Merawat jasad kerabat yang meninggal dunia menjadi urusan yang sangat serius di masyarakat Tionghoa. Tata cara dan perlakuan yang tidak benar bagi si jenazah diyakini bisa berdampak buruk untuk keluarga yang ditinggalkan.
“Kepercayaan orang Tionghoa, orang yang baru saja mati itu tidak pernah sadar kalau dirinya sudah mati. Hanya tidur saja,” kata Ketua Himpunan Seni Budaya Suku Tionghoa Indonesia Batam (Hisbutib) Harsono.
Jenazah itu, lanjut Harsono, merasa masih hidup. Ia masih berkelana. Itulah mengapa, selama disemayamkan, jenazah juga disuguhi makanan-makanan seperti layaknya seorang yang hidup.
Makanan-makanan itu terdiri dari ayam, babi, ikan (sam sang), tiga jenis buah -semangka dan nanas, tiga jenis kue, susu, teh, kopi, dan tiga macam sayur kesukaan almarhum semasa masih hidup. Setiap hari, makanan itu harus diganti. Kecuali semangka yang akan dibanting saat jenazah hendak diberangkatkan ke pemakaman.
Selama penyemayaman, jenazah akan disembahyangi. Lamanya penyemayaman tergantung pada kemampuan dan kemauan kerabat yang ditinggalkan. Syaratnya, harus ganjil. Bisa tiga, lima, atau tujuh hari.
Satu hari menjelang hari pemakaman, secara simbolis, keluarga memanggil jenazah untuk mandi. Gayung dan air telah disiapkan. Saat mandi itulah, ia baru akan menyadari ia sudah meninggal. Dan kini berstatus sebagai arwah.
“Saat dia menyiramkan air ke badannya, dia baru sadar kalau dia itu sudah mati. Besoknya baru dimakamkan,” katanya.
Dahulu kala, jenazah biasa disemayamkan di rumah masing-masing. Kini, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang kian pesat, proses penyemayaman jenazah dilakukan di rumah duka.
Rumah duka adalah sebuah bangunan yang khusus dibuat sebagai tempat penginapan jenazah sementara. Bangunan tersebut terbagi menjadi beberapa blok. Satu blok untuk satu jenazah.
Batam baru memiliki dua rumah duka. Yang paling ramai dan sering digunakan oleh masyarakat Tionghoa adalah Rumah Duka Marga Tionghoa di Jalan Gajahmada, Baloi Indah. Orang-orang, namun demikian, lebih senang menyebutnya, Rumah Duka Batu Batam.
Rumah Duka itu dibangun oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI). Peresmiannya dilakukan pada 28 November 2000. Sejak saat itu, hingga kini, rumah duka itu memiliki delapan blok.
Lantaran tidak semua masyarakat Tionghoa mengerti tata cara penyemayaman jenazah, di rumah duka itu berjejer sekretariat-sekretariat yayasan yang biasa merawat jenazah. Ada tiga yayasan yang berkantor di rumah duka tersebut. Ketiganya, yakni, Yayasan Vihara Umat Buddha Batam, Yayasan Halim Batam, dan Yayasan Bakti Nusantara.
Pengurus Yayasan Vihara Umat Buddha Batam, Mangka, mengatakan, keluarga yang berduka dapat menghubungi salah satu yayasan tersebut untuk merawat jenazah kerabat mereka. Setiap yayasan memiliki cara yang sama dalam merawat jenazah. Yayasan Vihara Umat Buddha Batam menjadi yayasan yang paling lama berkecimpung dalam hal tersebut.
Mangka menceritakan, usia yayasan itu sudah mencapai 40 tahun. Sebelum ada rumah duka, mereka melayani perawatan jenazah di masing-masing kediaman warga. Peralatan pun hanya disimpan di rumah. Mereka membuka kantor di areal pemakaman Sei Temiang.
“Dari Sei Temiang pindah ke Blok 4 (Baloi). Lalu ke (Pasar) Angkasa (Jalan Duyung, Jodoh). Ketika (rumah duka) ini dibuka, kami pindah ke sini,” ujarnya.
Yayasan Vihara Umat Buddha Batam itu biasa merawat jenazah secara lengkap. Namun, perawatan itu kembali ke keluarga yang berduka. Apakah ingin lengkap atau tidak.
Begitu jenazah sampai di rumah duka, pihak yayasan akan menyediakan satu baskom air dan handuk. Air itu untuk membilas tubuh jenazah. Keluarga dapat mengelap tubuh itu dengan handuk yang dibasahi air. Air itu disimpan untuk kemudian disiram di sekitar makam jenazah tersebut.
Setelah dimandikan, jenazah akan didandani dengan pakaian rapi. Seperti dengan setelan jas atau pakaian adat Tionghoa lama. Tak jarang, jenazah itu juga dipakaikan make up.
“Intinya jadi cantik lagi-lah,” kata pria yang memiliki nama Indonesia Nasor itu.
