliakan). Namun dilarang mencium dan sebagainya dengan syahwat kecuali suami terhadap istrinya. (Syekh abu Jakfar At-Thawi, Hasyiah Maraqil Falah:1:216).

Bahkan disebutkan tidak mengapa mencium tangan hakim yang baik agamanya dan pemimpin yang adil. Juga disunatkan mencium kepala orang alim. (Imam Muhammad bin Ali al-Hambali, Durr Al-Mukhtar: 6 :383). Berdasarkan pembahasan di atas, mencium tangan, berjabat tangan dan sejenisnya dalam lintas mazhab merupakan sebuah perbuatan yang dianjurkan dengan niat yang dibenarkan dalam syariat, seperti untuk kemulian, penghormatan, kealiman dan lainnya.

Di sebutkan dalam kitab ‘Sarim al-Maslul’ oleh ibn Taimiyyah apa yang dikeluarkan oleh ibn al-A’rabi dan al-Bazzar:“Sesungguhnya seorang lelaki menyaksikan berkenaan mukjizat sebatang pokok yang datang kepada rasulullah, kemudian kembali ke tempatnya semula. Lelaki itu berkata sambil berdiri kemudian terus mencium kepala, tangan, dan kaki rasulullah.

Menurut riwayat Ibnu al-A’rabi: “Lelaki tersebut meminta izin nabi untuk menciumnya, maka nabi pun mengizinkan. Maka lelaki tersebut mencium kepala dan kaki nabi”. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam hal ini juga berkata: “Sesungguhnya kedua lelaki ini mencium tangan nabi dan juga kaki beliau. Dan beliau-pun membiarkannya praktik tersebut (iqrar).”

Oleh sebab itu diperbolehkannya mencium tangan dan kaki orang tua karna kemulian dan ilmunya. Begitu juga mencium tangan dan kaki nya ayah, ibu dan orang yang menyerupainya, karena kedua orang tersebut berhak mendapatkan respek seperti itu. Dan hal ini termasuk bagian dari sifat tawadhu’’’(Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syarah Riayadhus Shalihin:4:451)

Orang Tua Mencium Tangan Anaknya

Menciumi tangan orang tua suatu perintah dan keharusan yang harus dilakukan seorang anak dan ini lazim terjadi dalam masyarakat. Puteri rasulullah, Fatimah ketika masuk mendapati dan bertemu rasulullah, beliau berdiri dan terus mencium tangan rasulullah. (HR. Abu Daud, no. 5217). Namun sesuatu hal yang jarang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya dengan menciumi sang buah hati. Hal ini pernah dilakukan rasulullah terhadap anaknya Fatimah. Disebutkan bahwa apabila Fatimah masuk bertemu rasulullah, rasululla terus berdiri dan mengambil tangan puterinya dan menciumnya serta duduk bersamanya di dalam satu majlis. (HR. Imam Turmudzi, no. 3872).

Bayangkan bagaimana mulianya akhlak rasulullah mencium tangan anaknya Ketika hal itu dipraktekkan rasulullah dalam membangun rumah tangganya, adakah terlintas dalam pikiran kita untuk meneladani beliau dalam mewujudkan keluarga baiti Jannati?.

Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa Abu Bakar Ash-Siddiq ketika mendapati puterinya Aisyah RA demam, lantas beliau mencium puterinya. Itu menandakan ciuman tersebut bukan hanya kepada sang puteranya saja. (HR. Abu Daud, no. 5222). Fenomena di atas merupakan salah satu bentuk metode untuk membangun komunikasi dalam keluarga dengan pendekatan psikologi yang harus diteladani orang tua. Itu untuk memberi semangat dalam penyembuhan sambil berobat.

Salah satu ibrah lainya yang dapat dipetik dari keangungan akhlakul karimah nabi dan sahabat beliau Abu Bakar di atas adalah anak mencium tangan orang tua sebagai wujud realisasi birrul walidain kepada mereka. Sedangkan ciuman orang tua kepada putera dan puterinya sebagai wujud aplikasi rasa kasih sayang dan belaian mahabbah (kecintaan). Sayangnya selama ini praktik itu sedkit demi sedikit telah hilang dan terkikis oleh gemuruh riuh “tsunami” akhlak di era globalisai. ***

Helmi
Helmi Abu Bakar El-langkawi, Staf Pengajar di Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga, Bireun

Update