Jumat, 15 November 2024

Melihat Lebih Dekat Kapal Vessel Vega Berusia 125 Tahun

Berita Terkait

foto: chahaya simanjuntak / batampos

Senada dengan bentuknya yang masih tradisional, usia kapal ini sudah sangat tua, 125 tahun. Dinamai Vega Valetta Malta atau Vessel Vega. Sudah hampir seminggu terparkir di waterfront Nongsa Point Marina and Resort di kawasan Nongsa, Batam.

Kapal itu menarik perhatian karena bentuknya berbeda dari puluhan kapal modern bercat putih yang terparkir di waterfront tersebut. Keseluruhan body-nya terbuat dari kayu seperti sampan besar, dan penuh dengan ikatan tali layar yang membentang.

Sejauh mata memandang dari lobi hotel, dari puluhan tali layar yang membentang mulai dari haluan hingga buritan kapal, di antara dua tiang kayu besar yang berfungsi sebagai kompartemen penahan utama, ada satu tali dengan lebih dari 40 bendera dari berbagai negara di dunia terpasang di sana, termasuk bendera Indonesia, sang Merah Putih. Bendera itu terlihat berkibar akibat angin kencang siang itu.

Melihat dari dekat, lambung kapal ini baru saja dicat liris tiga warna, yakni hijau, putih, dan kuning sebagai warna yang mendominasi. Tiba-tiba seorang perempuan dari arah buritan kapal, menyapa dengan ramah.

“Hello,” ujarnya.

Dia adalah Margarete Macoun.

“Panggil saya Meggi,” ujarnya dengan senyum lepas yang ramah. Saat itu ia tengah berbincang dengan Lukas, sukarelawan mereka yang berasal dari Polandia saat tengah bersiap untuk membersihkan tiang utama kapal.

Meggi dilahirkan di Praha 1965 lalu dan kuliah di Jerman. Semasa muda, ia sukses sebagai marketing iklan komersial di Eropa. Dengan ramah, ia memperkenalkan suaminya, Shane Granger, pria berkebangsaan Jerman yang pada masa mudanya juga sukses sebagai fotografer iklan, pilot, dan juga ahli perkapalan. Mereka berdua inilah yang kini menjadi pemilik kapal tua Vega Vessel bersejarah ini.

Dalam kesempatan mengobrol bersama mereka di atas kapal tersebut, Shane mengungkapkan, kapal yang kini dinamai Vega Historic Vessel ini dibangun oleh seorang berkebangsaan Norwegia, Ola A Nerhus pada 1892 di Nerhuson Shipyard di Hardanger, salah satu distrik kecil di timur Norwegia.

Dalam awal perjalanannya sejak dibuat, kapal ini digunakan sebagai kapal kargo untuk mengirim berbagai barang antar lintas negara. Kapal ini sudah mengelilingi hampir seluruh dunia, mulai kawasan Mediterania, Afrika, Karibia, bahkan pernah menjadi kapal dagang di Cile, dan sempat membawa para imigran Eropa berlayar ke Amerika Utara.

“Hingga suatu hari pada 2001, bersama Meggi, kapal ini saya beli dan gunakan sebagai kapal pribadi untuk berlayar, mencari ketenangan dan menjauh dari hiruk pikuk kota besar,” ujarnya.

Pria berusia 68 tahun ini, sambil mengambil sisa rokoknya dari atas laci kapal mengungkapkan, ketika pertama sekali menemukan kapal ini, banyak hal yang harus diperbaiki.

Not at all like she is now. Kami harus bekerja keras memperbaikinya supaya layak berlayar kembali. Memperbaiki semua sisi dalam tanpa menghilangkan wujud asli kapal ini dibuat, hingga layak dan nyaman untuk ditinggali sebagai rumah sekaligus tempat bekerja,” ungkapnya.

Shane dan sang istri mengungkapkan, sudah lebih dari 12 tahun mereka tinggal di atas kapal tersebut dengan bekerja untuk misi kemanusiaan. Lambung kapal disulap menjadi ruangan yang layak. Ada dapur, kamar, dan beberapa ruang yang digunakan sebagai ruangan serbaguna saat mereka berlayar. Sayang, tak sempat menuruni anak tangga menuju lambung kapal untuk melihat seisi ruangan.

