Jumat, 29 Maret 2024

Pengusaha Tantang BP Batam Ungkap Mafia Lahan

Berita Terkait

Deputi 3 BP Batam Eko Santoso (kiri) bersama Deputi 5 BP Batam Gusmardi Bustami (dua dari Kanan) dan Kepala Kantor Pengelolaan Lahan BP Batam Iman Bachroni memberikan keterangan terkait masalah lahan, Selasa (14/3). F Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos.co.id – Pernyataan Deputi III Badan Pengusahaan (BP) Batam, RC Eko Santoso Budianto, yang menyebut ada mafia lahan di Batam rupanya membuat sejumlah pengusaha kebakaran jenggot. Mereka menantang BP Batam membuktikan tudingan itu dan melaporkannya ke polisi.

“Saya tantang Eko untuk mengungkap siapa saja dan di mana saja mafia lahan itu berada. Jangan hanya berpolemik di media. Jika tak berani silahkan mundur,” ungkap Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Jadi Rajagukguk, Selasa (14/3).

Menurut Jadi, penyataan Eko tersebut menyakiti perasaan para pengusaha. Sebab secara tidak langsung, Eko menuding pengusaha di Batam terlibat dalam praktik makelar dan permainan lahan.

Jadi menilai, tidak seharusnya pimpinan BP Batam menyampaikan pernyataan kontroversial itu. Sebab hal ini dinilai bisa menimbulkan polemik baru dan berimbas pada turunnya daya saing investasi Batam.

“BP Batam itu lembaga pelayanan publik, bukan pelayanan hukum. Jadi tak bisa menyalahkan karena seharusnya ketujuh pimpinan BP Batam itu bisa komunikatif dan berorientasi bisnis,” jelasnya lagi.

Jadi bahkan menuding, penyataan Eko tersebut hanyalah upaya pengalihan isu atas tekanan publik yang terus menyorot kinerja BP Batam. Sebab selama ini, BP Batam dinilai lamban dalam membenahi kualitas layanan publik. Terutama layanan perizinan.

Selain itu, Jadi juga menyayangkan pernyatan BP Batam yang sering menyalahkan pimpinan dan pejabat BP Batam di masa lalu. Sebab menurut dia, kesalahan pejabat sebelumnya tidak selayaknya dijadikan alasan dan beban bagi pimpinan yang baru.

“Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu melakukan audit tiap tahunnya dan tidak ada apa-apa,” ungkapnya.

Jadi kemudian memaparkan bahwa untuk mendapatkan lahan dari BP Batam, pengusaha dan investor selalu mengikuti semua prosedur yang berlaku. Pertama, pengusaha meminta alokasi lahan kepada BP Batam. Setelah itu, jajaran petinggi BP Batam akan melakukan rapat internal untuk membahas permohonan alokasi lahan baru. Kemudian BP Batam akan melakukan survei ke lapangan. Lalu para pemohon diminta untuk melunasi pembayaran Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) selama 10 tahun awal.

“Pengusaha itu memohon dan menerima, bahkan bayar UWTO ke bank yang ditunjuk,” imbuhnya.

Jadi juga menyoroti keputusan BP Batam yang akan segera menarik lahan milik PT Persero di Batuampar, Batam. Padahal pada era awal pembangunan dan pengembangan Pulau Batam, Otorita Batam (OB) saat itu meminta kehadiran Persero untuk menopang kinerja OB.

Penarikan lahan PT Persero ini menurut Jadi akan memunculkan isu ketidakpastian hukum di Batam. Terutama terkait alokasi lahan. Ini bisa jadi preseden buruk bagi pengusaha. Akan ada anggapan, BP Batam bisa menarik lahan permukiman atau komersil lainnya setiap saat jika mereka ingin melakukan pengembangan atau perluasan pembangunan.

“Jika BP Batam nanti punya master plan lagi, bisa saja mereka melakukan itu. Kalau begitu, tata ruang bisa dirusak oleh BP Batam,” jelasnya.

