batampos.co.id – Suleman mengerahkan seluruh keluarganya untuk membantu mencari uang. Tapi bukan dengan cara biasa. Ia meminta mereka mengeruk pasir merah yang ada di pinggir jalan.
“Kalau nggak begini, bagaimana mau makan?” kata Suleman.
Suleman sedang duduk beristirahat di samping gundukan pasir. Tangannya memegang buah pinang dan sewadah kecil kapur sirih. Ia asyik mengudap pinang yang dicocol ke kapur sirih.
Di hadapannya, istri dan anak perempuannya tengah bekerja. Mereka menggunakan penyerok besar untuk mengambil pasir. Kulit mereka hitam legam. Mereka membungkus kepalanya dengan topi.
“Capek juga seperti ini,” kata Moe, anak perempuan Suleman.
Sesekali, Moe mengusap peluh yang ada di wajahnya. Ia berhenti sekedar sepuluh detik sebelum kemudian menyerok pasir kembali.
“Kerja begini harus santai. Soalnya badan pegal. Punggung pegal, kaki pegal, semuanya,” timpal Nababan.
Kerja begini mereka lakoni setiap hari. Mulai pukul 10.00 WIB hingga 17.00 WIB. Mereka akan berhenti untuk makan siang pada pukul 12.00 WIB hingga 14.00 WIB. Rumah mereka tak berada jauh dari situ.
Pasir-pasir itu kemudian akan dijual ke truk-truk yang melintasi jalan itu. Mereka memasang harga Rp 300 ribu per bak per truk. Kadang, dalam seminggu, mereka bisa memenuhi tiga bak truk.
“Harga itu juga masih ditawar sama orang lorinya. Yah, bagaimanalah kerja begini,” katanya.
Suleman mengaku sudah mengerjakan kegiatan ini sejak tahun 1996. Ia berpindah-pindah tempat. Kali ini, ia mendapat lahan di depan kawasan Taiwan Industrial Park bersama orang-orang lainnya.
Setiap orang mendapat lahan seluas 1 x 0,5 meter persegi saja. Mereka sudah memasang patok-patok sebagai pembatas. Patok itu berupa potongan kayu atau ranting pohon. Setiap orang tidak boleh melewati patok itu.
“Kalau kita mau ambil pasir di tempat orang lain ya kita harus bayar,” tutur Suleman. (ceu)