batampos.co.id – Pada 2012 lalu, sineas Kuntz Agus merilis sebuah film berjudul Republik Twitter. Sebuah film drama percintaan yang menjadikan bisnis konsultan sosial media sebagai latar film. Dalam kisah yang diperankan Abimana Aryasatya tersebut, seorang mahasiswa tingkat akhir yang terlibat dalam bisnis pencitraan politik berbasis sosial media.
Sekelompok orang mengangkat isu atau membangun image seseorang di sosial media untuk kepentingan yang dipesan oleh para pemakai jasanya.
Kisah film tersebut mungkin hanyalah fiksi. Namun, keberadaan buzzer untuk kepentingan politik bukan hanya rekaan belaka. Salah satu yang cukup terkenal adalah Jasmev (Jokowi Ahok Social Media Volunteer). Tim relawan ini dibentuk kala Jokowi dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mencalonkan pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012. Tim pemenangan Jokowi-Ahok kala itu jadi yang pertama mengorganisasi tim sosial medianya untuk membentuk opini di dunia daring.
Jasmev terbilang cukup berhasil. Terbukti Jokowi sukses melanggeng menjadi Gubernur DKI Jakarta kemudian berlanjut menjadi Presiden RI. Hasil ini kemudian membuat keberadaan cyber army menjadi sesuatu yang turut diperhitungkan oleh setiap kontestan politik. Pilkda DKI Jakarta 2017 ini misalnya, ketiga pasang yang berkompetisi memiliki tim sosial media resmi yang dibentuk untuk kepentingan pemenangan.
Sebelum Jokowi dengan Jasmev-nya, Barack Obama juga berhasil meraih kesuksesan yang sama. Adalah nama Laura Olin yang disebut-sebut sebagai sutradara yang membuat moncernya popularitas Barack Obama di dunia maya. Diakhir pemilihan ia sukses membuat Obama memiliki lebih dari 60 juta pengikut di twitter dan facebook.
Laura Olin terbilang jenius. Menjadi direktur sosial media Blue State Digital, sebuah perusahaan pemasaran digital. Ia bersama timnya sukses membaca minat dari pengguna sosial media yang berbeda. Sehingga ia bisa menyampaikan pesan yang tepat dan diterima dengan baik oleh sasarannya. Sebuah bentuk kesuksesan tim cyber army atau buzzer dalam kampanye politik.
Tim Cyber Army dan buzzer sebenarnya berbeda. Tim Cyber Army biasanya adalah sekelompok orang yang berkerja bersama untuk mengelola isu atau memblow-up topik. Kebanyakan mereka menggunakan akun bodong alias bot untuk mendongkrak isu atau topik yang indikator keberhasilannya hanyalah trending topic.
Sementara buzzer adalah influencer. Mereka adalah akun pribadi dari orang sungguhan, memiliki follower dalam jumlah cukup banyak. Setiap post orang dengan follower ini akan menarik para pengikutnya untuk berinteraksi dan terpengaruh. Saat seorang influencer dibayar untuk melakukan promosi berbayar, maka ia sudah menjadi seorang buzzer.
Meski belakangan gaungnya lebih kencang di ranah politik, sebenarnya keberadaan cyber army dan buzzer sama-sama dibutuhkan di semua bidang, khususnya pemasaran produk. Keberadaan keduanya masih dalam ranah kepentingan sosial media marketing. Karenanya bisnis agensi jasa cyber army maupun seorang buzzer sama-sama menjanjikan.
“Penghasilannya bisa mencapai hingga belasan juta rupiah,” tutur Herjuno Aji Prayogo, Sarjana Tekhnik Informatika jebolan Universitas Islam Indonesia (UII) seperti diberitakan Rakyat Kalbar.
Dia mengaku pernah menjadi pedagang follower dan like semasa duduk di bangku kuliah. Ia menyediakan ribuan akun bodong yang siap menjadi follower, me-like, ataupun meretweet postingan seseorang yang membayar. Ia sendiri tidak benar-benar tahu apakah jasa yang diperdagangkannya kala itu sesuatu yang melanggar hukum.
“Yang pasti itu melanggar term of service sosial media yang mewajibkan penggunaannya memasukkan idientitas aslinya,” ujarnya.
Untuk mencari pembeli ataupun pengguna jasanya, Herjuno mengaku tidak terlalu sulit. Ada forum-forum tertentu yang biasa jadi tempat untuk mencari proyek semacam ini.
“Terlebih mereka yang pandai bahasa Inggris, akan mudah mendapat klien,” ujarnya.
Pengguna jasanya bisa datang dari beragam kalangan. Mulai dari mereka yang ingin kelihatan sebagai seleb, karena banyak follower hingga tokoh-tokoh yang sebenarnya sudah punya nama. Namun pria yang akrab disapa Juno ini menyebut, keberadaan akun-akun bodong yang jadi pengikut ini sebenarnya tidak begitu bermanfaat.
“Untuk digital marketing mereka ini tak organik, mereka bot dan nggak mungkin ada interaksi. Justru buzzer yang biasanya jauh lebih berguna,” jelasnya.
Juno menganggap jasa yang ditawarkannya dulu hanyalah untuk menambah statistik follower. Namun lemah secara kualitas.
Sementara Hajon Mahdy Mahmudin, seorang konsultan sosial media marketing menyebut keberadaan buzzer adalah sesuatu yang normal dan sah-sah saja.
“Karena mereka memang dibutuhkan untuk kepentingan marketing di sosial media,” ujarnya.
Ia menggambarkan keberadaan buzzer tidak ubahnya seperti memilih brand ambasador sebuah produk. Seorang influencer atau buzzer akan selalu mendapat perhatian dari para pengikutnya. Karenanya biasanya para buzzer ini adalah orang terkenal atau selebrity.
“Tapi tidak mesti juga, beberapa user yang punya niche atau topik bagus juga bisa jadi buzzer yang efektif,” jelasnya.
Ia mencontohkan, sebuah akun sosial media yang rutin mempost tentang kesehatan, bisa menjadi rujukan orang-orang tentang kesehatan. Akun tersebut tentu layak untuk jadi buzzer bagi penyedia produk-produk kesehatan. Keberadaan buzzer tentu tidak melanggar hukum.
“Hanya saja karena mereka berbayar ini, orang-orang kadang menganggap negatif sebagai tukang iklan atau alat propaganda. Ya itu balik lagi sih kepandaian buzzer mengemas pesan yang ingin disampaikan,” jelasnya. (Iman Santosa/yuz/JPG)