Dampak alih fungsi lahan yang ada di sekitar Waduk Duriangkang dan “serangan” Elnino pada tahun 2015 silam, masih menjadi penyebab sulitnya kapasitas Duriangkang untuk kembali ke level aman.
Selain hal tersebut, curah hujan di sekitar wilayah Duriangkang juga menjadi penyebab “terduduknya” Waduk terbesar di Pulau Batam ini.
Saat ini, kondisi curah hujan di sekitar Duriangkang sudah masuk dalam kategori normal dengan jumlah rata-rata mencapai 171 mm per bulan. Namun demikian, belum cukup mengembalikan dampak Elnino.
Jika dilihat dari kapasitas, Waduk Duriangkang dalam posisi normal memiliki daya tampungan berkisar 78 juta m3, namun saat ini jumlahnya dikisaran 60 juta m3. Selain itu, Waduk Duriangkang memliki “tampungan mati” di angka 25 juta m3.
Tampungan mati adalah air yang tidak bisa diambil untuk diolah, dikarenakan posisinya berada di tengah-tengah dam, sehingga sangat sulit untuk dipompa ke Intake. Praktis volume tampungan yang bisa dipakai hanya 40 juta m3 saja.
Dengan kondisi tersebut, diasumsikan jika tidak ada hujan sama sekali, maka usia Waduk Duriangkang hanya bisa bertahan hingga pertengahan hingga akhir Februari 2017.
Kondisi ini mungkin saja terjadi, mengingat setiap awal tahun Batam memasuki masa masa kemarau hingga di bulan April. Apabila hal ini terjadi, maka tidak ada opsi lain bagi ATB selain kembali melakukan rationing atau melakukan penggiliran dengan tujuan mengurangi air yang diproduksi kepada pelanggan.
Program ini sengaja dilakukan guna memperpanjang ketersediaan air baku Waduk Duriangkang. Bahkan rationing sendiri harus diperhitungkan lagi prosentasenya.
Kalaupun rationing dilakukan sebesar 25 persen, hanya akan memperpanjang ketahanan Duriangkang selama 2 minggu saja yaitu dari 11 Februari hingga 4 Maret 2017.
“Rationing ini, merupakan pilihan terakhir yang kita lakukan. ATB tidak ingin melakukan rationing, mengingat ini adalah pil pahit bagi semua pihak. Apabila rationing dilakukan, maka akan sangat menganggu aktivitas pelanggan di Batam. Hal ini bisa dilihat saat ATB melakukan rationing di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Sei Harapan pada 2015 silam,” jelas Enriqo.
Saat itu, ATB melakukan rationing dengan pola 1 hari mengalir, 2 hari off, 1 hari mengalir dan 3 hari off (1-2-1-3) dalam satu minggu.
Instalasi pengolahan air (IPA) Sei Harapan saat itu hanya melayani 8 persen dari total pelanggan ATB atau sekitar 15 ribu pelanggan saja. Sedangkan IPA Duriangkang melayani 70 persen atau 151.466 pelanggan di Batam.
Jadi bisa dibayangkan dampak yang akan terjadi jika rationing di Duriangkang terjadi.
“Saat rationing di Sei Harapan, kami masih mampu menyediakan 16 mobil tangki untuk warga di kawasan terdampak. Namun jika Duriangkang mengalami rationing, setidaknya dibutuhkan 160 lebih mobil tangki. Dan hal ini sangatlah tidak mungkin. Ditambah lagi jarak tempuh yang luas. Jadi sangat tidak mungkin mengharapkan water tanker apabila rationing dilakukan di IPA Duriangkang,”tegas Enriqo.
ATB juga sudah berupaya meminimalisir dampak berkurangnya air baku dengan menekan kebocoran hingga 15 %, yang berarti total volume produksi juga sudah diturunkan.
“Lalu, bila Duriangkang tidak lagi handal, waduk mana lagi yang dapat menjadi tulang punggung Batam? Oleh karena itu, saya sangat berharap ini bisa menjadi perhatian serius bagi seluruh pihak,” harapnya.(*)