Sabtu, 20 April 2024

Amerika mulai Tolak Pendatang Muslim, Indonesia Bisa Terkena Dampak

Berita Terkait

Polisi Amerika mengetatkan penjagaan di Terminal 4 bandara San Francisco di San Francisco, California, A.S.
foto: REUTERS/Kate Munsch

batampos.co.id – Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai keamanan perbatasan dan penegakan peningkatan imigrasi menuai banyak penolakan. Mulai 27 Januari lalu, warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dilarang masuk Amerika Serikat untuk alasan apapun. Para pemegang visa Amerika Serikat atau green card yang berasal dari tujuh negara itu juga tidak diperkenankan masuk.

Trump pada Jumat (27/1) memutuskan untuk menghentikan semua penerimaan pengungsi ke AS selama empat bulan dan melarang masuknya pengungsi Suriah tanpa batas waktu. Trump juga mengeluarkan larangan kunjungan selama 90 hari ke AS untuk tujuh negara mayoritas Muslim. Tujuh negara yang dilarang masuk ke AS adalah

  1. Libia,
  2. Sudan,
  3. Yaman,
  4. Somalia,
  5. Syuriah,
  6. Iraq
  7. Iran.

Petugas Imigrasi AS langsung bergerak melaksanakan perintah Trump tersebut. Tak hanya mencegah pendatang di bandara di AS, mereka juga memblokir calon penumpang dari sejumlah negara Muslim yang hendak menuju kota-kota di AS.

Pejabat Bandara Kairo, Mesir, mengonfirmasi tujuh migran, terdiri atas enam imigran Irak dan satu imigran Yaman, telah diblokir saat hendak menuju AS, pada Sabtu (28/1). Mereka dicegah naik ke penerbangan EgyptAir menuju New York, beberapa jam setelah Trump mengumumkan kebijakan baru itu.

Ketujuh migran itu dikawal ke bandara oleh pejabat dari badan pengungsi PBB, UNHCR. Namun mereka dihentikan saat hendak naik pesawat, setelah pihak berwenang di bandara Kairo dihubungi oleh rekan-rekan mereka di Bandara JFK.

Kebijakan Trump ini diprotes warga AS. Sekitar 300 aktivis hak sipil Amerika berunjuk rasa di bandara terbesar Kota New York, John F. Kennedy, pada Sabtu waktu setempat.

Seperti dilansir NBC News, 29 Januari 2017, demonstran menuntut 12 pengungsi yang baru saja mendarat di Amerika Serikat dan ditahan selama belasan jam oleh otoritas bandara, segera dibebaskan.

Ratusan demonstran memadati halaman Terminal 4, tempat kedatangan penumpang internasional, sambil membawa papan bertuliskan “Tak ada larangan, tak ada tembok” dan “Pengungsi dipersilakan masuk”.

Salah satu demonstran bahkan membawa sebuah poster yang mendesak pemakzulan Presiden Trump dan deportasi terhadap Ibu Negara Melania Trump. Melania adalah warga negara AS yang berimigrasi dari Slovenia.

“Hari ini adalah awal perlawanan dari kami dan seluruh warga Amerika Serikat terhadap Trump,” kata Jacki Esposito, pengacara pengungsi yang mengorganisir aksi protes.

Aksi protes ini juga diikuti oleh Aliansi Pengemudi Taksi New York (NYTWA) sebagai solidaritas terhadap kolega mereka yang kerap mengalami kekerasan anti-Muslim karena memakai turban Sikh maupun berkulit coklat.

Para pengemudi taksi melancarkan aksi mogok menaikkan penumpang selama satu jam di bandara JFK. “Hari ini, kami para pengemudi bergabung dengan demonstran di Bandara JFK untuk mendukung mereka yang ditahan #NoBanNoWall,” demikian kicau NYTWA di Twitter.

NYTWA menyebut surat perintah yang diteken Presiden Trump membuat posisi sebagian besar pengemudi yang beragama Islam dalam posisi rentan sejak tragedi 11 September.

Kejahatan kebencian terhadap pengemudi taksi Muslim meroket sejak insiden yang menewaskan ribuan penghuni gedung WTC itu.

“Dengan menetapkan surat perintah inkonstitusional, presiden telah menempatkan sopir taksi profesional dalam bahaya melebihi insiden 11 September.”

Aksi mogok ini mengacaukan perjalanan di bandara. Otoritas bandara JFK memastikan tidak ada layanan taksi bagi penumpang yang turun dan meminta mereka memikirkan alternatif untuk dapat kembali ke rumah atau pun tujuan masing-masing.

Berdampak ke Indonesia

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai bahwa kebijakan tersebut tidak bagus. Terlebih, kebijakan tersebut terkesan membuat stereotype atau labelling bahwa seseorang yang berasal dari tujuh negara tersebut sudah pasti teroris dan dapat mengganggu keamanan Amerika Serikat. Dalam kebijakan ini, Trump, kata Hikmahanto, sudah melebihi core values dari Amerika Serikat yang antidiskriminasi.