Untuk mencegah agar persoalan ini tidak berlarut, Jadi telah menulis surat ke Menko Perokonomian Darmin Nasution. Ia juga mengadukan persoalan ini ke Komisi II dan Komisi VI DPR.

“Kami juga dijadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II dan Komisi VI DPR RI. Sesegera mungkin,” ungkapnya.

Terpisah, Ketua Kadin Kepri Achmad Makruf Maulana menyampaikan hal senada. Kata dia, BP Batam bukan lembaga kepolisian atau kejaksaan. Sehingga mereka tidak berhak menyebut atau menuding adanya praktik mafia lahan di Batam.

“Silahkan saja dilaporkan kepada yang berwenang apabila ada yang bersalah terkait lahan,” katanya.

Apalagi jika BP Batam memiliki atau mendeteksi adanya indikasi penyalahgunaan wewenang atau perbuatan curang dari para oknum BP Batam terdahulu. Atau juga dari pihak-pihak luar yang dianggap mafia lahan. Maka menurut Makruf, BP Batam harus segera lapor ke polisi.

“Hal tersebut jangan menjadi alasan karena pada dasarnya BP Batam itu berperan menjaga dan mengembangkan stabilitas usaha dan perizinan di Batam,” jelasnya.

Menurut Makruf, BP Batam harus memikirkan dunia usaha berbasis investasi. Jika hanya mengurus persoalan lahan, maka BP Batam bisa dianggap tidak bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya. “Kasihan dunia usaha jika begitu terus. Jangan bobok pak Kepala BP Batam,” katanya.

Sementara Anggota Komisi VI DPR asal Kepri, Nyat Kadir, mengakui persoalan lahan di Batam sangat rumit. Namun menurut dia, tidak seharusnya BP Batam mengungkapkannya ke publik.

“Sebab akan menimbulkan banyak persepsi,” kata Nyat, Selasa (14/3).

Menurut Nyat, pernyataan BP Batam yang menyebut butuh waktu 2,5 tahun untuk menyelesaikan persoalan lahan akan berdampak pada iklim investasi di Batam. Sebab para calon investor akan ragu menanamkan modalnya di Batam.

“Mereka akan gamang dan berpikir iklim investasi di Batam tidak kondusif, setidaknya dalam 2,5 tahun ke depan,” katanya.

Politikus NasDem ini menyarankan agar BP Batam bekerja dan mencari solusi tanpa harus mengeluh ke publik. Dia khawatir, polemik ini justru akan menjadi bumerang bagi dunia investasi di Batam.

“Saingan kita banyak, ada Vietnam dan Johor. Vietnam harga lahan lebih murah, UMK pun kecil. Kalau pernyataan-pernyataan tak dievaluasi bisa-bisa Batam tak menarik lagi,” beber Nyat.

Nyat juga menyoroti kebijakan BP Batam menaikkan tarif sewa lahan atau UWTO di tengah kondisi ekonomi yang tengah lesu saat ini. Menurutnya, kebijakan ini kontra-produktif dengan semangat Presiden Joko Widodo yang ingin memangkas perizinan dan birokrasi untuk memudahkan dunia usaha di dalam negeri.

Disisi lain, Nyat berharap agar BP Batam dan Pemko Batam terus meningkatkan koordinasi dalam menjalankan roda pembangunan di Batam.

“Duduk bersama dan sampaikan jawaban dengan elegan. Jangan melontarkan perkataan yang justru melebarkan informasi buruk,” pinta mantan Wali Kota Batam itu.

Sebelumnya, Deputi III Badan Pengusahaan (BP) Batam, RC Eko Santoso Budianto, menyebut persoalan lahan di Batam sudah sangat kompleks. Dia mengatakan ada 7.719,73 hektare lahan tidur yang tersebar di 2.690 titik. Menurut Eko, lahan tidur tersebut sebagian besar merupakan ‘korban’ para mafia dan makelar lahan. (leo)

Update