batampos.co.id – Mantan Deputi III Badan Pengusahaan (BP) Batam, Istono, buka suara terkait hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dianggap menyudutkan kinerja BP Batam di masa kepemimpinan Mustofa Widjaja. Istono membantah sebagian besar temuan BPKP.
Misalnya terkait temuan BPKP yang menyebut BP Batam mengabaikan surat Ketua Dewan Kawasan (DK) Batam yang juga Menko Perekonomian, Darmin Nasution.
Di mana dalam surat bernomor S-57/M.EKON/03/2016 bertanggal 8 Maret 2016 tersebut Darmin meminta BP Batam untuk tidak mengambil kebijakan, keputusan, tindakan penting dan strategis serta berimplikasi luas, misalnya pengalihan aset, pengamanan dokumen, penandatanganan perjanjian, pemberian dan perpanjangan izin, perubahan status hukum dan organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
“Surat tersebut hanya menyarankan BP Batam untuk tidak mengambil keputusan strategis, bukan melarang,” jelasnya.
Karena itulah, kata Istono, kebijakan BP Batam menerbitkan 149 izin penetapan lokasi (PL) untuk lahan seluas 300 hektare lebih dalam rentang waktu 8 Maret hingga 5 April 2016, bukan sebuah kesalahan.
“Menerbitkan PL itu bukanlah bagian dari keputusan strategis, itu merupakan bentuk pelayanan publik. Tak mungkin kami hentikan karena tiap harinya banyak permohonan (lahan) yang masuk,” jelasnya.
Menurut Istono, dari 149 PL yang diterbitkan itu sebagian besar datanya sudah diproses jauh sebelum Ketua DK menerbitkan surat edaran itu.
Berikutnya mengenai transaksi pembayaran termin kedua dana Uang Penghargaan Pengabdian (UPP) sebesar Rp 227.575.387.585 pada tangal 29 April 2016, Istono menjelaskan UPP itu merupakan uang pensiun yang berlaku di internal BP Batam dan sudah ada aturannya. Lagi-lagi Istono menyebut hal itu bukan bagian dari keputusan strategis, melainkan merupakan kewajiban rutin.
Menurut Istono, banyak yang salah menafsirkan isi surat Ketua DK tersebut. Menurut dia, keputusan yang bersifat strategis di BP Batam antara lain perombakan organisasi dan perjanjian kerjasama dengan investor luar negeri.
“Kami sudah bertanya ke Menko saat itu, dan urusan terkait layanan publik mengenai pertanahan boleh jalan,” tegasnya.
Sementara soal temuan BPKP yang menyebut Bandara Hang Nadim merugi Rp 29.8 miliar, itu karena bandara tersebut tidak bisa sepenuhnya dikembangkan secara komersil. Alasannya, sampai saat ini Bandara Hang Nadim masih berupa Badan Layanan Umum (BLU). Dan BLU tak boleh cari profit secara penuh.
“Harus ada sosialnya,” ujarnya.
Memang, bandara ini merupakan satu-satunya bandara di Indonesia yang tidak dikelola oleh PT Angkasapura melainkan oleh BP Batam.
“Kami tidak bisa cari uang secara kebablasan,” katanya.
Makanya, tarif airport tax di Hang Nadim lebih kecil daripada bandara lainnya. “Kalau tidak salah, tarifnya sekitar Rp 30 ribu, bandara lain malah sudah ada yang mencapai Rp 70 ribu,” ungkapnya.
Sedangkan mengenai masalah tunggakan pajak parkir ke Pemerintah Kota (Pemko) Batam senilai Rp 794 juta hanyalah masalah administrasi. Termasuk tagihan listrik dari mitra bandara yang macet sebesar Rp 479 miliar.
“Tunggakan Pemko ke BP Batam juga banyak kok,” katanya.
Dan mengenai kerugian Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB), Istono membenarkan defisit senilai Rp 28,1 miliar tersebut terjadi karena RSOB menanggung selisih tarif pengobatan karena tarif BPJS lebih rendah dari tarif RSOB.
“Makanya merugi karena RSOB ditekan oleh BPJS,” ujarnya. (leo)