Kendati tidak menyasar Indonesia, kebijakan tersebut juga membuat WNI di Amerika Serikat ketar-ketir. Terlebih, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Bukan tidak mungkin juga Indonesia terkena dampak kebijakan baru Trump itu. Hikmahanto mengaku khawatir kebijakan tersebut bisa merembet ke Indonesia jika Trump diberi masukan bahwa pelaku teror kerap berasal dari Indonesia.

”Terlebih lagi, kalau Trump menganggap di Indonesia banyak orang yang menjalankan Islam radikal. Pemerintah harus mewaspadai kebijakan moratorium ini,” kata Hikmahanto, Minggu (29/1).

Namun, Hikmahanto mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu reaktif dalam menanggapi kebijakan tesebut. Sementara ini, Indonesia sebaiknya tetap menunggu dan melihat situasi serta kondisi penerapan kebijakan tersebut. ”Kan kebijakan itu sedang didemo dan sudah ada yang bawa ke pengadilan. Indonesia tidak perlu reaktif,” tambahnya.

Berbeda dengan Hikmahanto, Imam Besar Masjid New York Syamsi Ali justru meminta Indonesia untuk bersikap. Turki dan beberapa negara Islam lainnya sudah bersikap. Menurut Syamsi, kebijakan Trump itu jelas-jelas diskriminatif dan tidka boleh dibiarkan.

”Minimal ada suara resistensi yang bilang (kebijakan) itu salah. Ini kan memecah belah atas pertimbangan agama,” katanya.

”Saya kira pemerintah Indonesia harus ambil sikap dan menyuarakan. Begoitu juga negara Islam yang lain. Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan yang lainnya,” tambahnya.

Menanggapi penerapan kebijakan yang sudah mulai memakan korban itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi meminta seluruh perwakilan Indonesia di AS untuk mengaktifkan hotline 24 jam. Retno juga mengimbau WNI yang bermukim di Amerika Serikat untuk tetap tenang.

Imbauan dari perwakilan Indonesia di Amerika Serikat memang sudah tersebar luas. Namun, hal tersebut tidak cukup menenangkan para WNI yang tinggal di Amerika Serikat. Suci Brooks, 31, salah satunya. Memang, setelah pemberlakukan kebijakan tersebut belum ada perubahan signifikan yang dirasakan Suci. Namun, perasaan was-was tetap menghantuinya.

”Ada notion di antara komunitas ENO di sana untuk jangan meninggalkan US dulu sampai situasi lebih jelas. Takutnya terkena impact kebijakan Trump,” kata Suci kemarin.

Menurut Suci, notion terebut keluar karena ada kekhawatiran Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam jadi salah satu negara yang ”diawasi”.

”Mereka menyarankan untuk jangan keluar Amerika Serikat dulu karena takutnya nanti susah masuk lagi,” cerita perempuan yang setahun terakhir tinggal di Huntsville, Alabama, itu.

Suci mengakui bahwa belakangan ini, kondisi Amerika Serikat semakin berantakan. Terlebih sejak pemberlakukan kebijakan tersebut. Demo besar-besaran terjadi di bandara-bandara di Amerika Serikat. Karena demo itu juga, situasi semakin chaotic. ”Demo berlangsung di bandara-bandara international di beberapa states. Seperti di LAX,” ucapnya.

Syamsi yakin akan ada lebih banyak demo dan aksi dalam beberapa hari ke depan. Bukan hanya oleh masyakat beragama muslim, tapi masyarakat Amerika secara umum. Syamsi menuturkan bahwa kebijakan berbau rasis itu bertentangan dengan konstritusi Amerika Serikat. Menurut Syamsi, selama ini, Amerika Serikat dikenal sebagai negara imigran. Kebanyakn penduduknya merupakan imigran. Termasuk Donald Trump dan Istrinya. Dan itu sudah menjadi jati diri Amerika Serikat.

”Kebijakan yang ada sekarang tentu bertentangan. Jelas bahwa mayoritas masyarakat Amerika Serikat tidak setuju,” terangnya.

DIrektur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa hal tersebut dulakukan Kemlu untuk mengantisipasi adanya WNI yang terkena imbas kebijakan tersebut. Menurut Iqbal, salah satu komponen penting dalam executive order tersebut adalah kebijakan penangkapan dan deportasi terhadap imigran gelap yang pada pemerintahan sebelumnya dilindungi dengan adanya Sanctuary Policies di beberapa kota dan county (setingkat kabupaten).

Iqbal menjelaskan bahwa jumlah imigran gelap asal Indonesia cukup banyak. Kendati tidak memiliki data pasti, berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada 2015, Iqbal menuturkan ada kurang lebih 40 ribu imigran gelap asal Indonesia di seluruh Amerika utara. ”Tapi, kami yakin jumlah itu tidak akurat,” ucapnya.

Dari 40 ribu imigran gelap asal Indonesia di Amerika utara, sebagian besarnya bermukin di Amerik Serikat. Berdasarkan perhitungan pada akhir 2015 lalu, perkiraan jumlah WNI overstayers di Amerika Serikat mencapai 34.390 orang.

”Karena estimasi jumlah yang demikian besar itulah, Menlu minta seluruh Perwakilan RI di Amerika untuk melakukan antisipasi dalam rangka memastikan keselamatan dan perlindungan maksimal bagi WNI,” terangnya. (Reuters/BBC/and/jpgrup)

Update