Barulah kemudian, jenazah itu disembahyangkan. Dalam setiap hari, setiap anggota keluarga wajib minimal melakukan empat kali sembahyang. Pihak yayasan dapat memandu melafalkan doa untuk roh orang yang meninggal tersebut. Masyarakat Tionghoa tidak terlalu familiar dengan doa-doa sembahyang tersebut.
Pihak yayasan juga akan menyediakan segala kebutuhan jenazah dan kerabat. Seperti misalnya, dupa, sajian doa, peti, ataupun baju putih-putih dan pangkat keluarga untuk para kerabat yang ditinggalkan. Makanan untuk disuguhkan ke para pengunjung pun juga dapat disediakan. Apakah itu cemilan atau menu buffet.
“Tapi tergantung keluarga juga. Kalau keluarga mau beli sendiri ya tidak apa-apa,” tuturnya lagi.
Pihak yayasan juga akan memberi tahu pantangan-pantangan atau kewajiban yang harus dilakukan para kerabat yang berduka. Kerabat, kata Akuang, tidak boleh mengenakan pakaian berwarna merah. Mereka wajib mengenakan setelan putih-hitam. Ada juga pernik yang dilekatkan di lengan baju para kerabat itu. Ini yang namanya pangkat keluarga. Seperti misalnya, anak, suami atau istri, atau juga cucu.
“Jadi ketika tamu datang, mereka bisa tahu mana yang anak mana yang cucu,” tambah Akuang.
Satu hal yang harus diperhatikan keluarga dalam masa berduka adalah menghindari makanan-makanan yang memiliki kulit. Seperti misalnya, kerang, kacang tanah, telur, udang, dan kwaci. Sebab, ketika kulit-kulit makanan itu dibuka, mereka percaya, roh almarhum tidak akan tenang.
Selama disemayamkan, jenazah itu harus ditemani keluarga. Sebab, ada hio, lilin, dan lampu minyak yang harus terus dijaga tetap berpendar. Ketiga hal itu tidak boleh padam. Kalau padam, itu pertanda buruk.
“Sebelum hio itu habis, keluarga harus menyambung dengan hio baru,” tuturnya.
Aturan itu berlaku untuk semua jenazah. Baik itu jenazah yang meninggal baik-baik atau meninggal karena kecelakaan. Akuang mengatakan, untuk jenazah yang meninggal karena kecelakaan, pihak yayasan akan melakukan sembahyang tambahan di lokasi kecelakaan.
Kalau lokasi kecelakaan itu di jalan, mereka akan melakukan sembahyang di jalan. Kalau lokasinya di Dam Seiladi, misalnya, mereka juga akan melakukan sembahyang di sana. Mereka akan menggelar prosesi pemanggilan arwah. Arwah itu dipanggil untuk bisa bersatu dengan jasadnya di rumah duka.
“Kalau kejadian dibunuh, seperti yang terjadi di (Perumahan) Taman Kota kemarin, kami juga melakukan sembahyang di rumahnya. Sembahyang itu untuk membersihkan rumah itu,” ujarnya.
Yayasan Vihara Umat Buddha Batam biasa menerima permintaan perawatan jenazah dari keluarga. Namun, tak jarang, mereka juga mendapat panggilan dari polisi. Panggilan itu untuk merawat jenazah-jenazah orang Tionghoa yang tidak diketahui asal-usul dan keluarganya.
Tahun 2016 lalu, yayasan itu melayani hingga 13 mayat tanpa nama. Ini jumlah mayat tanpa nama terbanyak yang mereka layani dalam satu tahun. Untuk kasus-kasus seperti itu, yayasan melakukan perawatan itu secara cuma-cuma.
Mereka akan menjemput jenazah itu dari Ruang Mayat RS Otorita Batam atau RS Bhayangkara. Mereka telah menyiapkan peti mati. Jenazah dimasukkan ke dalam peti dan langsung diantar ke pemakaman untuk dikuburkan. Sembahyang dilakukan di ruang mayat.
“Untuk orang-orang yang tidak mampu pun, kami tidak akan memungut biaya. Kami melakukannya untuk sosial,” jelas Akuang.
Rumah Duka Batu Batam sudah dirasa tidak cukup untuk kondisi saat ini. Pernah, Yayasan Vihara Umat Buddha Batam menerima hingga 11 jenazah. Karena tidak muat, jenazah sampai disemayamkan di kantor yayasan.
“Tapi (rumah duka) ini mau dibesarkan lagi itu di samping,” kata Mangka, Pengurus Yayasan Vihara Umat Buddha Batam, sambil menunjuk areal di samping rumah duka yang ada saat ini.
Di sana, sedang berlangsung pembangunan. Bangunan itu satu tingkat yang panjang. Bangunan itu disekat dengan tiang-tiang. Terhitung lebih dari lima sekat yang ada di sana.
“Rumah duka ini selalu penuh. Kalau bangunan itu sudah jadi, semua akan terlayani,” ujarnya. (WENNY C PRIHANDINA, Batam)