Umumnya, plasenta langsung dipotong begitu bayi lahir. Tapi, bagaimana kalau plasenta dibiarkan lepas sendiri? Proses itulah yang dinamakan lotus birth. Plasenta dibiarkan tetap terhubung dengan bayi hingga mengering dan puput (terlepas) sendiri.
Dalam dunia medis, lotus birth sebetulnya kurang disarankan. Memang belum ada penelitian detail mengenai plus minusnya. Namun, lotus birth ditakutkan bisa meningkatkan risiko pendarahan setelah kelahiran. Jika terjadi pendarahan, ibu dan bayi rawan terinfeksi.
’’Pemotongan langsung pada tali pusat menjadi salah satu metode penurunan risiko tersebut,’’ ujar dr I Nyoman Hariyasa Sanjaya, SpOG(K), MARS.
Meski masih menimbulkan pro kontra, sejumlah orang menganggap lotus birth punya segudang manfaat. Hal itu tak sepenuhnya salah, tapi juga belum bisa dibenarkan. World Health Organization (WHO) memang menyarankan untuk menunda pemotongan tali plasenta. Namun, hanya satu sampai tiga menit setelah bayi lahir. Tujuannya, membuat darah terus mengalir dari plasenta ke bayi. Dalam plasenta yang masih berdenyut, terdapat 40–60 ml darah ekstra dari ibu.
Darah tersebut bisa meningkatkan kandungan zat besi bayi hingga enam bulan setelah lahir. Aliran sel-sel induk dari plasenta juga mampu membantu menyempurnakan organ dalam tubuh bayi. Jika plasenta langsung dipotong, otomatis bayi tidak mendapatkan darah itu. Ada kemungkinan bayi mengalami anemia alias kurang darah.
’’Kalau anemia, bayi menerima transfusi darah dari orang lain. Sayang sekali, padahal dia bisa memperoleh darah dari plasentanya sendiri,’’ jelas Hariyasa yang bertugas di Bali Royal Hospital, Denpasar, tersebut.
Dalam lotus birth, pemotongan plasenta tak sekadar ditunda, tetapi juga dibiarkan lepas secara alami. Tali plasenta biasanya putus tiga sampai sepuluh hari, bergantung pada ketebalan atau diameternya.
’’Sel-sel di dalam plasenta itu masih hidup hingga plasenta mengering. Tapi, komponen seperti DNA masih ada,’’ imbuh Hariyasa.
Dia menerangkan, plasenta yang putus secara alami membuat pusar bayi lebih cepat sembuh. Biasanya, hanya dibutuhkan waktu satu hari untuk recovery. Sementara itu, untuk tali pusat yang diklem, diperlukan waktu penyembuhan lima hingga sepuluh hari.
’’Bahkan, ada yang sampai dua minggu. Ibarat daun yang dipetik, kan mengeluarkan getah. Berbeda dengan daun yang jatuh sendiri,’’ tuturnya.
Terlepas dari pro-kontra, penundaan atau pemotongan tali pusat bayi menjadi otoritas penuh sang ibu. Hariyasa menyebutkan, biasanya ibu yang melakukan lotus birth mengedepankan aspek psikologi dan spiritual. Menangani pasien lotus birth sejak 2008, Hariyasa menyatakan bahwa plasenta membawa dampak psikologis bagi bayi.
’’Plasenta punya peran. Berdasar pengamatan saya, meski bukan nutrisi, bayi jadi lebih tenang,’’ katanya.
Meski begitu, dia menegaskan bahwa lotus birth lebih kompleks. Perlakuan terhadap plasenta tidak boleh sembarangan. Plasenta harus dirawat, sama seperti ibu merawat bayi. Tiap hari dibersihkan agar tidak membusuk. Kalau sampai membusuk, plasenta bisa menjadi sarang bakteri yang memicu infeksi.
Namun, tidak semua ibu boleh melakukan lotus birth. Jika kondisi bayi dan ibu kurang baik saat melahirkan, pemotongan tali pusat setelah lahir harus dilakukan.
’’Pasien boleh menolak pemotongan tali plasenta. Tapi, kondisi kesehatannya tetap harus dipertimbangkan,’’ ujar Hariyasa.
Mengenai lotus birth yang bisa memberikan ketenangan, psikolog anak A. Twingky, Spsi, Cht, kurang sependapat. Menurut dia, plasenta hanya bertugas menyalurkan nutrisi kepada bayi. Untuk memberikan ketenangan, cara yang paling efektif adalah mendekatkan bayi ke dada ibu.
’’Bayi bisa tenang kalau dekat dengan jantung ibu. Sebab, selama di dalam rahim, bayi sering mendengar detak jantung ibu,’’ terang psikolog yang juga dosen di Universitas Airlangga itu. (adn/c18/ayi/tia)