Kamis, 25 April 2024

Ratusan Pejabat Publik Rangkap sebagai Komisaris BUMN

Berita Terkait

batampos.co.id – Pelanggaran terhadap undang-undang tengah marak terjadi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebanyak 222 posisi komisaris ternyata diisi oleh pejabat publik. Padahal, jelas-jelas melanggar UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik.

Rangkap jabatan itu terjadi pada 144 unit BUMN yang ditelusuri Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Di sana, total ada 541 posisi komisaris. Artinya, sekitar 41 persen posisi komisaris diisi oleh figur yang tidak seharusnya.

Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih menyatakan, fenomena komisaris yang merangkap jabatan banyak ditemukan di BUMN sektor perbankan, infrastruktur dan konstruksi, pertanian, serta kesehatan khususnya farmasi. Di instansi pemerintahan, mereka mayoritas menjabat direktur jenderal (dirjen) atau setingkat pejabat eselon I kementerian/lembaga negara.

”Paling banyak pejabat (merangkap komisaris) yang berasal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat),” jelasnya saat diskusi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, kemarin (4/5).

Fenomena serupa juga subur di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Di sana, sekretaris daerah (Sekda) merangkap komisaris.

Alamsyah tidak mau menyebutkan siapa saja pejabat yang terindikasi merangkap jabatan tersebut. Menurutnya, nama-nama itu kini tengah dalam proses verifikasi. Bila sudah selesai, temuan tersebut akan diserahkan ke kementerian terkait. Seperti Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Kementerian BUMN.

Namun, dari penelusuran Jawa Pos, ternyata tidak sulit mencari nama-nama pejabat pementerian yang rangkap jabatan menjadi komisaris BUMN. Diantaranya adalah Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu yang merangkap komisaris Pertamina. Ada pula Bambang Gatot Ariyono, Dirjen Minerba Kementerian ESDM yang merangkap menjadi komisaris PT Antam. Lalu Ign Wiratmaja Puja, Dirjen Migas Kementerian ESDM yang merangkap komisaris PT PGN.

Muchtar Husein, Inspektur Jenderal Kementerian ESDM, merangkap komisaris PT Timah. Kemudian, Suprasetyo, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kemenhub merangkap komisaris PT Angkasa Pura I. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Alamsyah menjelaskan, pejabat yang masuk kategori pelaksana pelayanan publik merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang menjadi bagian kementerian/lembaga negara. Mereka bertugas melayani masyarakat. Penelusuran ORI hanya fokus pada pejabat yang memang memiliki tanggungjawab melayani masyarakat.

Rangkap jabatan tentu saja memunculkan risiko konflik kepentingan. Selain itu, hal tersebut juga juga berpotensi menghambur-hamburkan uang negara. Sebab, pejabat yang bersangkutan memiliki sumber penghasilan ganda. Yakni, bersumber dari pekerjaan sebagai dewan komisaris BUMN dan gaji rutin karena posisinya sebagai aparatur sipil negara (ASN). Kedua sumber pendapatan itu sama-sama berasal dari negara.

Lantas, seperti apa tindakan pemerintah terhadap pejabat ”bunglon” itu? ORI mengaku tidak bisa berbuat banyak. Sebab, persoalan itu bukan murni kasus hukum yang memiliki kepastian tentang pasal dan aparat penegak hukum yang menanganinya. ”ORI tidak seperti KPK,” ujar mantan konsultan tersebut.

Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Waluyo menyatakan, posisi komisaris biasanya mendapatkan gaji yang besarnya 30-40 persen dari gaji Direktur Utama (Dirut). Saat ini, upah dirut BUMN rata-rata diatas Rp 100 juta per bulan. Artinya, komisaris bisa mendapatkan bayaran minimal Rp 30-40 juta setiap bulannya. ”Yang besar itu bonus tahunan,” bebernya.

Menurut Waluyo, di mayoritas perusahaan, baik itu milik negara atau swasta, tugas komisaris sejatinya cenderung longgar. Mereka hanya wajib masuk kerja 8 kali dalam sebulan atau dua hari saja selama satu minggu. Umumnya, mereka hanya sebatas melakukan pengawasan terhadap pengurusan perusahaan yang dilakukan direksi. ”Memang harus ada perubahan sistem gaji yang dibahas dalam PP (peraturan pemerintah, Red),” terangnya.

Fenomena pejabat instansi pemerintah yang mencari penghasilan tambahan di BUMN sejatinya sudah beberapa kali mendapat kritikan. Selain dewan komisaris, adapula pejabat yang banyak menduduki posisi dewan pengawas sampai direksi teknis perusahaan milik negara. Bahkan, tidak sedikit pejabat itu berasal dari kementerian/lembaga yang memang menjadi regulator BUMN bersangkutan.

Waluyo mengungkapkan, pejabat publik yang merangkap jabatan memang belum sejalan dengan tujuan reformasi birokrasi yang digembar-gemborkan pemerintah. Kondisi itu pun dapat mempengaruhi prinsip profesionalitas yang mestinya diusung setiap ASN. ”Bagaimana bisa ASN profesional bila pejabatnya punya afiliasi (dengan perusahaan),” tegasnya.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, fenomena itu sejauh ini belum menyentuh indikasi korupsi dalam. Namun, tidak tertutup kemungkinan pihaknya bakal mendalami dugaan penyimpangan yang terjadi. ”Sejauh ini baru menyentuh elemen reformasi aparatur sipil negara. Ini (rangkap jabatan) memang warisan terdahulu yang belum tuntas,” ungkapnya.

Fenomena rangkap jabatan sulit dihilangkan karena memang belum ada aturan pemberian sanksi tegas terhadap ASN yang melanggar. Fenomena itu memang harus diselesaikan secara menyeluruh lewat reformasi birokrasi. ”Jangan biarkan mencari tambahan (penghasilan) seperti itu,” papar Agus.

Wakil Ketua Komisi II DPR (Bidang Pemerintahan) Ahmad Riza Patria mengatakan, pemerintah harus membuat regulasi yang tegas. Menurutnya pejabat PNS tidak boleh rangkap jabatan menjadi komisaris BUMN. ’’Meskipun tujuannya adalah untuk mengamankan kebijakan-kebijakan BUMN,’’ kata politisi Gerindra itu.

Riza mengatakan, pemerintah selaku pemegang saham mayoritas di BUMN, memang memiliki hak untuk menempatkan siapapun sebagai komisaris BUMN. Namun, jangan sampai menimbulkan kesan bagi-bagi kue. Dia juga mengkritisi kebiasaan rezim saat ini yang menempatkan orang bukan kompetensinya sebagai komisaris BUMN.

”Tim sukses, kolega, atau bahkan pengamat yang dulu mendukung Presiden Jokowi saat pilpres, didudukkan sebagai komisaris. Padahal, tidak memiliki kompetensi sesuai bidang usaha BUMN-nya,’’ jelasnya.

Dia mengatakan kebiasaan menempatkan orang yang tidak kompeten sebagai komisaris, bisa merusak kinerja BUMN itu sendiri. Bahkan bisa juga menimbulkan konflik antara jajaran komisaris dengan direksi. (tyo/dee/wan/ang/jpgroup)

Update