Selasa, 23 April 2024

Uang Dua Kardus Hasil OTT KPK Terhadap Bupati Klaten

Berita Terkait

Penyidik KPK menunjukkan uang tunai dalam kardus saat diamankan petugas KPK sebagai bukti dugaan korupsi Bupati Klaten Sri Hartini. Foto: Miftahul Hayat/Jawa Pos

batampos.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan barang bukti yang mereka dapat saat operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Klaten, Jateng, Sri Hartini. Antara lain, uang dua kardus yang diduga hasil lelang jabatan.

Sang bupati kini ditahan KPK. Kasusnya makin menguatkan kecenderungan perilaku koruptif politik dinasti. Sri ibarat mewarisi takhta suaminya, Haryanto Wibowo, yang menjadi bupati Klaten periode 2000–2005.

Sebelumnya, Sri menjadi wakil bupati, mendampingi Bupati Sunarna yang menjabat untuk periode kedua pada 2010–2015.

Saat ini istri Sunarna, Sri Mulyani, menjadi wakil Sri Hartini sampai 2021. Praktis, dalam kurun 2000–2021, Klaten silih berganti di bawah kendali pasutri Haryanto Wibowo-Sri Hartini dan Sunarna-Sri Mulyani.

’’Kondisi seperti ini biasanya sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi,’’ ujar Wakil Ketua KPK Laode di Jakarta, Sabtu (31/12/2016).

Haryanto pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Polwil Surakarta pada 2005. Dia terbelit kasus pengadaan buku paket tahun pelajaran 2003–2004 senilai Rp 4,7 miliar dan uang perjalanan dinas ke luar negeri.

Sementara itu, Sri ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dalam kasus promosi dan mutasi jabatan. Penyuapnya adalah Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten Suramlan.

’’Ini kasus yang signifikan bagi KPK. Kasus pertama yang berkaitan dengan dagang jabatan,’’ kata Laode.

Enam orang lain yang dibawa ke kantor KPK pada Jumat malam (30/12/2016) masih berstatus saksi. Yakni, tiga PNS (Nina Puspitarini, Bambang Teguh, dan Slamet), seorang pegawai honorer (Panca Wardhana), serta dua swasta (Sukarno dan Sunarso).

Tersangka sangat mungkin bertambah. KPK sudah mengantongi barang bukti berupa buku catatan berisi daftar penyetor uang suap yang mereka sebut sebagai uang syukuran itu.

’’Buku penerimaan uang dari tangan NP (Nina Puspitarini),’’ ujar Laode. Yang menerima lebih dari 20 orang.

Penyuap memberikan uang sesuai dengan eselon atau jabatan yang dikehendaki. Angkanya mulai ratusan juta hingga puluhan juta untuk satu jabatan.

Barang bukti uang yang disita adalah Rp 2 miliar, USD 5.700, dan SGD 2.035. ’’Kalau eselonnya tinggi bisa Rp 100 juta. Kalau eselon bawah bisa puluhan, tidak selalu Rp 50 juta,’’ ungkap Laode.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, ada orang lain yang diduga menerima dan terlibat uang suap.

’’Misalnya, A menerima melalui B atau C. Kemungkinan tersangka bertambah tergantung di proses penyidikan,’’ ujar dia.

Penangkapan Sri itu menjadi catatan penutup tahun KPK. Dalam kurun 2016, komisi antirasuah telah melakukan 17 kali operasi tangkap tangan (OTT).

Empat orang di antaranya kepala daerah. Yakni, Bupati Subang Ojang Sohandi pada April, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian (September), Wali Kota Cimahi Atty Suharti (Desember), dan Bupati Klaten Sri Hartini.

Wali Kota Atty dan Bupati Sri termasuk kategori politik dinasti. Suami Atty, Itoc Tocija, adalah mantan wali kota. Dia juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Donald Fariz menuturkan, politik dinasti memang cenderung koruptif.

Sebab, untuk melanggengkan kuasa, diperlukan biaya yang besar guna merawat jaringan yang telah terbentuk.

Misalnya, organisasi masyarakat, keluarga, hingga partai politik. ’’Simpul-simpul itu butuh biaya besar untuk maintenance,’’ katanya.

Calon kepala daerah dari politik dinasti bisa saja sudah tenar karena keluarganya menjabat. Tapi, sistem politik di Indonesia masih pragmatis.

Belum secara substansi mengandalkan kapabilitas calon. ’’Secara prosedur, politik memang jalan. Tapi, substansinya tidak,’’ ujar Donald. (jun/c19/ca/jpnn)

Update