“Kamu boleh masuk, tapi saya tak yakin kamu bisa menikmatinya saat melihat seisi ruang, karena (ruangan,red) sangat berantakan saat ini. Melihat versi rapinya, kamu bisa mengunjungi website kami di www.sailvega.com,” ujar Shane.

Lantas, bagaimana akhirnya kapal kargo ini berubah menjadi kapal misi kemanusiaan? Sambil mengisap rokoknya, pria yang mengenakan kaus kerah hitam dan celana pendek ini mengungkapkan, hal ini bermula di siang hari, saat mereka tengah berlayar, mereka dikagetkan dengan berita tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 lalu.

foto: ahmadi sultan / batampos

“Kami tengah tidur siang, hingga mendengar kabar ada bencana tsunami di Indonesia, di Aceh. Saya berpikir, apa yang harus kuperbuat untuk membantu mereka,” ujar pria yang juga pernah bekerja sebagai pilot di Afrika Timur ini.

Bersama sang istri dan kru sukarelawan yang bekerja padanya, mereka memutuskan untuk berlayar menuju Aceh. Melewati samudera sejauh 7 ribu mil untuk mengumpulkan bantuan untuk selanjutnya dibagikan kepada para korban di Aceh.

“Saat itu, kami berhasil mengumpulkan sekitar 15 hingga 20 ton barang untuk kebutuhan pendidikan dan perlengkapan medis serta obat-obatan,” ujarnya.

Hidupnya berubah saat itu, dan langsung memutuskan pelayaran yang mereka lakukan dengan Vessel Vega ini selanjutnya harus menjadi misi pelayaran kemanusiaan hingga akhir hayat mereka. Hingga saat ini sejak kejadian tsunami Aceh, mereka fokus dalam misi pendidikan dan pengobatan medis ke berbagai pulau-pulau terpencil di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan juga Indonesia. Mereka jatuh cinta dengan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Mereka membantu pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal di sana dengan cara terjun langsung.

“Kami sudah mengunjungi berbagai kawasan di Indonesia, mulai dari Aceh, Sulawesi, Ambon, Jawa, Papua dan akan mengunjungi banyak pulau-pulau lain. Ada 17.500 pulau di Indonesia, dan kamu tahu pulau-pulau itu sangat indah tapi sayang sangat terisolasi. Kami mencintainya. Kami telah membagikan berbagai kebutuhan yang kami kumpulkan dari para supporter Vega, seperti dari Australia,” ujar Shane.

Tidak lama sebelum berlayar menggunakan Vega, Shane juga sudah aktif di misi kemanusiaan. Ia pernah bekerja untuk WHO, UNICEF, BBC World Service Trust, dan WWF untuk mengembangkan dan menghasilkan perubahan perilaku dan materi pendidikan masyarakat di seluruh dunia.

Bersama istrinya Meggi, termasuk pasangan yang sukses di usia muda, namun mengisi hari tua dengan kegiatan menantang badai di lautan namun bermanfaat untuk kemanusiaan.

Be who you want to be. Ada banyak tekanan yang kamu alami di kota, kamu harus menjalaninya. Tapi ada kalanya kamu memikirkan menjauh dari itu semua, mencari ketenangan, hingga akhirnya kamu memutuskan untuk menghilang dari itu semua, menghindari drama dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat untuk orang-orang di sekelilingmu. Dan saya menemukan jawaban itu semua dengan kapal ini,” ujarnya.

Lebih dari 12 tahun menjalani misi kemanusiaan, baik Shane dan Meggi belum memutuskan untuk berhenti. Mereka kini memiliki sukarelawan, salah satu di antaranya Lukas dari Polandia. Kini, mereka juga membutuhkan sukarelawan asal Indonesia yang bisa bekerjasama tim di kapal selama mengarungi lautan untuk singgah di pulau-pulau terpencil di Indonesia.

Petualangan mereka berlayar menggunakan kapal tua Vega Vessel ini juga telah didokumentasikan lewat sebuah buku perjalanan yang diterbitkan di Jakarta, berjudul The Vega Adventures. Shane sendiri yang menulis buku tersebut, sedangkan istrinya Meggi mendesain covernya yang menggambarkan kapal Vega Vessel tengah berlayar di lautan dengan sinar matahari terbenam sebagai background.

Menurut penelusuran Batam Pos, buku ini bisa dibeli di situs amazon seharga 16.75 dolar Amerika. (CHAHAYA SIMANJUNTAK, Batam)

Update